Televisi: Kualitas atau Kuantitas?


Oleh
Anisa Prasetia Novia



Pakaian mini? Perilaku konsumtif? Gaya hidup hedonis? Sifat sombong? Egois? Pendendam? Pemarah? Bermusuh-musuhan? Tindakan bullying? Perilaku menyimpang: laki-laki bersikap seperti perempuan atau sebaliknya perempuan bersikap seperti laki-laki? Inikah yang ditonjolkan dari pertelevisian Indonesia? Mengapa televisi Indonesia semakin marak memberikan tontonan berupa tayangan bergenre remaja dan anak-anak yang disajikan tidak sesuai dengan harapan? Production House sebagai sarana tayangan-tayangan itu diproduksi seolah-olah mengabaikan nilai-nilai dan norma sosial yang seharusnya disajikan dalam tayangan produksinya. Penonton lebih banyak dicekoki dengan karakter-karakter buruk, salah satunya yang digambarkan dalam alur cerita sinetron masa kini. Tak ingatkah hal ini dapat merusak perkembangan psikologis anak dan remaja Indonesia?
Tentu semua tahu bahwa salah satu media massa yang sangat menarik perhatian warga masyarakat khususnya anak-anak dan remaja adalah televisi. Bisa dikatakan bahwa saat ini anak-anak dan remaja tak dapat terlepas dari tontonan di televisi, baik itu tayangan berupa kartun, komedi, musik, sinetron, talk show, gossip, sampai berita semua tersaji 24 jam di televisi. Semua lapisan masyarakat dari kalangan bawah sampai atas hampir semua memiliki televisi. Namun, sayang sekali jarang ditemukan tayangan televisi yang lebih bersifat mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada pemirsanya. Ya, meskipun ada sebagian tetapi jumlahnya relatif sedikit dibandingkan dengan tayangan bersifat hiburan yang tidak memiliki nilai-nilai dan norma sosial. Maka tidak heran, jika banyak yang mengatakan bahwa tayangan televisi Indonesia saat ini lebih banyak yang tidak berkualitas.
Televisi sebagai media massa elektronik seharusnya mempunyai misi untuk memberikan informasi, pendidikan, dan hiburan kepada para pemirsanya. Melalui berbagai tayangan yang disajikan, anak-anak dan remaja dapat memperoleh berbagai informasi yang dapat memperluas wawasan pengetahuan tentang berbagai aspek kehidupan, hiburan baik yang berupa sinetron/film maupun musik, dan pendidikan baik yang bersifat umum maupun agama. Namun kenyataannya? Sungguh berbanding terbalik! Televisi justru lebih banyak memberikan pengaruh negatif bagi anak-anak dan remaja kita.
Seperti yang kita ketahui, perkembangan psikologis anak dan remaja merupakan hal yang sangat vital. Ketika anak dan remaja mendapat pendidikan yang kurang baik, maka tidak secara langsung akan membentuk karakter anak yang tidak baik pula. Sebagai orang tua maupun pendidik kita harus mengetahui bahwa selain faktor nature (bawaan) terdapat faktor nurture (lingkungan) yang dapat memengaruhi perkembangan psikologis anak dan remaja, misalnya ayah dan ibunya baik belum tentu anaknya baik jika faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya terhadap perkembangan psikologis anak tersebut. Apalagi di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, faktor lingkungan tentu sangat berperan penting bagi keberlangsungan hidup seorang anak.
Sebagai contoh, dapat dianalogikan seperti ini ketika seorang anak secara berulang menerima masukan dari lingkungan sekitarnya maka pikiran anak perlahan-lahan akan beradaptasi dan membentuk sebuah sistem nilai baik itu nilai positif maupun nilai negatif. Sebelum beradaptasi biasanya seorang anak membentuk skema pertahanan diri, yakni sebuah mekanisme untuk bertahan terhadap segala sesuatu di luar dirinya yang dianggap sebagai ancaman. Seringkali hal ini bersifat refleks sehingga anak tidak menyadari perubahannya. Tidak hanya komunikasi verbal yang memengaruhi perilaku anak tetapi juga komunikasi non verbal seperti bahasa tubuh orangtua, ekspresi wajah, musik yang didengar, dan adegan-adegan di televisi. Nah perlu digaris bawahi adalah yang terakhir adegan-adegan di televisi! Tentu kita tidak perlu khawatir jika pengaruh lingkungan yang bersifat non verbal ini berupa hal positif, namun jika sebaliknya? Tentu ini menjadi ancaman bagi masa depan si anak.
Coba perhatikan seberapa besar pengaruh tayangan televisi bagi perkembangan psikologis anak dan remaja? Apalagi pengaruhnya terhadap anak dalam usia pertumbuhan dan perkembangan yang sensitif. Perlu diingat bahwa anak merupakan perekam dan peniru yang paling baik. Apapun yang ia lihat dan dengar dengan mudah ia ingat dan tiru. Maka tidak heran jika karakter anak saat ini sangat jauh dari orang Indonesia yang menjunjung tinggi adab kesopanan, gotong royong, tanggung jawab, saling mengasihi-menyayangi, dan mudah saling memaafkan satu sama lain. Bagaimana bisa seperti itu? Jika yang anak dan remaja saksikan hanya tayangan-tayangan yang memberikan kesan buruk. Maka wajar saja jika karakter anak dan remaja sekarang sama seperti karakter-karakter yang ditonjolkan dalam tayangan televisi seperti yang disebutkan di paragraf awal.

Apabila hal ini sudah terjadi, siapa yang patut dimintai pertanggungjawaban? Memang pihak pengelola tayangan televisi tidak bisa disalahkan karena tayangan komersil tentu memerlukan ratting yang besar untuk memperoleh profit yang bisa mengganti biaya produksi tayangan yang sudah dikeluarkan. Maka dari itu, tayangan yang disajikan pun lebih condong dilihat dari segi kuantitas penggemar bukan kualitas tayangan seperti apa yang layak disajikan. Namun, alangkah lebih baiknya pihak pengelola lebih memerhatikan kualitas tayangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma sosial sehingga tidak merusak perkembangan psikologis anak dan remaja. Selain itu, kasus ini pun menjadi tugas kita untuk mengarahkan dan mendidik putra putri kita, supaya menjadi pribadi yang baik salah satunya dengan cara mengotrol tontonan anak dan remaja di sekitar kita. Pilihan tentu ada di tangan kita bukan?

Komentar

  1. Bet365 Casino, Hotel & Spa - MapyRO
    Find 삼척 출장마사지 out how many employees at Bet365 Casino, Hotel & 성남 출장마사지 Spa in Biloxi, MS. 하남 출장샵 수원 출장샵 In-house casino 남원 출장안마 information.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Puisi 'Kesabaran' Karya Chairil Anwar

Esai Kajian Struktural terhadap Puisi 'Jembatan' karya Sutardji Calzoum Bachri

Analisis Film 'Negeri 5 Menara'