Esai Kajian Struktural terhadap Puisi 'Jembatan' karya Sutardji Calzoum Bachri


“JEMBATAN”
Karya Sutardji Calzoum Bachri
ESAI
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Kajian Puisi Indonesia
dosen pengampu: Drs. H. Ma’mur Saadie, M.Pd




disusun oleh
Anisa Prasetia Novia               NIM                1103944


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012
ANALISIS PUISI “JEMBATAN” KARYA SUTARDJI CALZOUM BACHRI DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STRUKTURAL
Oleh
Anisa Prasetia Novia
NIM 1103944
Dik B 2011
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia


Puisi sebagai sebuah karya sastra dapat dikaji dengan berbagai macam pendekatan, salah satunya yaitu pendekatan struktural. Dalam ilmu sastra pengertian strukturalisme sudah dipergunakan dengan berbagai cara. Yang dimaksud dengan istilah struktur ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala (Hartoko, 1986:37).
Sementara itu, menurut Ratna (2008:91) bahwa strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan mekanisme antarhubungannya, di satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang lain hubungan antara unsur dengan totalitasnya.
Struktural dalam sajak atau karya sastra yang menganggap bahwa sebuah karya sastra adalah sebuah struktur. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang di antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan-kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling berkaitan, saling terikat dan saling bergantung (Pradopo, 2009:118).
Di dalam pendekatan struktural objek kajiannya ialah sistem sastra. Analisis struktur sastra ini dilakukan secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realitas sosialnya. Yang dimaksud dengan otonom yakni dapat dipahami sebagai kesatuan yang bulat. Jadi, pendekatan struktural mengkaji struktur karya sastra dimana strukturnya merupakan satu kesatuan yang bulat yang tak dapat dipisah-pisahkan. Dengan kata lain bagian-bagian pembentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar dari pada struktur itu.
Ciri khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa dalam diri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat. Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap analisis unsur-unsur. Berikut akan saya tunjukkan kajian terhadap puisi “Jembatan” karya Sutardji Calzoum Bachri dengan menggunakan pendekatan pengkajian struktural.
JEMBATAN
Sutardji Calzoem Bachri

Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

Puisi di atas, dikaji mengenai struktur bathin dan struktur lahirnya. Saya akan menjelaskannya satu persatu dengan lebih terperinci. Pertama saya akan menjelaskan mengenai struktur bathin yang ada di dalam puisi “Jembatan” karya Sutardji Calzoum Bachri ini. Struktur bathin tersebut terdiri dari tema, perasaan (feeling), nada dan suasana, dan amanat.
Tema merupakan pokok atau subject-matter yang dikemukakan oleh penyair (Waluyo, 1987:106). Ungkapan tersebut mengindikasikan bahwa tema merupakan sebuah atmosfer dari sebuah puisi, sebuah puisi pasti memiliki sebuah tema (umumnya satu) yang melingkupi keseluruhan puisi. Oleh sebab itu dalam menafsirkan tema dalam puisi, puisi tersebut harus ditafsirkan secara utuh. Tema di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu tema sosial, saya menafsirkan demikian karena puisi ini menceritakan kehidupan sosial masyarakat yang sangat timpang antara si kaya dan si miskin. Hal tersebut dapat dilihat dari judul puisinya yakni “Jembatan”.  Menurut pendapat saya, yang dimaksud dengan “Jembatan” di sana ialah jurang pemisah yang sangat jelas terlihat antara kaum borjuis dengan rakyat jelata. Hal tersebut seiring dengan cara memahami puisi yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Mursal Esten (1995:32) “Perhatikanlah judulnya. Judul adalah sebuah lubang kunci untuk keseluruhan makna puisi”. Dalam puisi tersebut, mengungkapkan bagaimana seorang tokoh melihat keadaan di sekitarnya yang sangat memprihatinkan. Ia melihat bagaimana orang-orang miskin berusaha mempertahankan hidup dengan susah payah, sedangkan kaum borjuis dengan mudah membangun gedung-gedung, toko-toko, supermarket, jembatan, jalan, yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang miskin tanpa bisa merasakan.
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

Keseluruhan isi puisi di atas, menunjukan berbagai jenis ketimpangan sosial yang terjadi antara kaum borjuis dan rakyat jelata. Hal ini di perkuat dengan kalimat “tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita?” di sini jelas bahwa dengan jelas si tokoh melihat jurang pemisah di antara si kaya dengan si miskin. Dengan demikian maka jelas bahwa tema yang terkandung dalam puisi di atas adalah tema sosial.
Perasaan (feeling) adalah suasana perasaan penyair yang ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1987:121). Perasaan setiap penyair tentunya berbeda, hal inilah  yang membedakan sikap penyair yang satu dengan penyair yang lain walaupun terhadap sesuatu hal yang sama. Saya berpendapat bahwa perasaan sosial penyair menjadi hal utama yang melandasi terciptanya puisi tersebut. Perasaan sosial ini membuat penyair ingin mengungkapkan apa yang mengganjal di dalam hatinya mengenai ketimpangan sosial yang terjadi di dalam masyarakat, ia merasakan kesedihan melihat ketimpangan tersebut.
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

Menurut penulis isi keseluruhan puisi tersebut menunjukkan bagaimana seorang tokoh melihat ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat dan tokoh tersebut merasa sedih dan miris atas apa yang terjadi. Keseluruhan isi puisi tersebut saling keterkaitan membentuk satu makna yakni kesedihan seorang tokoh melihat ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin. Dengan demikian maka penulis menyimpulkan bahwa perasaan yang dirasakan penyair dalam puisinya adalah perasaan sedih dan miris melihat ketimpangan yang terjadi di masyarakat antara si kaya dan si miskin.
Nada adalah sikap penyair dalam menyampaikan puisi terhadap pembaca, beraneka ragam sikap yang sering digunakan oleh penyair, seperti “…apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, menyindir, atau bersikap lugas…”(Waluyo, 1987:125). Suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi itu, atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri ialah bahwa puisi tersebut bernada lugas, sebab penyair begitu lugas dalam mengemukakan bagaimana ketimpangan sosial yang terjadi antara si miskin dan si kaya. Puisi yang berjudul ‘Jembatan’ mencerminkan bagaimana kelugasan penyair dalam mengemukakan pendapat dan pemikirannya, dan tidak bersikap menggurui. Suasana di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri memberikan suasana pada pembaca, bahwa perasaan penyair sangat sensitif ia sangat sedih memikirkan ketimpangan sosial yang terjadi di negerinya dimana Indonesia adalah negara yang satu seperti semboyan “tanah air kita satu, bangsa kita satu, bendera kita satu!” tetapi bangsanya tidak dapat bersatu. Terbukti banyak sekali perbedaan yang mencolok mata antara kaum borjuis dengan rakyat jelata. Hal ini saya rasakan setelah membaca puisi tersebut, memberikan kesadaran bahwa di negara kita ini masih banyak ketimpangan-ketimpangan sosial yang sangat memprihatinkan, misalnya di Jakarta terlihat jelas bahwa yang kaya akan semakin kaya sedangkan yang miskin akan semakin miskin. Sangat jelas bahwa Jakarta itu termasuk kota yang maju bahkan disebut sebagai kota metropolitan tetapi ditengah-tengah kegemerlapannya tersimpan ratusan bahkan mungkin ribuan perkampungan kumuh, ratusan anak-anak terlantas, ratusan pengamen, kuli bangunan, yang hanya bisa melihat tanpa bisa merasakan keindahan hidup di dunia akibat kemiskinan. Seharusnya baik pemerintah maupun masyarakat ikut terlibat dalam mengatasi masalah tersebut agar tercipta negara yang adil, dan makmur seperti yang tercantum dalam salah satu sila pancasila.
Setelah memahami tentang tema, nada,dan perasaan yang terdapat dalam puisi tersebut, saya menyimpulkan bahwa pesan/amanat yang ingin disampaikan pengarang dalam puisinya adalah tentang menyadarkan pembaca bahwa di dalam negara kita tercinta masih banyak ketimpangan sosial yang terjadi antara si kaya dan si miskin. Kita sebagai warga negara Indonesia seharusnya ikut serta dalam menyelesaikan masalah tersebut agar tercipta negara yang adil dan makmur sesuai dengan cita-cita bangsa yang tercantum dalam sila pancasila.
Setelah memahami struktur bathin puisi di atas, saya akan mengajak anda untuk memahami struktur lahir (metode puisi) yang ada di dalam puisi “Jembatan” karya Sutardji Calzoum Bachri ini. Struktur lahir (metode puisi) tersebut terdiri dari diksi (pemilihan kata), pengimajian, kata kongkret, bahasa figuratif/majas, rima dan ritma.
Diksi merujuk kepada pilihan kata (Gorys Keraf, 2002:22). Di dalam diksi (pemilihan kata), penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, disamping memilih kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair, karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya. Dikarenakan pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-kata yang sudah dipilih oleh penyair untuk puisinya bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan katanya, sekalipun maknanya tidak berbeda. Bahkan sekalipun unsur bunyinya hampir mirip dan maknanya sama, kata yang sudah dipilih itu tidak dapat diganti. Jika kata itu diganti akan mengganggu komposisi dengan kata lainnya dalam konstruksi keseluruhan puisi itu. Di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri analisis ragam diksi atau pemilihan kata menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh pembaca yang disusun seperti sebuah kalimat karena selalu di akhiri dengan titik. Dapat diperhatikan keseluruhan isi dari puisi tersebut:
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

Sesuai dengan penggalan puisi di atas, dapat di lihat bahwa penyair dalam menulis puisinya menggunakan susunan kalimat seperti pada umumnya. Ia pun menggunakan bahasa yang lugas seperti bahasa sehari-hari dan cenderung lebih komunikatif sehingga lebih memudahkan pembaca dalam memahami dan menghayati isi dari puisi tersebut. Mungkin penyair sengaja menggunakan kata-kata tersebut sebagai kata yang memiliki unsur orisinalitas atau private symbol sehingga menghasilkan poetic power.
Ada hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata kongkret. Diksi yang dipilih harus menghasilkan pengimajian oleh karena itu kata-kata menjadi lebih kongkret seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian: kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji auditif), benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang bisa kita rasakan, raba, atau sentuh (imaji taktil). Pengimajian di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu sebagai berikut:
Ø  Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa.
(imaji visual)
Ø  Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
(imaji auditif)
Ø  Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza.
(imaji visual)
Ø  Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
(imaji auditif)
Ø  Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada,
(imaji visual)
Ø  tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
(imaji taktil)
Ø  Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang (imaji visual)
Ø  dan otot linu mengerang (imaji taktil)
Ø  mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati (imaji visual)
Ø  dipijak ketidakpedulian pada saudara. (imaji taktil)
Ø  Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
(imaji visual-imaji auditif)
Ø  Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami. (imaji visual-imaji auditif)
Sesuai dengan analisis di atas, dalam puisi tersebut pengimajian sangat di dominasi oleh imaji visual dan imaji auditif. Memang terdapat imaji taktil, namun frekuensinya lebih banyak imaji visual dan imaji auditif. Mungkin penyair sengaja mendominasikan kedua imaji tersebut agar pembaca lebih memahami makna dari puisinya.
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkongkret, maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkongkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika penyair mahir memperkongkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara bathin kedalam puisinya. Jika imaji pembaca merupakan akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair, maka kata kongkret ini merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian itu. Dengan kata yang diperkongkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair. Di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri kata kongkret yang dipilih untuk: 1) melukiskan betapa pedih dan mirisnya kehidupan bangsa kita penyair menggunakan kata ‘Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata/bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi/dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.’; 2) kata-kata yang dipilih untuk melukiskan bahwa ada seorang tokoh entah laki-laki atau perempuan yang memperhatikan masyakarat sekitarnya terutama masyarakat kalangan menengah bawah dengan perasaan miris dan prihatin, ia sangat sedih dengan fenomena yang terjadi di negerinya itu penyair menggunakan kata-kata ‘Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang/jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota/ Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam/ para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan./ Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase/ indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit/
mengucap/ tanah air kita satu/ bangsa kita satu/ bahasa kita satu/ bendera kita satu!’
; 3) kata-kata yang dipilih untuk melukiskan bahwa ia (si tokoh itu) sangat peduli akan ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat dimana orang yang kaya akan semakin kaya sementara orang yang miskin akan semakin miskin. Ia menginginkan agar ada upaya untuk memperbaiki ketimpangan sosial itu penyair menggunakan kata-kata ‘Tapi wahai saudara satu bendera/ kenapa sementara jalan jalan/ mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan/ tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah/ yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita?’; 4) kata-kata yang dipilih untuk melukiskan bahwa orang-orang yang terpinggirkan/orang-orang yang berasal dari kalangan menengah bawah sangat menderita dan sedih karena selalu tidak dihargai dan orang-orang kaya/kalangan menengah atas banyak yang tidak perduli sama sekali dengan keadaan mereka. Padahal, seharusnya sesama saudara satu bangsa, satu bendera kita harus saling bahu membahu dalam menegakan negara yang adil dan makmur. Penyair memilih kata kata ‘Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot/ linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati/ dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu/ mengucapkan kibarnya./ Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.’.
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang. Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena: 1) bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, 2) bahasa figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongkret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, 3) bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk puisinya dan menyampaikan sikap penyair, 4) bahasa figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Perrine, 1974:616-617). Di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri menggunakan majas hiperbola yakni kiasan yang berlebih-lebihan seperti dalam kata-kata Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata/ bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi/ dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna./’, ‘Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot/ linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati/ dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu/ mengucapkan kibarnnya./ Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami./’. Selain memiliki majas hiperbola, puisi ini juga memiliki majas metonimi. Majas metonimi ialah pemindahan istilah atau nama suatu hal atau benda ke suatu hal atau benda lainnya yang mempunyai kaitan rapat (Jabrohim dkk 2003:51). Menurut Alternbornd (dalam Baribin 1990:50) metonimia, ialah penggunaan sebuah atribut dari suatu objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut. Metonimi juga sering disebut dengan bahasa kiasan pengganti nama. Majas ini diungkapkan dengan kata-kata Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan/ mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan/ tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah/ yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang/ di antara kita?/’ di dalam penggalan kata-kata di atas, terdapat kata saudara satu bendera maksudnya adalah masyarakat penghuni negara tersebut. Kemudian terdapat kata menjembatani jurang di antara kita maksudnya adalah menghancurkan pemisah diantara orang-orang kaya dan orang-orang miskin.
Bunyi di dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima adalah pengulangan bunyi di dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk mengulang bunyi ini penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi. Rima di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri adalah sebagai berikut:
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata (pengulangan bunyi fonem /a/ dan /m/)
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi (pengulangan bunyi fonem /b/, /a/, /s/, /k/, /t/, dan /l/)
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. (pengulangan kata ‘dalam’ dan bunyi fonem /a/, /e/, /d/, /u/, /k/, dan /h/)
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang (pengulangan bunyi fonem /a/, /u/, /p/, /e/, /r/ dan kata ‘wajah’)
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota. (pengulangan bunyi fonem /a/, /e/, /i/, /s/, dan /k/)
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam (pengulangan kata ‘wajah’ dan pengulangan bunyi fonem /a/, /ng/, dan /l/)
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan. (pengulangan bunyi fonem /p/, /a/, /e/, /m/, /u/, dan /ng/)
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase (pengulangan bunyi fonem /a/, /e/, dan /n/)
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit (pengulangan bunyi fonem /i/, /d/, /a/, dan /e/)
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu            (pengulangan bunyi fonem /a/, /b/, /s/ dan pengulangan kata
bahasa kita satu             ‘kita satu’)
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan (pengulangan bunyi fonem /a/, /s/, /e/, /n/ dan pengulangan kata ‘jalan’)
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan (pengulangan bunyi fonem /m/, /e/, /a/, /n/, dan /t/)
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah (pengulangan bunyi fonem /u/, /m/, /h/, /e/, dan /a/)
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang (pengulangan konjungsi penghubung antar subjek dan predikat ‘yang’ dan pengulangan bunyi fonem /a/, /ng/, /m/)
di antara kita? (pengulangan bunyi fonem /a/)
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot (pengulangan bunyi fonem /d/, /l/, /e/, /m/, /a/, dan /k/)
linu mengerang mereka pancangkan koyak-minyak bendera hati (pengulangan bunyi fonem /i/, /n/, /m/, /e/, /ng/, /a/, dan /k/)
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu (pengulangan bunyi fonem /d/, /i/, /p/, /a/, /k/, /e/, dan /m/)
mengucapkan kibarnya. (pengulangan bunyi fonem /a/)
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami. (pengulangan bunyi fonem /a/, /t/, /i/, /e/, dan /m/)
Dalam ritma pemotongan-pemotongan baris menjadi frasa yang berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah puisi itu. Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata, frasa, dan kalimat. Ritma dapat dikatakan sebagai irama namun berbeda dengan metrum (matra). Dalam puisi karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, irama sudah diciptakan secara kreatif artinya tidak hanya berupa pemotongan baris-baris puisi menjadi dua frasa, tetapi keseluruhan isi puisi tersebut terikat dan saling berhubungan satu sama lain sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Ritma di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri adalah tanda baca yang ada di setiap larik yang merupakan pengikat beberapa baris, sehingga baris-baris itu seolah bergelombang menimbulkan ritma.
Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.

Komentar

  1. Saya boleh minta referensi buku apa saja yang di pakai dalam esai ini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf.. sudah tidak ada filenya, saya pun lupa referensinya apa saya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Puisi 'Kesabaran' Karya Chairil Anwar

Analisis Novel "Midah Simanis Bergigi Emas" Karya Pramoedya Ananta Toer