Contoh Kajian Struktural Todorov dan Psikoanalisis Cerpen
KAJIAN
STRUKTURAL TODOROV DAN PSIKOANALISIS DALAM CERPEN ELEGI SANG PERMATA KARYA
DINDA CANDRASARI
MAKALAH
diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Prosa Fiksi Indonesia
dosen pengampu: Halimah, S.Pd
disusun
oleh
Anisa
Prasetia Novia NIM 1103944
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012
A.
Kajian
Struktural Todorov dalam Cerpen “Elegi Sang Permata” Karya Dinda Candrasari
1.
Sinopsis
Chaira,
seorang gadis yang sangat cantik. Ia memiliki kekasih bernama Pandu, namun naas
ketika ia berulang tahun Pandu mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Chaira
histeris, dan hal itu membuat Chaira shock sehingga ia berubah menjadi gadis
yang pendiam. Bahkan ia seolah menjadi mayat hidup, tak pernah sedikitpun ia
menyunggingkan senyuman yang tulus dari bibirnya.
Setahun
berlalu, Chaira mulai menjalani hidupnya seperti biasa. Hanya dengan belajar ia
bisa mencoba melupakan kenangan buruknya setahun lalu, tetapi ia masih saja
bersikap dingin terhadap siapapun.
Kedua
sahabatnya Raisha dan Sabrina sering mengingatkan Chaira dan berusaha membantu
sahabatnya agar bangkit untuk melanjutkan hidupnya. Namun semua usahanya nihil.
Pada
suatu hari, Sabrina mengajak Chaira untuk pergi ke Mall tapi Chaira menolak ia
malah ingin pergi ke makam kekasihnya Pandu. Lama ia tinggal di makam itu, dan
merenung. Namun Sabrina mengajaknya pulang dengan setengah memaksa. Malam
harinya Chaira masih larut dalam kesedihan dan menumpahkan semua dalam buku
diary melalui goresan tangannya.
Keesokan
harinya, tiba-tiba seseorang menyapa Chaira. Ia adalah Rio, seorang pemuda yang
sudah sejak lama menyukainya. Ia mengembalikan sebuah liontin kepada Chaira
pemberian Pandu yang jatuh, Rio merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Malam
harinya ia masih termenung, memikirkan sosok bidadari yang telah merebut
hatinya.
Ketika
ia menangkap sosok Rio secara utuh di kantin, Chaira tiba-tiba saja merasakan
sesuatu yang berbeda di hatinya. Hal itu sontak membuat kedua sahabatnya senang
sekaligus tak mengerti dengan perubahan Chaira.
Pagi
yang indah, ketika Chaira membuka kedua matanya. Tiba-tiba handphonenya
berbunyi dengan sangat keras, telpon dari nomor tidak bernama. Chaira
mengangkat telpon itu, ia shock ketika mendengar suara yang tidak asing
ditelinganya. Suara Pandu, Chaira histeris dan menangis.
Chaira
memutuskan untuk pergi ke Taman Kota tempat favoritnya bersama Pandu. Lama ia
menangis, dan termenung mengingat Pandu. Tanpa disangka, Rio memperhatikannya
dari kejauhan dan menghampirinya memberikan sapu tangan untuk menghapus
airmatanya. Chaira terkejut, dan sontak menghapus airmatanya. Rio duduk
disamping Chaira, berusaha mengungkapkan isi hatinya kepada Chaira. Kata-kata
Rio akhirnya meluluhkan Chaira, ia pun jatuh kedalam pelukan Rio.
2.
Analisis Alur dan pengaluran
2.1 Analisis
Alur Berdasarkan Fungsi Utama
Rincian
Fungsi Utama
F1 : Kabar kematian Pandu kekasih Chaira di
hari ulang tahun Chaira
F2 : Chaira shock dan langsung pergi menuju
tempat kejadian
F3 : Chaira menangis memeluk Pandu yang sudah
tidak bernyawa
F4 : Malam itu menjadi malam yang paling
menyakitkan untuk Chaira
F5 : Setahun berlalu Chaira mulai melanjutkan
hidupnya
F6 : Chaira sedikit depresi sehingga sikapnya
berubah menjadi dingin dan pendiam
F7 : Kedua sahabat Chaira, yaitu Sabrina dan
Raisha sering mengingatkan agar Chaira bangkit kembali
F8 : Sabrina mengajak Chaira pergi ke Mall
F9 : Chaira menolak dan memilih untuk pergi
ke makam kekasihnya
F10 : Chaira kembali mengingat Pandu
F11 : Sabrina menarik Chaira untuk pulang karena
cuaca mendung
F12 : Malam harinya, Chaira kembali mengingat
Pandu dan mengelus liontin pemberian Pandu
F13 : Esoknya di kampus Rio mengembalikan
liontin Chaira yang terjatuh
F14 : Karena pertemuan itu, Rio semakin jatuh
cinta terhadap Chaira
F15 : Malam harinya, Rio masih memikirkan Chaira
F16 : Di kantin, pandangan Chaira dan Rio
bertemu
F17 : Chaira merasakan perasaannya berfungsi
lagi
F18 : Sabrina dan Raisha senang dan bingung
dengan ungkapan Chaira
F19 : Sabrina dan Raisha akhirnya tahu Rio lah
yang membuat perasaan Chaira berfungsi kembali
F20 : Chaira bertanya kepada Tuhan apakah ia
jatuh cinta kembali
F21 : Pagi hari Handphone Chaira berdering,
telepon dari nomor yang tidak bernama
F22 : Chaira mengangkat telepon
F23 : Suara orang yang menelpon membuat Chaira
histeris karena seperti suara Pandu
F24 : Chaira kembali teringat Pandu
F25 : Chaira memutuskan untuk pergi ke Taman
Kota tempat favoritnya dengan Pandu
F26 : Disana ia kembali mengenang masa-masa
indahnya bersama Pandu
F27 : Chaira menangis
F28 : Rio menghampiri Chaira dan memberikan sapu
tangan
F29 : Chaira terkejut
F30 : Rio duduk disamping Chaira
F31 : Rio menjelaskan bahwa ia tahu Chaira
disana dari kedua sahabat Chaira
F32 : Chaira menatap Rio
F33 : Rio mengungkapkan isi hatinya kepada
Chaira
F34 : Akhirnya Chaira luluh dan menerima Rio
Bagan
Fungsi Utama
F6
|
F1
|
F5
|
F2
|
F4
|
F7
|
F3
|
F12
|
F14
|
F13
|
F15
|
F19
|
F16
|
F20
|
F17
|
F1111
|
F10
|
F9
|
F8
|
F34
|
F18
|
F33
|
F21
|
F32
|
F22
|
F30
|
F31
|
F29
|
F23
|
F26
|
F28
|
F27
|
F25
|
F24
|
Deskripsi
Alur
Kabar
kematian Pandu kekasih Chaira yang terjadi saat malam perayaan ulang tahun
Chaira, mendengar berita tersebut Chaira shock dan histeris. Tanpa berfikir
panjang Chaira langsung mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, dan
sampailah ia di tempat kejadian. Chaira hanya bisa menangis seraya memeluk
tubuh kaku Pandu yang sudah tidak bernyawa. Malam itu menjadi malam yang paling
menyakitkan bagi Chaira.
Setahun
berlalu, Chaira mulai melanjutkan aktifitas hidupnya yang sudah lama ia
tinggalkan. Semenjak kejadian itu, Chaira sedikit depresi. Ia berubah menjadi
gadis yang pendiam dan bersikap dingin. Kedua sahabatnya Sabrina dan Raisha
sering mengingatkan Chaira agar tetap melanjutkan hidupnya dan bangkit dari
keterpurukannya.
Pada
suatu hari Sabrina mengajak Chaira pergi ke Mall, namun Chaira menolak dan
memilih untuk pergi ke Makam Pandu. Di sana ia mengingat Pandu, kekasih yang
sangat dicintainya. Cuaca mendung, membuat Sabrina menarik Chaira dengan paksa
untuk pulang. Malam harinya, Chaira kembali mengingat Pandu dan mengelus
liontin pemberian Pandu yang bertuliskan namanya dengan Pandu.
Esok
harinya, Rio menghampiri Chaira untuk mengembalikan liontin Chaira yang
terjatuh. Karena pertemuan itu, Rio semakin jatuh cinta kepada Chaira. Malam
harinya, ia masih saja membayangkan gadis manis yang telah memikat hatinya.
Di
Kantin, pandangan Chaira dan Rio bertemu, hal itu sontak membuat jantung Chaira
berdebar-debar dan ia merasakan perasaannya berfungsi kembali. Sabrina dan
Raisha bingung sekaligus senang dengan ungkapan Chaira tentang perasaannya.
Mereka semakin bingung dengan perubahan sikap Chaira, namun akhirnya mereka
tahu bahwa Rio lah yang membuat perasaan Chaira berfungsi kembali. Malam
harinya, Chaira hanya bisa bertanya kepada Tuhan apakah perasaannya berfungsi
kembali? Apakah ia merasakan jatuh cinta lagi?
Keesokan
harinya, tiba-tiba handphone Chaira berbunyi dengan sangat kencang. Chaira
bingung sesaat, telpon dari nomor tidak bernama. Perlahan ia pun mengangkat
telpon itu, alangkah terkejutnya ia ketika mendengar suara si penelpon yang
mirip dengan suara Pandu. Chaira histeris dan memutuskan untuk pergi ke Taman
Kota tempat favoritnya bersama Pandu dulu. Di Taman itu,Chaira kembali
mengingat masa-masa indahnya bersama Pandu. Chaira hanya bisa menangis, ia pun
memanggil nama Pandu. Tiba-tiba saja, Rio menyodorkan sebuah sapu tangan. Hal
itu sontak membuat Chaira terkejut, Rio meminta izin untuk duduk di samping
Chaira. Rio mulai mencoba menjelaskan bahwa ia mengetahui Chaira berada di
Taman Kota dari Sabrina dan Raisha, namun Chaira hanya menatap Rio. Rio pun
memberanikan diri mengungkapkan perasaannya terhadap Chaira. Akhirnya Chaira
luluh dan menerima Rio.
2.2 Analisis
Pengaluran Berdasarkan Sekuen
Rincian
Sekuen
S1 : Malam yang Chaira bayangkan menjadi
malam terindah, ternyata menjadi malam yang kelabu bagi hidup Chaira (sekuen
linear)
S2 : Pandu kekasihnya memberikan kejutan yang
tak terlupakan, bukan dengan kebahagiaan tetapi kesedihan (sekuen linear)
S3 : Suara anjing-anjing yang melolong
menambah keterpurukan Chaira (sekuen linear)
S4 : Cemas dan harapan silih berganti di
benak Chaira (sekuen linear)
S5 : Kamar tempat ia berdiri dan memegang
handphone terasa asing bagi Chaira (sekuen linear)
S6 : Chaira menangis dan berlutut (sekuen
linear)
S7 : Chaira langsung pergi mengendarai
mobilnya (sekuen linear)
S8 : Diperjalanan Chaira hanya bisa mengingat
kenangannya bersama Pandu yang membuat ia terus saja menangis (sekuen ingatan)
S9 : Sesampainya di tempat kejadian, Chaira
langsung menyandarkan tubuhnya di atas raga Pandu yang sudah tidak bernyawa (sekuen
linear)
S10 : Chaira merasa hampa, setengah kesadarannya
ikut hilang dengan kematian Pandu dan ia hanya bisa menangis (sekuen linear)
S11 : setahun berlalu, Chaira kembali
melanjutkan hidupnya. Kematian Pandu, membuat Chaira sedikit depresi. Hanya
dengan menuntut ilmu Chaira bisa sejenak melupakan tragedi itu (sekuen linear)
S12 : Chaira berusaha memberikan
senyuman-senyuman bersama kedua sahabatnya namun tetap saja bukan senyuman
tulus (sekuen linear)
S13 : Salah satu teman laki-laki satu fakultas
memanggil Chaira (sekuen linear)
S14 : Deskripsi fisik laki-laki teman satu
fakultas Chaira (sekuen linear)
S15 : Chaira tidak membalas panggilan itu, ia
sangat acuh. Sejak kematian Pandu, Chaira berubah menjadi gadis pendiam dan
sikapnya berubah menjadi dingin (sekuen linear)
S16 : Raisha sahabat Chaira sering bertanya
sampai kapan Chaira menutup hidupnya untuk orang lain (sekuen linear)
S17 : Chaira hanya bisa menatap dengan tatapan
kosong menatap kembali masa kelamnya (sekuen ingatan)
S18 : Chaira hanya bisa menjawab tidak tahu
(sekuen linear)
S19 : Raisha kembali membujuknya, ia mengatakan
bahwa Chaira tidak pernah tersenyum benar-benar dari hatinya. Chaira menjadi
emosi dan akhirnya menangis, Raisha pun akhirnya meminta maaf (sekuen linear)
S20 : Chaira kini seperti kupu-kupu yang rapuh,
di kampus Chaira lebih banyak diam (sekuen linear)
S21 : Sabrina mengajak Chaira pergi ke Mall,
tetapi Chaira menolak dan lebih memilih untuk pergi ke Makam Pandu (sekuen
linear)
S22 : Sabrina pun menemani Chaira ke Makam Pandu
(sekuen linear)
S23 : Karena mendung, Sabrina mengajak Chaira
untuk pulang dan menariknya dengan paksa (sekuen linear)
S24 : Chaira mengelus liontinnya, liontin
pemberian Pandu. Liontin itu terukir namanya dan Pandu (sekuen linear)
S25 : Pandu meninggalkan Chaira untuk selamanya
secara tragis di malam ketika Chaira menunggu kehadirannya, ia mengendarai
motornya dengan kecepatan tinggi sehingga kecelakaan itu tak dapat dihindari.
Pandu meregang nyawa membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah
ulang tahun Chaira (sekuen ingatan)
S26 : Malam, Chaira menumpahkan seluruh
kesedihannya lewat sebuah tulisan yang ia tulis dalam sebuah diary, diiringi
suara jangkring dan sinar rembulan (sekuen linear-ingatan)
S27 : Esok harinya, seorang laki-laki tiba-tiba
menyapa Chaira. Laki-laki yang sejak lama mengaguminya (sekuen linear)
S28 : Chaira tersenyum, setelah hatinya tergerak
melihat sorotan tajam dari mata laki-laki itu (sekuen linear)
S29 : Berdebarnya jantung laki-laki itu, membuat
wajahnya panas, dan lidahnya pun menjadi kaku. Ia pun membiarkan Chaira berlalu
di hadapannya (sekuen linear)
S30 : laki-laki itu kembali memanggil Chaira dan
mengembalikan liontin Chaira yang terjatuh (sekuen linear)
S31 : Dengan wajah lega, Chaira segera mengambil
liontinnya dari tangan laki-laki itu. Laki-laki itu bernama Rio (sekuen linear)
S32 : Rio bertanya apakah liontin itu penting, Chaira
hanya mengangguk lalu ia pun tertunduk dan berbalik badan meninggalkan Rio
(sekuen linear)
S33 : Jantung Rio kembali berdebar dan kini ia
melamun (sekuen linear-bayangan)
S34 : Panggilan Alvin teman Rio yang tidak
terdengar oleh Rio (sekuen linear)
S35 : Alvin menghampiri Rio yang berdiri
mematung (sekuen linear)
S36 : Teriakan dan lambaian tangan di wajah Rio
akhirnya menyadarkan Rio dari lamunannya (sekuen linear)
S37 : Pertanyaan Alvin mengapa Rio melamun, Rio
menceritakan bahwa ia melihat bidadari yang baru saja lewat di depannya (sekuen
linear-bayangan)
S38 : Ketidakmengertian Alvin, dan malah sibuk
mencari sosok bidadari yang disebutkan Rio (sekuen linear)
S39 : Teringatnya Alvin dengan kuis yang akan
diberikan oleh Dosen, dan mengingatkan Rio. Mereka pun masuk ke kelas (sekuen
ingatan-linear)
S40 : Malam harinya, Rio tidak bisa tidur karena
pikiranya masih tertuju pada Chaira, gadis yang telah memikat hatinya (sekuen
bayangan)
S41 : Deskripsi akan sikap Chaira (sekuen
linear)
S42 : Di Kantin, Sabrina mengingatkan agar
Chaira termotivasi untuk mengambil hikmah dari kematian pandu (sekuen linear)
S43 : Kata-kata Sabrina, membuat Chaira kembali
mengingat masa lalunya bersama Pandu. Chaira berusaha menjawab, tetapi ia tidak
sanggup meneruskan kata-katanya. Ia memejamkan matanya, menelan perasaan
sesaknya (sekuen ingatan-linear)
S44 : Ketika ia membuka mata, pandangannya
bertemu dengan Rio (sekuen linear)
S45 : Kebingungan Raisha mencari sosok yang
membuat Chaira terpaku (sekuen linear)
S46 : Berdebarnya jantung Chaira, dan terlihat
senyum kemenangan dari bibir Chaira (sekuen linear)
S47 : Saling pandangnya Raisha dan Sabrina
karena tak mengerti apa yang terjadi dengan Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui
semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina (sekuen linear)
S48 : Akhirnya Raisha dan Sabrina tahu siapa
yang membuat Chaira berubah (sekuen linear)
S49 : Malam hari, Chaira terbayang akan sosok
Rio yang membuat jantungnya berdetak dengan kencang (sekuen linear-bayangan)
S50 : Esoknya, Chaira terbangun karena
handphonenya berdering dengan nyaring (sekuen linear)
S51 : Chaira mengangkat telepone dari nomor
belum bernama, alangkah terkejutnya ia ketika mendengar suara si penelpon yang
mirip dengan suara Pandu (sekuen linear-ingatan)
S52 : Terputusnya telepone itu, dan Chaira
histeris (sekuen linear-ingatan)
S53 : Kesengajaan Chaira mengunjungi Taman Kota
tempat favoritnya dengan Pandu untuk menjernihkan pikirannya (sekuen linear)
S54 : Setengah jam Chaira duduk melihat genangan
air yang luas di depannya (sekuen linear)
S55 : Ia merasakan hembusan angin yang menerpa
tubuhnya, seketika ia teringat ucapan Pandu setahun silam. Ia menutup kedua
matanya dan memanggil nama Pandu, Ia membuka matanya dan kembali memanggil nama
Pandu diiringi tetesan airmatanya (sekuen ingatan)
S56 : Tak disangka, ternyata Rio mengawasi
Chaira. Rio menghampiri Chaira dan memberikan sapu tangan kepada Chaira, Chaira
terkejut (sekuen linear)
S57 : Chaira gugup dan menghapus airmatanya, Rio
menyapanya namun Chaira hanya membisu. Rio memohon izin untuk duduk di samping
Chaira, tetapi Chaira masih saja diam (sekuen linear)
S58 : Percobaan Rio untuk menjelaskan bahwa ia
mengetahui Chaira berada di Taman Kota dari Raisha karena Taman Kota adalah
tempat favorit Chaira bersama Pandu, Chaira langsung menatap dalam-dalam mata
Rio. Pertahan Chaira mulai runtuh (sekuen linear)
S59 : Keberanian Rio mengungkapkan isi hatinya
kepada Chaira bahwa ia ingin mengembalikan senyuman di hari-hari Chaira. Chaira
menangis. Rio memberanikan diri memegang tangan Chaira, Chaira tak memberikan
perlawanan apapun. Ia sudah berada di titik lemahnya (sekuen linear)
S60 : Keberanian Rio mengungkapkan perasaannya
dan meminta Chaira untuk menjadi kekasihnya (sekuen linear)
S61 : Akhirnya Chaira luluh dan Chaira jatuh di
pelukan Rio (sekuen linear)
S62 : Ungkapan hati Pandu (sekuen bayangan)
Bagan
Pengaluran
S1
S8 S25 S26 S33
S39 S40 S43 S49 S51 S52
S55 S62
Deskripsi Sekuen
Malam yang Chaira bayangkan menjadi malam terindah,
ternyata menjadi malam yang kelabu bagi hidup Chaira. Pandu kekasihnya
memberikan kejutan yang tak terlupakan, bukan dengan kebahagiaan tetapi
kesedihan. Suara anjing-anjing yang melolong menambah keterpurukan Chaira. Cemas
dan harapan silih berganti di benak Chaira. Kamar tempat ia berdiri dan
memegang handphone terasa asing bagi Chaira. Chaira menangis dan berlutut, ia langsung
pergi mengendarai mobilnya.
Di perjalanan Chaira hanya bisa mengingat
kenangannya bersama Pandu yang membuat ia terus saja menangis. Sesampainya di
tempat kejadian, Chaira langsung menyandarkan tubuhnya di atas raga Pandu yang
sudah tidak bernyawa. Chaira merasa hampa, setengah kesadarannya ikut hilang
dengan kematian Pandu dan ia hanya bisa menangis.
Setahun berlalu, Chaira kembali melanjutkan
hidupnya. Kematian Pandu, membuat Chaira sedikit depresi. Hanya dengan menuntut
ilmu Chaira bisa sejenak melupakan tragedi itu. Chaira berusaha memberikan
senyuman-senyuman bersama kedua sahabatnya namun tetap saja bukan senyuman
tulus.
Tiba-tiba saja salah satu teman laki-laki satu
fakultas memanggil Chaira. Kemudian deskripsi mengenai fisik laki-laki teman
satu fakultas Chaira itu. Tetapi sayang Chaira tidak membalas panggilan itu, ia
sangat acuh. Sejak kematian Pandu, Chaira berubah menjadi gadis pendiam dan sikapnya
berubah menjadi dingin.
Raisha sahabat Chaira sering bertanya sampai kapan
Chaira menutup hidupnya untuk orang lain. Chaira hanya bisa menatap dengan
tatapan kosong menatap kembali masa kelamnya dan hanya bisa menjawab tidak tahu.
Raisha kembali membujuknya, ia mengatakan bahwa Chaira tidak pernah tersenyum
benar-benar dari hatinya. Chaira menjadi emosi dan akhirnya menangis, Raisha
pun akhirnya meminta maaf.
Chaira kini seperti kupu-kupu yang rapuh, di kampus
Chaira lebih banyak diam. Sabrina mengajak Chaira pergi ke Mall, tetapi Chaira
menolak dan lebih memilih untuk pergi ke Makam Pandu. Sabrina pun menemani
Chaira ke Makam Pandu. Karena mendung, Sabrina mengajak Chaira untuk pulang dan
menariknya dengan paksa. Chaira mengelus liontinnya, liontin pemberian Pandu.
Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu meninggalkan Chaira untuk
selamanya secara tragis di malam ketika Chaira menunggu kehadirannya, ia
mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi sehingga kecelakaan itu tak dapat
dihindari. Pandu meregang nyawa membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati
hadiah ulang tahun Chaira.
Malam, Chaira menumpahkan seluruh kesedihannya lewat
sebuah tulisan yang ia tulis dalam sebuah diary, diiringi suara jangkring dan
sinar rembulan. Esok harinya, seorang laki-laki tiba-tiba menyapa Chaira.
Laki-laki yang sejak lama mengaguminya. Chaira tersenyum, setelah hatinya
tergerak melihat sorotan tajam dari mata laki-laki itu. Berdebarnya jantung
laki-laki itu, membuat wajahnya panas, dan lidahnya pun menjadi kaku. Ia pun
membiarkan Chaira berlalu di hadapannya, laki-laki itu kembali memanggil Chaira
dan mengembalikan liontin Chaira yang terjatuh. Dengan wajah lega, Chaira
segera mengambil liontinnya dari tangan laki-laki itu. Laki-laki itu bernama
Rio, Rio bertanya apakah liontin itu penting, Chaira hanya mengangguk lalu ia
pun tertunduk dan berbalik badan meninggalkan Rio. Jantung Rio kembali berdebar
dan kini ia melamun. Panggilan Alvin teman Rio yang tidak terdengar oleh Rio, Alvin
menghampiri Rio yang berdiri mematung. Teriakan dan lambaian tangan di wajah
Rio akhirnya menyadarkan Rio dari lamunannya. Pertanyaan Alvin mengapa Rio
melamun, Rio menceritakan bahwa ia melihat bidadari yang baru saja lewat di depannya.
Ketidakmengertian Alvin, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang disebutkan
Rio. Teringatnya Alvin dengan kuis yang akan diberikan oleh Dosen, dan
mengingatkan Rio. Mereka pun masuk ke kelas.
Malam harinya, Rio tidak bisa tidur karena pikiranya
masih tertuju pada Chaira, gadis yang telah memikat hatinya. Deskripsi akan
sikap Chaira. Di Kantin, Sabrina mengingatkan agar Chaira termotivasi untuk
mengambil hikmah dari kematian pandu. Kata-kata Sabrina, membuat Chaira kembali
mengingat masa lalunya bersama Pandu. Chaira berusaha menjawab, tetapi ia tidak
sanggup meneruskan kata-katanya. Ia memejamkan matanya, menelan perasaan
sesaknya. Ketika ia membuka mata, pandangannya bertemu dengan Rio. Kebingungan
Raisha mencari sosok yang membuat Chaira terpaku. Berdebarnya jantung Chaira,
dan terlihat senyum kemenangan dari bibir Chaira. Saling pandangnya Raisha dan
Sabrina karena tak mengerti apa yang terjadi dengan Chaira. Hari-hari yang
Chaira lalui semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina. Akhirnya Raisha dan
Sabrina tahu siapa yang membuat Chaira berubah.
Malam hari, Chaira terbayang akan sosok Rio yang
membuat jantungnya berdetak dengan kencang. Esoknya, Chaira terbangun karena
handphonenya berdering dengan nyaring. Chaira mengangkat telepone dari nomor
belum bernama, alangkah terkejutnya ia ketika mendengar suara si penelpon yang
mirip dengan suara Pandu. Terputusnya telepone itu, dan Chaira histeris. Kesengajaan
Chaira mengunjungi Taman Kota tempat favoritnya dengan Pandu untuk menjernihkan
pikirannya. Setengah jam Chaira duduk melihat genangan air yang luas di
depannya. Ia merasakan hembusan angin yang menerpa tubuhnya, seketika ia
teringat ucapan Pandu setahun silam. Ia menutup kedua matanya dan memanggil
nama Pandu, Ia membuka matanya dan kembali memanggil nama Pandu diiringi
tetesan airmatanya. Tak disangka, ternyata Rio mengawasi Chaira. Rio
menghampiri Chaira dan memberikan sapu tangan kepada Chaira, Chaira terkejut. Chaira
gugup dan menghapus airmatanya, Rio menyapanya namun Chaira hanya membisu. Rio
memohon izin untuk duduk di samping Chaira, tetapi Chaira masih saja diam. Percobaan
Rio untuk menjelaskan bahwa ia mengetahui Chaira berada di Taman Kota dari
Raisha karena Taman Kota adalah tempat favorit Chaira bersama Pandu, Chaira
langsung menatap dalam-dalam mata Rio. Pertahan Chaira mulai runtuh. Keberanian
Rio mengungkapkan isi hatinya kepada Chaira bahwa ia ingin mengembalikan
senyuman di hari-hari Chaira. Chaira menangis. Rio memberanikan diri memegang
tangan Chaira, Chaira tak memberikan perlawanan apapun. Ia sudah berada di
titik lemahnya. Keberanian Rio mengungkapkan perasaannya dan meminta Chaira
untuk menjadi kekasihnya. Akhirnya Chaira luluh dan Chaira jatuh di pelukan
Rio. Ungkapan hati Pandu.
3. Analisis
Tokoh dan Latar
3.1 Analisis
Tokoh
a. Chaira
Chaira
di dalam cerpen ini merupakan tokoh utama, secara fisiologis ia seorang perempuan
berusia sekitar 18-20 tahun, cantik, bertubuh mungil, berambut panjang tergerai
indah, dengan mata sayu, pipi yang mulus, dan bibir merah alami. Tergambar
dalam penggalan kata-kata berikut:
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan
gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang
sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk
mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni,
lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue.
Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang
kembali ke khayangan.
Malam ini, mata Rio enggan untuk
terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap
sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio
seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta
sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah
secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya
diatas raga kekasih yang telah membeku.
Ternyata malaikat cinta sedang
melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah
permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai
indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
Di perjalanan, perhatiannya hanya
teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang
yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya
terus membasahi pipi mulus Chaira..
“Pandu..” satu nama yang ia panggil
yang keluar dari bibir merah Chaira diiringi setetes embun yang terjun dari
keindahan permata Chaira.. (Candrasari, 2012:1-7)
Secara sosiologis,
Chaira adalah seorang mahasiswa di salah satu Universitas (itu berarti ia seorang
yang berpendidikan), berasal dari kalangan menengah atas. Tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
Di kampus, Chaira hanya melihat layar
yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata
dan imajinasinya.
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira
terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar
hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini. Malam itu terlalu pekat
untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya. (Candrasari, 2012:1-2)
Secara psikologis, Chaira merupakan seorang perempuan yang ceria, namun
semenjak kekasihnya Pandu meninggal Chaira sedikit depresi, ia menjadi sosok
yang dingin dan pendiam. Ia seolah tidak dapat menjalani hidupnya dengan
normal, Chaira lebih senang menyendiri. Ia tidak pernah mau untuk menatap lawan
jenisnya, dan ia tidak pernah memberikan senyuman yang tulus dan ikhlas dari
bibirnya. Chaira perempuan sederhana namun begitu dingin. Tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta
sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah
secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya
diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang
ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
Setahun, setelah ia sadar dirinya tak
mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh
emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku .”
Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa
melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu
kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi
senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki
bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan
jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia
hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah
kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah
setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi
ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
Tertumpuk sudahlah perasaan yang
menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari
mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan
dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar
yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata
dan imajinasinya.
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari
tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia
nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue
ga kesana.”
Hatinya telah tergoda kepada sosok
Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.
Chaira Chaira, permata yang kehilangan
kilauannya.. Sosok gadis yang mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba
meraih setiap asa yang pernah pupus, dan sosok yang menjadi bisu. (Candrasari,
2012:1-5)
Chaira merupakan tokoh bulat/kompleks karena di dalam hidupnya mengalami
perubahan, yakni dari ceria menjadi gadis yang sangat dingin dan acuh terhadap
hidupnya semenjak kematian Pandu kekasihnya tepat saat pesta ulang tahun
Chaira. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta
sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah
secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya
diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang
ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
Setahun, setelah ia sadar dirinya tak
mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh
emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku
.” Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa
melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu
kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi
senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki
bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan
jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia
hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah
kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai.
Begitulah setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka.
Tertumpuk sudahlah perasaan yang
menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari
mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan
dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar
yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata
dan imajinasinya.
Hatinya telah tergoda kepada sosok
Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.
Chaira Chaira, permata yang kehilangan
kilauannya.. Sosok gadis yang mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba meraih
setiap asa yang pernah pupus, dan sosok yang menjadi bisu. (Candrasari,
2012:1-5)
Chaira merupakan tokoh real (nyata) karena merupakan tokoh yang ada di
dalam cerita, dan merupakan tokoh individual karena ia mewakili dirinya sendiri
tidak mewakili banyak tokoh.
b.
Rio
Rio di dalam cerpen ini merupakan tokoh utama, secara fisiologis ia seorang
laki-laki berusia sekitar 18-20 tahun, berwajah tampan, bertubuh tinggi, dengan
kulit kuning langsat, bermata tajam setajam mata elang, dengan alis yang sangat
indah. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki
se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat,
mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti
kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.
“Chairaa..” sapa laki-laki yang
mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam
dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. (Candrasari, 2012:2-4)
Secara sosiologis, Rio adalah seorang mahasiswa di salah satu Universitas
(itu berarti ia merupakan seorang yang berpendidikan). Tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki
se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat,
mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti
kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk
kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya
drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
(Candrasari, 2012:2-5)
Secara psikologis, Rio merupakan laki-laki yang baik, lembut, perhatian, ia
pintar, rio sudah lama mengagumi Chaira, perlahan namun pasti Rio mulai
mendekati Chaira dan akhirnya mendapatkan cinta dari Chaira. Tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
... otaknya yang seperti emas dalam
kebisuan.
“Chairaa..” sapa laki-laki yang
mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam
dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan,
perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira
berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.” Ungkapan
hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai
indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio
mengahmpiri dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan
liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah
lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira
mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang
membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak.
Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku
merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.
Malam ini, mata Rio enggan untuk
terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap
sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio
seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
Hatinya telah tergoda kepada sosok
Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.
“Tuhan, aku mulai jatuh cinta.”
Kalimat yang mewakili dari seluruh perasaan senangnya bersentuh tangan dengan
si gunung es yang membekukan dirinya dibawah teriknya matahari tadi.
Tak disangka, ternyata sang elang
mengawasi permata itu dari sisinya, dan mengulurkan sehelai kain kehadapannya.
Chaira terkejut.
“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus
sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa
tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang diterima Rio, ia paham akan Chaira.
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira
mengalihkan pandangannya, kembali ke depan. Rio menghela nafas, tanggannya
mengepal menahan perasaannya dan melanjutkan pembicaraan.
“Aku tau kamu disini dari Raisha,
setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini tempat favorit kamu dulu sama....”
Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang dan alis yang seperti kepakan
sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio terdiam dan kembali menatap mata permata
itu, pertahanan Chaira hampir runtuh semua.
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan
permata yang hilang dari kehidupan kamu, dan aku ingin mengembalikan permata
yang hilang itu dan memilikinya dengan semua keindahan yang kamu punya.” Chaira
tak dapat menahan butiran-butiran air kecil, dan membiarkan terjatuh dari
kelopak mawar mata Chaira dadanya seakan terhimpit oleh perasaan kehilangan, nafasnya
mulai terengah, dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal.
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku
luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang
tangan sang bidadari, Chaira lemah tak memberikan perlawanan apapun, dirinya
sudah berada dititik lemahnya kini.
Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku
ngebalikin permata itu kembali bersinar dimata kamu, mata kamu udah terlalu
lelah untuk menangis..”
Cengkraman tangan sang pemangsa,
meruntuhkan segala pertahanan sang bidadari, Raja elang membuka sayapnya
lebar-lebar untuk sang bidadari yang telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan
pernah melepaskan bidadari hatinya. (Candrasari, 2012:2-8)
Rio merupakan tokoh tokoh pipih/sederhana, karena ia tidak mengalami
perubahan dalam dirinya. Maksudnya disini, sifat dan sikap Rio tidak mengalami
perubahan drastis. Rio juga merupakan tokoh real/nyata karena ia diceritakan
pasti dalam bentuk tokoh yang berupa dialog. Ia merupakan tokoh individual karena
ia mewakili dirinya sendiri tidak mewakili banyak tokoh.
c.
Pandu
Pandu di dalam cerpen ini merupakan tokoh utama namun di tampilkan secara simbolik,
karena ia hanya diceritakan namun tidak ikut dalam dialog antar tokoh di dalam
cerpen ini. Tetapi kehadiran Pandu sangat berpengaruh bagi tokoh utama (Chaira),
karena akibat kematian Pandu hidup Chaira berubah, sifat dan sikap Chaira pun
ikut berubah. Chaira menjadi depresi karena kehilangan sosok kekasih yang
sangat dicintainya. Tergambar dalam kata-kata berikut:
Chaira terus saja mengelus liontinnya,
karna hanya itu yang tersisa dari masa lalunya.
Pandu laki-laki itu yang memberikan liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu laki-laki itu yang memberikan liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu meninggalkan Chaira secara
tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang
sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu
merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah
ulang tahun Chaira.
Terdengar sayup-sayup suara lembut dan
terdengar sebuah lantunan dawai gitar yang mengalun telinga Chaira, Chaira
teringat ucapan Pandu setahun silam. Dengan perlahan Chaira menutup matanya,
dan memanggil nama Pandu.
“Saat dunia tak mampu bertahan,
cintaku akan selalu bersamamu. Teruskanlah hidupmu Chaira, karna aku disisimu,
hingga kau mendapatkan cinta yang sebenarnya cinta. Dan jika kau rindu aku
pejamkan matamu dan panggil namaku, I’ll be there for you my angle.” Bisikan
lembut yang mengiris seluruh kesedihannya, dan satu kecupan yang indah. Chaira
membuka matanya perlahan dengan seluruh genangan airmata.
“Pandu..” satu nama yang ia panggil
yang keluar dari bibir merah Chaira diiringi setetes embun yang terjun dari
keindahan permata Chaira.. (Candrasari, 2012:3-7)
d.
Raisha
Raisha di dalam cerpen ini merupakan tokoh tambahan, secara fisiologis
tidak dijelaskan di dalam cerpen ini, secara sosiologis ia adalah mahasiswa dari salah satu Universitas (itu
berarti ia merupakan seorang yang berpendidikan), ia merupakan sahabat Chaira
semenjak SMA. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Waktu masih memberikan peluang untuk
kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan
bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
“Ra, mau sampai kapan lo tutup
kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal
itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya
kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah
pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA. (Candrasari, 2012:1-2)
Secara psikologis, Raisha merupakan gadis yang baik, sangat perhatian dan
peduli terhadap Chaira sahabatnya. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Ra, mau sampai kapan lo tutup
kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal
itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya
kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah
pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi
ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah
melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh
ombak laut menerjang dirinya kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur
menjadi pecahan-pecahan permata yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan
bahunya dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.”
Tertumpuk sudahlah perasaan yang
menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari
mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan
dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak
mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang
melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah
permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui,
semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang
memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan
aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut
pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:1-6)
Raisha merupakan tokoh pipih/sederhana karena ia tidak mengalami perubahan
dalam dirinya. Maksudnya disini, sifat dan sikap Raisha tidak mengalami
perubahan drastis. Raisha juga merupakan tokoh real/nyata karena ia diceritakan
pasti dalam bentuk tokoh yang berupa dialog. Ia merupakan tokoh individual
karena ia mewakili dirinya sendiri tidak mewakili banyak tokoh.
e.
Sabrina
Sabrina di dalam cerpen ini merupakan tokoh tambahan, secara fisiologis
tidak dijelaskan di dalam cerpen ini, secara sosiologis ia adalah mahasiswa dari salah satu Universitas (itu
berarti ia merupakan seorang yang berpendidikan), ia merupakan sahabat Chaira
semenjak SMA. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Waktu masih memberikan peluang untuk
kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan
bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian
itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari
pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut
ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali
bersandar pada masanya bersama Pandu.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak
mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang
melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah
permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui,
semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang
memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan
aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut
pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:1-6)
Secara psikologis, Sabrina merupakan gadis yang sedikit cerewet (ceriwis),
ia gadis yang baik, perhatian dan sangat peduli terhadap sahabatnya Chaira.
Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari
tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia
nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue
ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada
kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat
kembali dari sorot mata indah Chaira.
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup
ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu
kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira.
“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian
itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari
pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut
ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali
bersandar pada masanya bersama Pandu.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak
mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang
melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah
permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui,
semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang
memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan
aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut
pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:1-6)
Sabrina merupakan tokoh pipih/sederhana karena ia tidak mengalami perubahan
dalam dirinya. Maksudnya disini, sifat dan sikap Sabrina tidak mengalami
perubahan drastis. Sabrina juga merupakan tokoh real/nyata karena ia
diceritakan pasti dalam bentuk tokoh yang berupa dialog. Ia merupakan tokoh
individual karena ia mewakili dirinya sendiri tidak mewakili banyak tokoh.
f.
Alvin
Alvin di dalam cerpen ini merupakan tokoh tambahan, secara fisiologis tidak
dijelaskan di dalam cerpen ini, secara sosiologis ia adalah mahasiswa dari salah satu Universitas (itu
berarti ia merupakan seorang yang berpendidikan), ia merupakan teman satu kelas
Rio. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak
mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri
temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka
Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga
pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi
hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok
bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk
kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya
drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
(Candrasari, 2012:4-5)
Alvin merupakan tokoh pipih/sederhana karena ia tidak mengalami perubahan
dalam dirinya. Maksudnya disini, sifat dan sikap Alvin tidak mengalami
perubahan drastis. Alvin juga merupakan tokoh real/nyata karena ia diceritakan
pasti dalam bentuk tokoh yang berupa dialog. Ia merupakan tokoh individual
karena ia mewakili dirinya sendiri tidak mewakili banyak tokoh.
3.2
Analisis Latar
a.
Waktu
-
Malam hari, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan
menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai
memberi kejutan yang teramat tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan
darah segar. (Candrasari, 2012:1)
-
Malam hari, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
Pandu meninggalkan Chaira secara
tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang
sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu
merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah
ulang tahun Chaira. (Candrasari, 2012:3)
-
Malam ini, ditengah keheningan malam
yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan. Tergambar
dalam penggalan kata-kata berikut:
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh
amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia
bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar
suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari.
(Candrasari, 2012:3)
-
Siang hari, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
“Chairaa..” sapa laki-laki yang
mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam
dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan,
perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan
Chaira berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.”
Ungkapan hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai
indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio menghampiri
dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan
liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah
lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira
mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang
membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak. Sekali lagi “Tuhan, tak pernah
aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan
mendengarnya.
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak
mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun
menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka
Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga
pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi
hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok
bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk
kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya
drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
(Candrasari, 2012:4-5)
-
Malam ini, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
Malam ini, mata Rio enggan untuk
terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap
sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya. Entah apa yang
merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari
baginya. (Candrasari, 2012:5)
-
Esoknya, pagi hari. Tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
Esoknya matahari menerikkan semangat
ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya,
dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. (Candrasari, 2012:6)
-
Pagi hari, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
Untuk menghilangkan rasa cemas yang
menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk
menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
(Candrasari, 2012;7)
b.
Ruang dan tempat
-
Di dalam kamar, tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
Suara-suara anjing-anjing itu masih
saja mengganggu haru birunya Chaira, menambah suasana mencekam di dalam
kamarnya.
Kamar dimana ia berdiri dan
menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan
airmata dan bertekuk lutut. (Candrasari, 2012:1)
-
Di dalam mobil, tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
Malam itu terlalu pekat untuk Chaira
lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya
teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang
yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya
terus membasahi pipi mulus Chaira.. (Candrasari, 2012:1)
-
Tempat Pandu kecelakaan, tergambar
dalam penggalan kata-kata berikut:
Entah secepat apa ia menginjak gasnya
hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah
membeku. (Candrasari, 2012:1)
-
Di Kampus tempat Chaira kuliah,
tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki
se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat,
mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti
kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan. Tapi balasan
Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau
menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti
tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah.
(Candrasari, 2012:2)
-
Di Kampus tepatnya di kelas, tergambar
dalam penggalan kata-kata berikut:
Dikampus, Chaira hanya melihat layar
yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata
dan imajinasinya.
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari
tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia
nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue
ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada
kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat
kembali dari sorot mata indah Chaira. (Candrasari, 2012:2-3)
-
Makam Pandu, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari
tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia
nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue
ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada
kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat
kembali dari sorot mata indah Chaira.
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup
ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu
kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira. (Candrasari, 2012:3)
-
Di atas motor Pandu, tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
Pandu meninggalkan Chaira secara
tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang
sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu
merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah
ulang tahun Chaira. (Candrasari, 2012:3)
-
Di pinggir tempat tidur, tergambar
dalam penggalan kata-kata berikut:
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh
amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia
bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar
suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari.
(Candrasari, 2012:3)
-
Di halaman kampus, tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak
mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri
temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka
Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga
pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi
hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok
bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk
kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya
drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
(Candrasari, 2012:4-5)
-
Di kantin kampus, tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
Kata-kata yang keluar dari mulut
ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali
bersandar pada masanya bersama Pandu. (Candrasari, 2012:5)
-
Di depan cermin, tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
“Tuhan, aku berbicara denganMu lagi,
aku merasakan beda. Apa aku?” Chaira berbicara dengan dirinya di depan cermin,
dengan sesekali merapikan rambutnya yang terurai dengan jari-jari laksana
bidadari dari langit ke-tujuh, pikirnya terbang kebayangan sang elang membuat jantungnya
berdetak tak karuan. (Candrasari, 2012:6)
-
Kamar Chaira, tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
Esoknya matahari menerikkan semangat
ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya,
dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. (Candrasari, 2012:6)
-
Di Taman Kota, tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
Untuk menghilangkan rasa cemas yang
menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk
menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
(Candrasari, 2012:7)
-
Tempat duduk di Taman Kota, tergambar
dalam penggalan kata-kata berikut:
Setelah setengah jam ia duduk melihat
kumpulan air yang menggenang luas didepannya, sesekali hanya melempar kerikil
kecil ke genangan itu. Seketika ia merasakan sesuatu yang tak seperti biasanya,
rambutnya melayang karna hembusan angin dingin yang menghenyapkan. (Candrasari,
2012:7)
4.
Analisis Gaya Penceritaan
4.1
Modus
a.
Jenis Penceritaan
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” Karya Dinda Candrasari ini, jenis
penceritaan menggunakan pencerita ekstern. Pencerita ekstern adalah pencerita yang tidak hadir di dalam
teks karena posisinya hanya sebagai pengamat/sudut pandang orang ketiga. Maksudnya disini si pencerita tidak ikut berperan di dalam teks. Hal ini
tergambar dalam penggalan teks berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan menjadi
yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai memberi
kejutan yang teramat tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan darah
segar. Suara-suara anjing-anjing itu masih saja mengganggu haru birunya Chaira,
menambah suasana mencekam di dalam kamarnya.
Suara diseberang sana mampu
menghilangkan setengah kewarasannya dan mengganti rasa deg-degkan berharapnya
itu dengan deg-degkan tak karuan nafasnya seakan berhenti sejenak.
Kamar dimana ia berdiri dan
menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan
airmata dan bertekuk lutut.
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira
terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar
hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini. Malam itu terlalu pekat
untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya
teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang
yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya
terus membasahi pipi mulus Chaira..
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta
sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah
secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya
diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang
ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
“Siapa yang bisa menggantikannya,
Tuhan ?” Sahut suara hati Chaira yang semakin membuat dia lelah bertanya dan ia
takkan menemukan jawabannya sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis..
(Candrasari, 2012:1)
Seperti yang tergambar dalam penggalan teks di atas, jelas bahwa si
pencerita tidak ikut terlibat/berperan di dalam teks, ia hanya sebagai
pengamat. Si pencerita hanya sebagai orang yang menceritakan kisah hidup Chaira
yang mulai depresi dan tidak menjalani hidupnya dengan normal sebagai akibat
dari kematian kekasihnya Pandu.
b.
Tipe Pencerita
-
Wicara yang dilaporkan
Ialah wicara dengan gaya langsung maksudnya ujaran sama sekali tak
mengalami perubahan dan disebut juga ujaran yang dilaporkan (discours
rapporte). Maksudnya disini agar
perasaan cerita benar-benar terjadi, maka dilakukanlah peniruan (mimesis) dan
pencerita memberikan mandate untuk menyampaikan cerita pada tokoh-tokohnya,
yang akan berupa wicara langsung. Tugas pencerita hanyalah melaporkan cakapan
para tokoh sebagaimana adanya
tanpa mengubahnya.
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda
Candrasari terdapat wicara yang di laporkan yakni sebagai berikut:
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira
terus saja mencari naungan,...
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah
aku.”
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki
se-fakultasnya memanggil,...
“Ra, mau sampai kapan lo tutup
kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?” Raisha tak pernah
bosan menanyakan hal itu ke Chaira,...
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah
pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi
ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah
melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
... Raisha mensejajarkan bahunya
dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.”
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari
tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha...
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue
ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada
kelas kan?”
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup
ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu
kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira.
“Chairaa..” sapa laki-laki yang
mengagguminya,...
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai
indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio menghampiri
dengan langkah yang stay cool.
“Penting ya Ra?” tanya Rio....
“Rio!” panggilan dari temannya...
“Riioooo!!” Teriakan dan lambaian
tangan...
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga
pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya...
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk
kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya
drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian
itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari
pada lo.”
“Iya, gue tau kok Bi, tapi ..” Chaira
tak punya banyak kekuatan...
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari
sosok yang membuat temannya itu terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.”
Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
“Halo.” Sejenak terhening, tak ada balasan
suara dari seberang sana....
“Chaira..” Suara lembut yang terdengar
samar-samar....
“Ga mungkin dia kembali, dia udah
pergi selamanya. Ga munggkkkkiiiiiiiiiinnnn!!!” Chaira shock,...
“Pandu..” satu nama yang ia panggil...
“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus
sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa
tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang diterima Rio,...
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira
mengalihkan pandangannya,...
“Aku tau kamu disini dari Raisha,
setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini tempat favorit kamu dulu sama....”
Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang...
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan
permata yang hilang dari kehidupan kamu, dan aku ingin mengembalikan permata
yang hilang itu dan memilikinya dengan semua keindahan yang kamu punya.” Chaira
tak dapat menahan butiran-butiran air kecil,...
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku
luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang
tangan sang bidadari,... Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku ngebalikin permata
itu kembali bersinar dimata kamu, mata kamu udah terlalu lelah untuk
menangis..” (Candrasari, 2012:1-8)
-
Wicara yang dialihkan
Ialah wicara gaya tak langsung (discours transpose) atau ujaran yang
disesuaikan/dialihkan, maksudnya ujaran disampaikan dengan cara menggabungkan
kaidah-kaidah bahasa dengan cerita si penutur. Dalam hal ini pengamat melihat
segalanya dari jarak dekat. Namun, kali ini pencerita tidak memberikan mandatnya
pada tokoh untuk mengemukakan cerita, melainkan dia sendiri yang berperan.
Meskipun demikian, pencerita berusaha agar dapat menyampaikan cerita sedekat
mungkin. Karena itu pencerita tidak menggunakan wicara sendiri seluruhnya
melainkan ia menggunakan wicara tokoh yang dialihkannya menjadi wicara sendiri.
Yang dikemukakan dalam wicara alihan tidak hanya peristiwa, melainkan juga pemandangan,
tokoh, pikiran mereka, dan sebagainya.
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda
Candrasari terdapat wicara yang dialihkan yakni sebagai berikut:
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta
sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab.
“Siapa yang bisa menggantikannya,
Tuhan?” Sahut suara hati Chaira yang semakin membuat dia lelah bertanya dan ia
takkan menemukan jawabannya sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis..
Laki-laki itu berdebar tak karuan,
perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira
berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.” Ungkapan
hati si mata elang itu.
Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku
merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.
“Tuhan, aku mulai jatuh cinta.”
Kalimat yang mewakili dari seluruh perasaan senangnya bersentuh tangan dengan
si gunung es yang membekukan dirinya dibawah teriknya matahari tadi.
Chaira Chaira, permata yang kehilangan
kilauannya.. Sosok gadis yang mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba
meraih setiap asa yang pernah pupus, dan sosok yang menjadi bisu.
“Tuhan, aku berbicara denganMu lagi,
aku merasakan beda. Apa aku?” Chaira berbicara dengan dirinya di depan cermin,
dengan sesekali merapikan rambutnya yang terurai dengan jari-jari laksana
bidadari dari langit ke-tujuh, pikirnya terbang kebayangan sang elang membuat jantungnya
berdetak tak karuan.
“Saat dunia tak mampu bertahan,
cintaku akan selalu bersamamu. Teruskanlah hidupmu Chaira, karna aku disisimu,
hingga kau mendapatkan cinta yang sebenarnya cinta. Dan jika kau rindu aku
pejamkan matamu dan panggil namaku, I’ll be there for you my angle.” Bisikan
lembut yang mengiris seluruh kesedihannya, dan satu kecupan yang indah. Chaira
membuka matanya perlahan dengan seluruh genangan airmata.
“Chaira.. wanita sempurna yang pernah
aku miliki..” Ucap Pandu. (Candrasari, 2012:1-8)
-
Wicara yang dinarasikan
Ialah wicara gaya yang diceritakan/dinarasikan (discours raconte) mengemukakan
isi dari tindakan mengujarkan tanpa mempertahankan unsurnya. Maksudnya disini pencerita melihat segala yang
terjadi dari jarak jauh. Karena jauh itulah maka pencerita merasa tidak
terlibat dengan semua yang dilihatnya. Maka pencerita luar menyajikan sendiri
jalan cerita dengan menggunakan wicara yang dinarasikan. Keseluruhan wicara itu tidak mungkin dilepaskan dari konteksnya. Artinya,
dari unsur lainnya.
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari terdapat wicara
yang dinarasikan yakni sebagai berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan
menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai
memberi kejutan yang teramat tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan
darah segar. Suara-suara anjing-anjing itu masih saja mengganggu haru birunya
Chaira, menambah suasana mencekam di dalam kamarnya.
Suara diseberang sana mampu
menghilangkan setengah kewarasannya dan mengganti rasa deg-degkan berharapnya
itu dengan deg-degkan tak karuan nafasnya seakan berhenti sejenak.
Kamar dimana ia berdiri dan
menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan
airmata dan bertekuk lutut.
Chaira terus saja mencari naungan,
menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar hatinya. Pikirannya terampas oleh
kekasihnya kini.
Malam itu terlalu pekat untuk Chaira
lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya
teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang
yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya
terus membasahi pipi mulus Chaira..
Chaira tak temukan titik kesadarannya,
yang ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut
melayang.
Entah secepat apa ia menginjak gasnya
hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah
membeku.
Setahun, setelah ia sadar dirinya tak
mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh
emosi yang tertahan.
Hanya menuntut ilmu yang ia bisa
jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa melupakan sejenak tragedi yang
terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu kemarin. Waktu masih memberikan
peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah
Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman
kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
Salah satu teman laki-laki
se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat,
mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti
kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki
bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan
jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia
hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah
kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai.
Begitulah setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka.
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal
itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya
kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh
Raisha sahabatnya dari SMA.
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh
ombak laut menerjang dirinya kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur
menjadi pecahan-pecahan permata yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan
bahunya dengan Chaira.
Tertumpuk sudahlah perasaan yang
menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari
mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan
dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar
yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata
dan imajinasinya.
Sabrina yang selalu berusaha
mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat
permata itu mengkilat.
Sinar permata itu hampir saja terlihat
kembali dari sorot mata indah Chaira.
Tarikan Sabrina memberikan satu
kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira.
Chaira terus saja mengelus liontinnya,
karna hanya itu yang tersisa dari masa lalunya.
Pandu laki-laki itu yang memberikan
liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu
terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu
mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu meninggalkan Chaira secara
tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang
sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu
merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah
ulang tahun Chaira.
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh
amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia
bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar
suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari.
Sepenggal kata yang Chaira ciptakan
dibuku hariannya, yang sedikit bisa membantu mengurangi rasa lelahnya tiap
senja berganti malam.
Sapa laki-laki yang mengagguminya,
tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang
laki-laki itu, ia tersenyum.
rambut Chaira yang tergerai indah
menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
Rio mengahmpiri dengan langkah yang
stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan
liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah
lega.
Tanya Rio. Chaira mengangguk tertunduk
gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang membuat jantung Rio
berhenti berdetak sejenak.
Panggilan dari temannya pun tak mampu
melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri
temannya yang mematung.
Teriakan dan lambaian tangan dimuka
Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
Rio baru menatap mata temannya yang
sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk
mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
Akhirnya drama singkat itu berakhir
seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
Malam ini, mata Rio enggan untuk
terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap
sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio
seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
Hatinya telah tergoda kepada sosok
Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.
Kata-kata yang keluar dari mulut
ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali
bersandar pada masanya bersama Pandu.
Chaira tak punya banyak kekuatan untuk
meneruskan kata demi katanya, ia hanya sanggup untuk melepaskan lelahnya dengan
memejamkan mata dan susah payah menelan ludahnya dan dihinggapi perasaan yang
sesak.
Ketika ia membuka mata, permatanya
langsung terperangkap oleh incaran sang elang dari kejauhan sana.
Raisha mencari sosok yang membuat
temannya itu terpaku.
Terlihat senyum kemenangan yang baru
tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak
mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang
melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah
permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui,
semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang
memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan
aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut
pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya.
Esoknya matahari menerikkan semangat
ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya,
dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. Handphone-nya berdering dengan
nyaring, mendobrak pendengaran telinga dan penglihatannya. Permata yang
tersembunyi dari matanya menyilaukan pagi. Ia melihat nomer yang muncul dari
benda kecilnya, belum ada nama. Dengan perlahan ia membuka pembicaraan.
Sejenak terhening, tak ada balasan
suara dari seberang sana. Sekali lagi Chaira mengucapkan satu kata tadi. Hanya
terdengar suara desahan nafas dan suara gemetar yang membuat jantung Chaira
jadi berdegup cepat.
Suara lembut yang terdengar samar-samar.
Chaira terperangkap suara itu, matanya
terbelalak. Dan seketika itu handphone-nya kembali normal kembali. Chaira masih
menggenggam handphone-nya erat-erat dan ia merasa tidak asing mendengar suara
itu.
Chaira shock, dia menutup mukanya
dengan tangan lembutnya yang seketika mendingin, dan membanjiri tangannya
dengan linangan airmata. Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya
sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan
seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
Setelah setengah jam ia duduk melihat
kumpulan air yang menggenang luas didepannya, sesekali hanya melempar kerikil
kecil ke genangan itu. Seketika ia merasakan sesuatu yang tak seperti biasanya,
rambutnya melayang karna hembusan angin dingin yang menghenyapkan.
Terdengar sayup-sayup suara lembut dan
terdengar sebuah lantunan dawai gitar yang mengalun telinga Chaira, Chaira
teringat ucapan Pandu setahun silam. Dengan perlahan Chaira menutup matanya,
dan memanggil nama Pandu.
satu nama yang ia panggil yang keluar
dari bibir merah Chaira diiringi setetes embun yang terjun dari keindahan
permata Chaira..
Tak disangka, ternyata sang elang
mengawasi permata itu dari sisinya, dan mengulurkan sehelai kain kehadapannya.
Chaira terkejut.
Chaira gugup dengan menghapus
sisa-sisa kepedihannya.
Hanya kebisuan yang diterima Rio, ia
paham akan Chaira.
Chaira mengalihkan pandangannya,
kembali ke depan. Rio menghela nafas, tanggannya mengepal menahan perasaannya
dan melanjutkan pembicaraan.
Chaira langsung menatap dalam-dalam
mata elang dan alis yang seperti kepakan sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio
terdiam dan kembali menatap mata permata itu, pertahanan Chaira hampir runtuh
semua.
Chaira tak dapat menahan
butiran-butiran air kecil, dan membiarkan terjatuh dari kelopak mawar mata
Chaira dadanya seakan terhimpit oleh perasaan kehilangan, nafasnya mulai
terengah, dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal.
Chaira menjadi tak mengerti ucapan
Rio.
Rio memberanikan memegang tangan sang
bidadari, Chaira lemah tak memberikan perlawanan apapun, dirinya sudah berada
dititik lemahnya kini.
Cengkraman tangan sang pemangsa,
meruntuhkan segala pertahanan sang bidadari, Raja elang membuka sayapnya
lebar-lebar untuk sang bidadari yang telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan
pernah melepaskan bidadari hatinya.. (Candrasari, 2012:1-8)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari terdapat tiga
tipe pencerita yaitu wicara yang dilaporkan, wicara yang dialihkan, dan wicara
yang dinarasikan. Namun dalam ketiga wicara tersebut terdapat yang paling
menonjol yakni wicara yang dinarasikan. Kemungkinan besar penulis memilih
wicara yang dinarasikan agar ia lebih bebas berekspresi untuk mendeskripsikan
cerita lebih mendalam. Terbukti dari penggalan-penggalan teks yang dinarasikan
lebih banyak dibandingkan dengan penggalan teks yang dilaporkan dan dialihkan.
4.2
Kala/Waktu
a.
Waktu dunia yang digambarkan (tataran
peristiwa/cerita)
Waktu dunia yang digambarkan (tataran peristiwa/cerita) dalam cerpen “Elegi
Sang Permata” karya Dinda Candrasari yakni sebagai berikut:
-
Malam hari, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan
menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. (Candrasari, 2012:1)
-
Malam hari, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
Pandu meninggalkan Chaira secara
tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang
sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu
merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah
ulang tahun Chaira. (Candrasari, 2012:3)
-
Malam ini, ditengah keheningan malam
yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan. Tergambar
dalam penggalan kata-kata berikut:
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh
amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia
bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar
suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari.
(Candrasari, 2012:3)
-
Malam ini, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
Malam ini, mata Rio enggan untuk
terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap
sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya. Entah apa yang
merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari
baginya. (Candrasari, 2012:5)
-
Pagi hari, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
Untuk menghilangkan rasa cemas yang
menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk
menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
(Candrasari, 2012;7)
b.
Waktu wacana yang menggambarkan
(tataran penceritaan)
Waktu wacana yang menggambarkan (tataran penceritaan) dalam cerpen “Elegi
Sang Permata” karya Dinda Candrasari yakni sebagai berikut:
-
Siang hari, tergambar dalam penggalan
kata-kata berikut:
“Chairaa..” sapa laki-laki yang
mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam
dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan,
perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan
Chaira berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.”
Ungkapan hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai
indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio menghampiri
dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan
liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah
lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira
mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang
membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak. Sekali lagi “Tuhan, tak pernah
aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan
mendengarnya.
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak
mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun
menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka
Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga
pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi
hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok
bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk
kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya
drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
(Candrasari, 2012:4-5)
-
Esoknya, pagi hari. Tergambar dalam
penggalan kata-kata berikut:
Esoknya matahari menerikkan semangat
ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya,
dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. (Candrasari, 2012:6)
4.3
Sudut Pandang
Di dalam cerpen
“Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari, menggunakan sudut pandang dia-an
mahatahu, maksudnya disini si pencerita seolah dapat mengetahui semua yang
terjadi dengan si tokoh. Ia seolah mengetahui apa yang akan terjadi dengan si
tokoh, apa yang akan diucapkan si tokoh, bagaimana perasaan si tokoh, bahkan
keadaan bathin dan kejiwaan si tokoh. Selain itu, ia tidak ikut berperan dalam
cerita, ia hanya sebagai pengamat tetapi pengamat yang mahatahu. Hal ini
tergambar dalam penggalan teks berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan
menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai
memberi kejutan yang teramat tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan
darah segar. Suara-suara anjing-anjing itu masih saja mengganggu haru birunya
Chaira, menambah suasana mencekam di dalam kamarnya.
Suara diseberang sana mampu
menghilangkan setengah kewarasannya dan mengganti rasa deg-degkan berharapnya
itu dengan deg-degkan tak karuan nafasnya seakan berhenti sejenak.
Kamar dimana ia berdiri dan
menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan
airmata dan bertekuk lutut.
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira
terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar
hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini.
Malam itu terlalu pekat untuk Chaira
lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya
teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang
yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya
terus membasahi pipi mulus Chaira..
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta
sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah
secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya
diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang
ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
“Siapa yang bisa menggantikannya,
Tuhan ?” Sahut suara hati Chaira yang semakin membuat dia lelah bertanya dan ia
takkan menemukan jawabannya sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis..
Setahun, setelah ia sadar dirinya tak
mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh
emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku
.” Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa
melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu
kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi
senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman
kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki
se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat,
mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti
kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki
bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan
jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia
hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah
kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah
setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka. (Candrasari, 2012:1-2)
5.
Simpulan
Cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari di dalam analisis alur
dan pengaluran memiliki fungsi utama kurang lebih 34 fungsi utama dan memiliki
sekuen kurang lebih 62 sekuen, yang di dominasi dengan sekuen linear dan
ingatan.
Analisis tokoh dan latar di dalam cerpen ini memiliki enam tokoh yakni
Chaira, Rio, Raisha, Sabrina, Pandu, dan Alvin, sedangkan latar di dalam cerpen
ini sangat beragam yakni terdapat latar waktu , latar tempat dan latar ruang.
Analisis gaya penceritaan di dalam cerpen ini meliputi modus yang dibagi
menjadi dua yaitu jenis penceritaan yang menggunakan pencerita ekstern, dan tipe
pencerita menggunakan wicara yang dilaporkan, wicara yang dialihkan, dan wicara
yang dinarasikan, namun secara keseluruhan tipe pencerita ini di dominasi oleh
wicara yang dinarasikan. Selain modus, di dalam analisis gaya penceritaan juga
membahas tentang kala/waktu yang meliputi waktu dunia yang digambarkan (tataran
peristiwa/cerita), dan waktu wacana yang menggambarkan (tataran penceritaan),
namun kala/waktu ini lebih di domonasi oleh waktu dunia yang digambarkan
(tataran peristiwa/cerita). Sudut pandang di dalam analisis gaya penceritaan
terhadap cerpen ini menggunakan sudut pandang dia-an maha tahu.
Cerpen “Elegi Sang
Permata” karya Dinda Candrasari ini cocok untuk dibaca oleh kalangan remaja
karena menceritakan tentang kisah cinta anak muda, dengan disisipi kisah haru
dan romantis. Dari segi bahasa, cerpen ini menggunakan bahasa yang sedikit
puitis namun masih mudah untuk dipahami. Selain itu, bahasa dialog antar tokoh di
dalam cerpen ini menggunakan ragam bahasa tidak baku/menggunakan bahasa
sehari-hari sehingga akan lebih memudahkan remaja untuk membaca cerpen ini.
DAFTAR PUSTAKA
Candrasari, Dinda. 2012. Elegi Sang
Permata. http://www.lokerseni.web.id/2012/04/cerpen-romantis-terbaru-elegi-sang.html#ixzz26unTZUiK
(19 September 2012)
B. Kajian Psikoanalisis dalam Cerpen “Elegi
Sang Permata” Karya Dinda Candrasari
1.
Pendahuluan
Kajian Sastra (Aminuddin,1995:39) ialah kegiatan
mempelajari unsur-unsur dan hubungan antar unsur dalam karya sastra bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu. Dalam
mengkaji sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan
pengkajian seperti kajian struktural, struktural genetik, semiotik, sosiologi
sastra, dekonstruksi, psikoanalisis, feminisme, intertekstual.
Cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari ini akan dikaji dengan
menggunakan pendekatan psikoanalisis karena di dalam cerpen ini lebih condong
menceritakan mengenai keadaan kejiwaan tokoh. Psikoanalisis melihat perilaku orang itu diakibatkan adanya
semacam dorongan yang terpendam dalam diri seseorang karena suatu pengalaman
yang dialaminya. Oleh karena itu, penulis memilih
menggunakan pendekatan psikoanalisis dalam mengkaji cerpen tersebut.
2.
Psikoanalisis
Psikoanalisis
ditemukan di Wina, Austria, oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis merupakan salah
satu aliran di dalam disiplin ilmu psikologi yang memilik beberapa definisi dan
sebutan, Adakalanya psikoanalisis didefinisikan sebagai metode penelitian,
sebagai teknik penyembuhan dan juga sebagai pengetahuan psikologi.
Psikoanalisis menurut definisi modern yaitu (1) Psikoanalisis adalah
pengetahuan psikologi yang menekankan pada dinamika, faktor-faktor psikis yang
menentukan perilaku manusia, serta pentingnya pengalaman masa kanak-kanak dalam
membentuk kepribadian masa dewasa, (2) Psikoanalisis adalah teknik yang khusus
menyelidiki aktivitas ketidaksadaran (bawah sadar), (3) Psikoanalisis adalah
metode interpretasi dan penyembuhan gangguan mental.
Psikoanalisis
dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi
psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi
proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada
pembaca. Namun, yang digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena
sangat berkaitan dalam bidang
sastra.
Asal usul
dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu
sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang
diterapkan pada karya sastra.
Nyoman
Kutha Ratna (2007) mengatakan bahwa psikologi sastra seharusnya memberikan
prioritas pada sastra bukan pada psikologi. Psikologi sastra juga merupakan suatu
pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah
manusia. Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari
sudut psikologi. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang, dan pembaca
atau kepada teks itu sendiri (Dick Hartoko dan B. Rahmanto, 1989: 126).
Munculnya pendekatan
psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana
sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Yaitu Tafsiran Mimpi ( The Interpretation of Dreams ) danThree Contributions to
A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori Seks dalam dekade
menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik
simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala
Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan
Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme(pergaulan
kaku).Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak
zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan(madness) dari tingkat neurotik
sampai psikosis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia berbeda
dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya
dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun, pengarang tidak sekedar
mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti
Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian
neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan
jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra.(Psikoanalisis Sastra).
Psikologi atau
psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan
tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan
alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra
atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra
sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen
di luar karya sastra.
Psikoanalisis dapat
digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses
kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya.
Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan
naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan
tepat dapat membantu kita melihat keretakan (fissure), ketidakteraturan,
perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra. Psikoanalisis
dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh
dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara
sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat
menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya. Tokoh-tokoh dalam pendekatan
Psikoanalisis Sastra, yaitu sebagai berikut:
a) Sigmund
Freud
b) T.S Elliot
c) Carl.G.Jung
d) Ribot,
psikolog Perancis
e) L.Russu
f) Wordsworth
yang menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang puisi.
3.
Aspek Bawah Sadar Manusia
Sigmund Freud (1856 – 1939) adalah seorang Austria keturunan Yahudi dan
pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi. Nama asli Freud
adalah Sigismund Scholomo. Namun sejak menjadi mahasiswa Freud tidak mau
menggunakan nama itu karena kata Sigismund adalah bentukan kata Sigmund. Freud
lahir pada 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia. Saat itu Moravia merupakan bagian
dari kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang Cekoslowakia). Pada usia empat tahun
Freud dibawa hijrah ke Wina, Austria (Berry, 2001:3). Kedatangan Freud berbarengan
dengan ramainya teori The Origin of Species karya Charles Darwin (Hall,
2000:1).
Psikoanalisis bermula dari keraguan Freud terhadap kedokteran. Pada saat
itu kedokteran dipercaya bisa menyembuhkan semua penyakit, termasuk histeria
yang sangat menggejala di Wina (Freud, terj.,1991:4). Pengaruh Jean-Martin
Charcot, neurolog Prancis, yang menunjukkan adanya faktor psikis yang
menyebabkan histeria mendukung pula keraguan Freud pada kedokteran (Berry,
2001:15). Sejak itu Freud dan doktor Josef Breuer menyelidiki penyebab
histeria. Pasien yang menjadi subjek penyelidikannya adalah Anna O. Selama
penyelidikan, Freud melihat ketidakruntutan keterangan yang disampaikan oleh
Anna O. Seperti ada yang terbelah dari kepribadian Anna O.
Penyelidikan-penyelidikan itu yang membawa Freud pada kesimpulan struktur
psikis manusia: id, ego, superego dan ketidaksadaran, prasadar, dan kesadaran.
Freud menjadikan prinsip ini untuk menjelaskan segala yang terjadi pada
manusia, antara lain mimpi. Menurut Freud, mimpi adalah bentuk penyaluran
dorongan yang tidak disadari. Dalam keadaan sadar orang sering merepresi
keinginan-keinginannya. Karena tidak bisa tersalurkan pada keadaan sadar, maka
keinginan itu mengaktualisasikan diri pada saat tidur, ketika kontrol ego
lemah.
Menurut
Freud, kehidupan jiwa
memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious),
dan tak-sadar (unconscious). Dalam pandangan
Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun yang
tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya.
Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa
kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak
sadar (unconscious). Unconscious
adalah yang paling dominan dan paling penting dalam menentukan perilaku manusia
(analoginya dengan gunung es). Di dalam unconscious
tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan insting.
Preconscious berperan sebagai jembatan antara conscious
dan unconscious, berisi ingatan atau
ide yang dapat diakses kapan saja. Conscious
hanyalah bagian kecil dari mind,
namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas.
Konsep
dari teori Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar
yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain itu, dia juga memberikan
pernyataan pada awalnya bahwa prilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas
pada awalnya (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak
kecil dari ibunya.
Pengalaman
seksual dari ibu, seperti menyusui, selanjutnya mengalami perkembangannya atau
tersublimasi hingga memunculkan berbagai prilaku lain yang disesuaikan dengan
aturan norma masyarakat atau norma Ayah. Namun dalam perjalanannya setelah
kolega kerjanya Alferd Adler, mengungkapkan adanya insting mati di dalam diri
manusia, walaupun Freud pada awalnya menolak pernyataan Adler tersebut dengan
menyangkalnya habis-habisan, namun pada akhirnya Freudpun mensejajarkan atau
tidak menunggalkan insting seksual saja yang ada di dalam diri manusia, namun
disandingkan dengan insting mati (Thanatos). Walaupun begitu dia tidak
pernah menyinggung asal teori tersebut sebetulnya dikemukakan oleh Adler awal
mulanya.
Freud
tertarik dan belajar hipnotis di
Perancis, lalu menggunakannya untuk membantu penderita penyakit mental.
Freud kemudian meninggalkan hipnotis setelah ia berhasil menggunakan metode
baru untuk menyembuhkan penderita tekanan psikologis yaitu asosiasi bebas dan analisis mimpi. Dasar terciptanya metode
tersebut adalah dari konsep alam bawah sadar, asosiasi bebas adalah metode yang
digunakan untuk mengungkap masalah-masalah yang ditekan oleh diri seseorang
namun terus mendorong keluar secara tidak disadari hingga menimbulkan
permasalahan. Sedangkan analisis mimpi, digunakan oleh Freud dari pemahamannya
bahwa mimpi merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap alam sadar,
pesan-pesan ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam aktivitas emosi
lain, hingga aktivitas emosi yang
sama sekali tidak disadari. Sehingga metode analisis mimpi dapat digunakan untuk
mengungkap pesan bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa hasrat,
ketakutan, kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan oleh
seseorang. Ketika hal masalah-masalah alam bawah sadar ini telah berhasil
di-ungkap, maka untuk penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah untuk
diselesaikan.
Freud mengembangkan konsep struktur mind dengan mengembangkan ‘mind apparatus’ yaitu yang dikenal
dengan struktur kepribadian Freud dan menjadi konstruknya yang terpenting,
yaitu id, ego dan super ego.
Id merupakan struktur kepribadian paling primitif dan
berhubungan dengan prinsip mencari kesenangan semata. Ini dapat kita lihat pada
fase kanak-kanak seseorang. Id banyak berhubungan dengan nafsu semena-mena yang
tidak sanggup membedakan realitas dan khayalan. Ialah struktur
paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut
prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera.
Ego berkembang dari id, Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id
dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego
terancam dan muncullah kecemasan (anxiety). Dalam rangka menyelamatkan diri
dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif/pertahanan diri. Hal ini dikenal
sebagai defense mecahnism yang
jenisnya bisa bermacam-macam. Ego
merupakan kelanjutan upaya mencari kesenangan, tetapi sudah dirangkai dengan
keharusan tunduk pada realitas dan tak bisa semena-mena lagi. Fase ini dapat
dilihat ketika seorang anak mulai mengenal berbagai aturan sosial dan terpaksa
mengekang nafsu pemuasan dirinya yang bersifat semena-mena.
Superego berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu
dari lingkungannya. Struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan
mengambil keputusan atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat
manusia mengerti nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai
sosial dan menyadarkan individu atas tuntutan moral. Apabila terjadi
pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Berbeda dengan ego yang berpegang pada prinsip
realitas, superego yang memungkinkan manusia memiliki pengendalian diri selalu
akan menuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Tahapan ini seiring dengan kedewasaan seorang individu. Berhubungan dengan alam
tak sadar dan alam sadar, id terletak pada bagian pertama sedang yang lain
meliputi keduanya.
Sebagai contoh adalah berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang
diserahi mengelola uang sebesar 1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan
pada Anda: “Pakai saja uang itu sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego
berkata:”Cek dulu, jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego
menegur:”Jangan lakukan!”.
Pada masa kanak-kanak kita dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada
tahap ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking. Anak-anak
akan mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan kebutuhannya
(bayi akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya).
Sedangkan ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih
tua dan pada orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process
thinking. Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap
untuk memilih tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu
kadangkala pada orang dewasa muncul sikap seperti primary process thnking,
yaitu mencari pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa
jengkel akibat dimarahi bos di kantor misalnya).
Proses pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient),
sedangkan proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses
ketiga adalah SQ (spiritual quotient).
4.
Aspek Bawah Sadar Tokoh dalam Cerpen
“Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari
4.1
Sinopsis
Chaira,
seorang gadis yang sangat cantik. Ia memiliki kekasih bernama Pandu, namun naas
ketika ia berulang tahun Pandu mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Chaira
histeris, dan hal itu membuat Chaira shock sehingga ia berubah menjadi gadis
yang pendiam. Bahkan ia seolah menjadi mayat hidup, tak pernah sedikitpun ia
menyunggingkan senyuman yang tulus dari bibirnya.
Setahun
berlalu, Chaira mulai menjalani hidupnya seperti biasa. Hanya dengan belajar ia
bisa mencoba melupakan kenangan buruknya setahun lalu, tetapi ia masih saja
bersikap dingin terhadap siapapun.
Kedua
sahabatnya Raisha dan Sabrina sering mengingatkan Chaira dan berusaha membantu
sahabatnya agar bangkit untuk melanjutkan hidupnya. Namun semua usahanya nihil.
Pada
suatu hari, Sabrina mengajak Chaira untuk pergi ke Mall tapi Chaira menolak ia
malah ingin pergi ke makam kekasihnya Pandu. Lama ia tinggal di makam itu, dan
merenung. Namun Sabrina mengajaknya pulang dengan setengah memaksa. Malam
harinya Chaira masih larut dalam kesedihan dan menumpahkan semua dalam buku
diary melalui goresan tangannya.
Keesokan
harinya, tiba-tiba seseorang menyapa Chaira. Ia adalah Rio, seorang pemuda yang
sudah sejak lama menyukainya. Ia mengembalikan sebuah liontin kepada Chaira
pemberian Pandu yang jatuh, Rio merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Malam
harinya ia masih termenung, memikirkan sosok bidadari yang telah merebut
hatinya.
Ketika
ia menangkap sosok Rio secara utuh di kantin, Chaira tiba-tiba saja merasakan
sesuatu yang berbeda di hatinya. Hal itu sontak membuat kedua sahabatnya senang
sekaligus tak mengerti dengan perubahan Chaira.
Pagi
yang indah, ketika Chaira membuka kedua matanya. Tiba-tiba handphonenya berbunyi
dengan sangat keras, telpon dari nomor tidak bernama. Chaira mengangkat telpon
itu, ia shock ketika mendengar suara yang tidak asing ditelinganya. Suara
Pandu, Chaira histeris dan menangis.
Chaira
memutuskan untuk pergi ke Taman Kota tempat favoritnya bersama Pandu. Lama ia
menangis, dan termenung mengingat Pandu. Tanpa disangka, Rio memperhatikannya
dari kejauhan dan menghampirinya memberikan sapu tangan untuk menghapus
airmatanya. Chaira terkejut, dan sontak menghapus airmatanya. Rio duduk
disamping Chaira, berusaha mengungkapkan isi hatinya kepada Chaira. Kata-kata
Rio akhirnya meluluhkan Chaira, ia pun jatuh kedalam pelukan Rio.
4.2 Aspek
Bawah Sadar Tokoh Chaira
a. Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Id dalam tokoh
Chaira di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira
terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar
hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini. Malam itu terlalu pekat
untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta
sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah
secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya
diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang
ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
“Siapa yang bisa menggantikannya,
Tuhan ?” Sahut suara hati Chaira yang semakin membuat dia lelah bertanya dan ia
takkan menemukan jawabannya sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis..
(Candrasari, 2012:1)
Sesuai
dengan penggalan teks di atas, dapat diketahui bahwa Chaira mulai kehilangan
kesadarannya. Ia tidak dapat membedakan mana realitas dan mana khayalan. Ia
bertanya kepada Tuhan berulang kali yang secara logika tidak mungkin menjawab
pertanyaan tersebut. Mana mungkin manusia biasa yang tidak memiliki kelebihan
seperti nabi dapat berbicara dengan Tuhan, itu merupakan hal yang mustahil.
Oleh karena itu, penggalan teks di atas menunjukan bahwa Chaira tidak dapat
membedakan mana realitas dan mana khayalan.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki
bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan
jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia
hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah
kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah
setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka. (Candrasari, 2012:2)
Sesuai
dengan penggalan teks di atas, dapat diketahui bahwa id membuat Chaira bersikap
acuh terhadap orang lain terutama laki-laki. Ia lebih memilih untuk menutup
hidupnya dari orang lain semenjak kematian Pandu. Ia tidak dapat menbedakan
mana realitas dan mana khayalan. Ia masih terkungkung oleh bayangan Pandu
kekasih yang sangat dicintainya. Ia tidak dapat melanjutkan hidupnya dengan
normal seutuhnya.
“Ra, mau sampai kapan lo tutup
kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal
itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya
kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah
pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi
ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah
melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh
ombak laut menerjang dirinya kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur
menjadi pecahan-pecahan permata yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan
bahunya dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.” (Candrasari, 2012:2)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, Chaira masih belum mampu untuk
melupakan tragedi kematian Pandu setahun yang lalu di malam pesta ulang
tahunnya. Ia masih bersikap dingin dan acuh terhadap orang lain, bahkan ia
tidak pernah memberikan senyuman yang tulus dari bibirnya. Ia bertindak
semena-mena karena hanya memikirkan kesenangannya sendiri dengan terus menerus
mengingat Pandu tanpa perduli dengan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak
perduli dengan nasihat-nasihat dari sahabatnya agar ia dapat kembali hidup
dengan normal. Chaira tidak dapat membedakan mana realitas dan mana khayalan.
Ia hanya dapat terpuruk dalam kesedihan yang semakin membuatnya lupa dengan
dunia nyata tempat ia hidup kini.
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari
tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia
nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue
ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada
kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat
kembali dari sorot mata indah Chaira.
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup
ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu
kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira. (Candrasari, 2012:3)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, id dalam tokoh Chaira masih sangat
kuat. Ia masih tidak dapat membedakan mana realitas dan khayalan karena ia
masih dengan setia mengenang Pandu. Ia mementingkan kesenangannya sendiri untuk
menyendiri dibandingkan bergaul dengan orang lain. Ia tidak bisa mengenal dunia
nyata, ia lebih memilih pergi ke tempat yang sepi yakni pergi ke makam Pandu
untuk mengenang Pandu. Ia tidak perduli dengan ajakan Sabrina sahabatnya untuk
mengenal kembali dunia nyata.
Chaira terus saja mengelus liontinnya,
karna hanya itu yang tersisa dari masa lalunya.
Pandu laki-laki itu yang memberikan
liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu
terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu
mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu meninggalkan Chaira secara
tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang
sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu
merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah
ulang tahun Chaira. (Candrasari, 2012:3)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, id dalam tokoh Chaira membuat Chaira
terus menerus mengenang Pandu. Chaira masih dengan setia mencintai Pandu tanpa
perduli bahwa dunia Pandu sudah berbeda dengan dunianya. Ia tidak dapat membuka
hatinya untuk laki-laki lain, padahal kematian Pandu sudah mencapai usia satu
tahun. Ia tidak dapat membedakan realitas dan khayalan.
“Tuhan, aku berbicara denganMu lagi,
aku merasakan beda. Apa aku?” Chaira berbicara dengan dirinya di depan cermin,
dengan sesekali merapikan rambutnya yang terurai dengan jari-jari laksana
bidadari dari langit ke-tujuh, pikirnya terbang kebayangan sang elang membuat jantungnya
berdetak tak karuan. (Candrasari, 2012:6)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, Id di dalam tokoh Chaira memaksa
Chaira untuk mencari kesenangannya sendiri dengan berkaca di cermin dan berhias
diri karena hatinya yang sedang berbunga. Tetapi disini Chaira tidak dapat
membedakan mana realitas dan khayalan. Ia seolah berbicara dengan Tuhan padahal
secara logika manusia biasa tidak mungkin dapat berbicara dengan Tuhan, kecuali
Nabi yang diberi mukjizat oleh Tuhan.
b. Ego
(insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Ego dalam tokoh
Chaira di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
Setahun, setelah ia sadar dirinya tak
mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh
emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku
.” Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa
melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu
kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi
senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti. (Candrasari, 2012:1-2)
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti. (Candrasari, 2012:1-2)
Sesuai dengan
penggalan teks di atas, ego mulai muncul dimana Chaira harus tunduk pada
realitas dan tidak bisa semena-mena lagi. Ia tidak bisa terus menerus larut
dalam kesedihan akibat kematian Pandu kekasihnya. Meskipun sebenarnya id
mengalahkan ego dan superego selama satu tahun, Chaira tidak dapat membedakan
realitas dan khayalan selama satu tahun. ia terpuruk dalam kesedihan hingga
akhirnya ego berhasil mengalahkan id meskipun tidak sepenuhnya. Di sini ego
berhasil membuat Chaira kembali melanjutkan hidupnya dengan cara menuntut ilmu.
Senyuman-senyuman dengan susah payah berusaha ia ciptakan bersama kedua
sahabatnya dengan harapan senyuman itu akan membawa kebahagiaan kelak.
Tertumpuk sudahlah perasaan yang
menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari
mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan
dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar
yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata
dan imajinasinya. (Candrasari, 2012:2)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, meskipun Chaira harus tunduk pada
realitas dan tidak dapat semena-mena lagi tetapi ia masih saja terpuruk dalam
kesedihan. Ia sudah mulai melanjutkan hidupnya dengan cara menuntut ilmu.
Namun, hanya sebatas belajar karena ia masih belum bisa membuka hidupnya untuk
orang lain. Ia masih menjadi gadis yang rapuh, dan enggan untuk kembali
menjalin hubungan dengan laki-laki.
“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian
itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari
pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut
ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali
bersandar pada masanya bersama Pandu.
“Iya, gue tau kok Bi, tapi ..” Chaira
tak punya banyak kekuatan untuk meneruskan kata demi katanya, ia hanya sanggup
untuk melepaskan lelahnya dengan memejamkan mata dan susah payah menelan
ludahnya dan dihinggapi perasaan yang sesak.
Ketika ia membuka mata, permatanya
langsung terperangkap oleh incaran sang elang dari kejauhan sana.
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari
sosok yang membuat temannya itu terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.”
Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak
mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang
melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah
permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui,
semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang
memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan
aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut
pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:5-6)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, menunjukkan bahwa ego memaksa Chaira
untuk tidak semena-mena lagi dan harus tunduk pada realitas. Sekarang ego
dimana keinginan Chaira untuk bangkit dan mulai melanjutkan hidupnya didukung
oleh hatinya yang mulai berdebar ketika ia saling berpandangan dengan Rio. Ia
merasakan bahwa ia mulai jatuh cinta kepada Rio. Chaira mulai berfikir dengan
jernih meskipun bayangan Pandu masih mengganggu pikirannya.
c. Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam
tokoh Chaira di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
Tak disangka, ternyata sang elang
mengawasi permata itu dari sisinya, dan mengulurkan sehelai kain kehadapannya.
Chaira terkejut.
“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus
sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa
tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang diterima Rio, ia paham akan Chaira.
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira
mengalihkan pandangannya, kembali ke depan. Rio menghela nafas, tanggannya
mengepal menahan perasaannya dan melanjutkan pembicaraan.
“Aku tau kamu disini dari Raisha,
setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini tempat favorit kamu dulu sama....”
Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang dan alis yang seperti kepakan
sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio terdiam dan kembali menatap mata permata
itu, pertahanan Chaira hampir runtuh semua.
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan
permata yang hilang dari kehidupan kamu, dan aku ingin mengembalikan permata
yang hilang itu dan memilikinya dengan semua keindahan yang kamu punya.” Chaira
tak dapat menahan butiran-butiran air kecil, dan membiarkan terjatuh dari
kelopak mawar mata Chaira dadanya seakan terhimpit oleh perasaan kehilangan,
nafasnya mulai terengah, dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal.
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku
luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang
tangan sang bidadari, Chaira lemah tak memberikan perlawanan apapun, dirinya
sudah berada dititik lemahnya kini.
Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku
ngebalikin permata itu kembali bersinar dimata kamu, mata kamu udah terlalu
lelah untuk menangis..”
Cengkraman tangan sang pemangsa,
meruntuhkan segala pertahanan sang bidadari, Raja elang membuka sayapnya
lebar-lebar untuk sang bidadari yang telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan
pernah melepaskan bidadari hatinya.. (Candrasari, 2012:7-8)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, Chaira memiliki superego dimana ia
luluh dan akhirnya menerima Rio untuk mengisi ruang di hatinya yang beku. Ia
sepenuhnya sadar bahwa ia harus membuka hatinya untuk laki-laki lain karena
dunianya dengan dunia Pandu sudah berbeda. Pandu hanya untuk dikenang, tetapi
bukan berarti ia harus terus menerus larut dalam kesedihan. Akhirnya ia
memutuskan untuk kembali menjalani hidupnya dengan normal, tanpa harus tertekan
dengan kejadian setahun silam. Ketulusan Rio meluluhkan hatinya. Superego dalam
tokoh Chaira ini membuat Chaira lebih dewasa dan dapat membedakan realitas dan
khayalan. Ia pun dapat mengendalikan dirinya untuk tidak terus menerus
mengingat Pandu dan kembali hidup dengan normal.
d.
Mimpi
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Mimpi dalam
tokoh Chaira digambarkan dalam penggalan teks berikut:
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh
amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia
bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar
suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari.
‘Tuhan, kau kilaukan cahayamu dulu,
kini kau redupkan kembali cahaya itu. Aku terus menerjang hantaman ombak yang
melangsa. Aku peri kesepian, yang menanti datangnya seorang malaikat disisi. Oh
tuhan, mengapa aku begini? Aku terlalu lemah untuk ditinggalkan, kini aku
bagaikan mawar hitam bertangkai duka. Aku kehilangan, warasku hampir hilang. Kau
rebut cinta dari genggamanku, yang ku lakukan hanya membiarkannya terlepas
dariku. Aku tahu KAU maha kuasa atas segala kehidupanku. Aku mengerti betapa
kau sayangi ia lebih dari aku menyayanginya. Tapi berikan aku cinta yang
seperti cintanya, agar luka yang kau beri mampu menjadi setitik cinta dihati..’
Sepenggal kata yang Chaira ciptakan
dibuku hariannya, yang sedikit bisa membantu mengurangi rasa lelahnya tiap
senja berganti malam. (Candrasari, 2012:4)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, mimpi dalam tokoh Chaira yakni ingin
mendapatkan cinta seperti cinta Pandu. Agar ia dapat melupakan kepergian Pandu
dan mulai hidup kembali dengan normal. Mimpi itu ia ungkapkan dalam buku
hariannya, dan dengan harapan itu Chaira dapat sedikit mengobati luka hatinya
setiap hari berganti malam.
Esoknya matahari menerikkan semangat
ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya,
dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. Handphone-nya berdering dengan
nyaring, mendobrak pendengaran telinga dan penglihatannya. Permata yang
tersembunyi dari matanya menyilaukan pagi. Ia melihat nomer yang muncul dari
benda kecilnya, belum ada nama. Dengan perlahan ia membuka pembicaraan.
“Halo.” Sejenak terhening, tak ada balasan
suara dari seberang sana. Sekali lagi Chaira mengucapkan satu kata tadi. Hanya
terdengar suara desahan nafas dan suara gemetar yang membuat jantung Chaira
jadi berdegup cepat.
“Chaira..” Suara lembut yang terdengar
samar-samar.
Chaira terperangkap suara itu, matanya
terbelalak. Dan seketika itu handphone-nya kembali normal kembali. Chaira masih
menggenggam handphone-nya erat-erat dan ia merasa tidak asing mendengar suara
itu.
“Ga mungkin dia kembali, dia udah
pergi selamanya. Ga munggkkkkiiiiiiiiiinnnn!!!”
Chaira shock, dia menutup mukanya dengan tangan lembutnya yang seketika mendingin, dan membanjiri tangannya dengan linangan airmata. Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
Chaira shock, dia menutup mukanya dengan tangan lembutnya yang seketika mendingin, dan membanjiri tangannya dengan linangan airmata. Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
Setelah setengah jam ia duduk melihat
kumpulan air yang menggenang luas didepannya, sesekali hanya melempar kerikil
kecil ke genangan itu. Seketika ia merasakan sesuatu yang tak seperti biasanya,
rambutnya melayang karna hembusan angin dingin yang menghenyapkan.
Terdengar sayup-sayup suara lembut dan
terdengar sebuah lantunan dawai gitar yang mengalun telinga Chaira, Chaira
teringat ucapan Pandu setahun silam. Dengan perlahan Chaira menutup matanya,
dan memanggil nama Pandu.
“Saat dunia tak mampu bertahan,
cintaku akan selalu bersamamu. Teruskanlah hidupmu Chaira, karna aku disisimu,
hingga kau mendapatkan cinta yang sebenarnya cinta. Dan jika kau rindu aku
pejamkan matamu dan panggil namaku, I’ll be there for you my angle.” Bisikan
lembut yang mengiris seluruh kesedihannya, dan satu kecupan yang indah. Chaira
membuka matanya perlahan dengan seluruh genangan airmata.
“Pandu..” satu nama yang ia panggil
yang keluar dari bibir merah Chaira diiringi setetes embun yang terjun dari
keindahan permata Chaira.. (Candrasari, 2012:6-7)
Sesuai dengan
penggalan teks di atas, tokoh Chaira selalu di hantui mimpi tentang ketakutan
melihat masa depannya karena ia masih dibayangi sosok Pandu kekasih yang telah
meninggalkannya secara tragis di malam pesta ulang tahunnya setahun yang lalu.
Ia masih belum dapat melupakan kejadian itu dan belum dapat menghapus nama
Pandu di hatinya. Ketika ia mulai mendapatkan keberanian untuk kembali jatuh
cinta, tiba-tiba saja ada seseorang yang menelponnya dan terdengar jelas di
telinganya bahwa itu suara Pandu. Chaira histeris dan kembali mengingat masa
lalunya dengan Pandu. Ia pun memutuskan untuk pergi mengunjungi taman kota tempat
favoritnya bersama Pandu dulu, disana ia kembali mengenang Pandu. Ia pun mulai
menangis. Disini sangat jelas bahwa ketakutan akan kehilangan Pandu masih
melekat di hati Chaira, meskipun sebenarnya ia sudah kehilangan Pandu sejak
setahun yang lalu. Bayangan akan masa lalunya masih menghantui hati dan
perasaannya.
4.3
Aspek Bawah Sadar Tokoh Rio
a. Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Id dalam tokoh
Rio di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Chairaa..” sapa laki-laki yang mengagguminya,
tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang
laki-laki itu, ia tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan, perasaannya
mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira
berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.”
Ungkapan hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai
indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio menghampiri
dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan
liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah
lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira
mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang
membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak.
Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku
merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak
mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri
temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka
Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga
pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi
hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok
bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk
kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya
drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
(Candrasari, 2012:4-5)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, Id dalam tokoh Rio menunjukan bahwa
Rio tidak dapat membedakan mana realitas dan khayalan. Ia terpaku akan sosok
Chaira yang menggetarkan hatinya, sehingga ia seolah-olah berbicara dengan
Tuhan. Padahal secara logika, mana mungkin manusia biasa dapat berbicara dengan
Tuhan kecuali Nabi yang memang mendapat mukjizat dari Tuhan. Selain itu Rio
hanya mementingkan kesenangannya sendiri karena ia terus menerus terpaku oleh
Chaira yang memikat hatinya tanpa perduli Alvin memanggilnya karena ia melamun.
Namun akhirnya Rio tersadar dari lamunannya. Sayang ia kembali tidak dapat
membedakan mana realitas dan khayalan karena ia menganggap Chaira seorang
bidadari. Saking terpana melihat kecantikan Chaira.
b. Ego
(insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari tokoh Rio tidak
ditemukan aspek Ego yang digambarkan.
c. Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam
tokoh Rio di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
Tak disangka, ternyata sang elang
mengawasi permata itu dari sisinya, dan mengulurkan sehelai kain kehadapannya.
Chaira terkejut.
“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus
sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa
tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang diterima Rio, ia paham akan Chaira.
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira
mengalihkan pandangannya, kembali ke depan. Rio menghela nafas, tanggannya
mengepal menahan perasaannya dan melanjutkan pembicaraan.
“Aku tau kamu disini dari Raisha,
setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini tempat favorit kamu dulu sama....”
Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang dan alis yang seperti kepakan
sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio terdiam dan kembali menatap mata permata
itu, pertahanan Chaira hampir runtuh semua.
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan
permata yang hilang dari kehidupan kamu, dan aku ingin mengembalikan permata
yang hilang itu dan memilikinya dengan semua keindahan yang kamu punya.” Chaira
tak dapat menahan butiran-butiran air kecil, dan membiarkan terjatuh dari
kelopak mawar mata Chaira dadanya seakan terhimpit oleh perasaan kehilangan, nafasnya
mulai terengah, dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal.
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku
luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang
tangan sang bidadari, Chaira lemah tak memberikan perlawanan apapun, dirinya
sudah berada dititik lemahnya kini.
Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku
ngebalikin permata itu kembali bersinar dimata kamu, mata kamu udah terlalu
lelah untuk menangis..”
Cengkraman tangan sang pemangsa,
meruntuhkan segala pertahanan sang bidadari, Raja elang membuka sayapnya
lebar-lebar untuk sang bidadari yang telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan
pernah melepaskan bidadari hatinya.. (Candrasari, 2012:7-8)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Rio memiliki superego dimana ia
sangat mencintai dan menyayangi Chaira. Ia ingin Chaira untuk bangkit dan tidak
terlarut dalam kesedihan. Ia dengan hati yang tulus berusaha menjadi laki-laki
yang terbaik untuk Chaira. Ia berusaha membuka mata Chaira untuk kembali menata
hidupnya, dan berusaha agar air mata Chaira tidak kembali mengalir. Disini Rio
dapat mengendalikan dirinya dan bersikap dewasa.
d.
Mimpi
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Mimpi dalam
tokoh Rio digambarkan dalam penggalan teks berikut:
Malam ini, mata Rio enggan untuk
terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap
sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio
seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
Hatinya telah tergoda kepada sosok
Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.
“Tuhan, aku mulai jatuh cinta.”
Kalimat yang mewakili dari seluruh perasaan senangnya bersentuh tangan dengan
si gunung es yang membekukan dirinya dibawah teriknya matahari tadi.
Chaira Chaira, permata yang kehilangan
kilauannya.. Sosok gadis yang mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba
meraih setiap asa yang pernah pupus, dan sosok yang menjadi bisu. (Candrasari,
2012:5)
Sesuai dengan
penggalan teks di atas, Mimpi dalam tokoh Rio ialah ingin memiliki Chaira. Ia
berharap Chaira akan membalas cintanya. Setiap malam ia berangan-angan tentang
Chaira, ia telah tergoda dengan sikap Chaira yang acuh dan dingin terhadap
lawan jenis. Sebenarnya Rio telah menyukai Chaira sejak lama, tetapi
perasaannya begitu berbeda ketika ia mengembalikan liontin milik Chaira. Sejak
saat itu Rio selalu mengintai Chaira dari kejauhan, memperhatikan setiap gerak
gerik yang Chaira lakukan. Berharap suatu saat ia dapat memiliki Chaira.
4.4
Aspek Bawah Sadar Tokoh Raisha
a. Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Raisha tidak ditemukan aspek Id yang digambarkan.
b. Ego
(insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Raisha tidak ditemukan aspek Ego yang di gambarkan.
c. Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam
tokoh Raisha di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Ra, mau sampai kapan lo tutup
kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal
itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya
kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah
pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi
ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah
melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh
ombak laut menerjang dirinya kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur
menjadi pecahan-pecahan permata yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan
bahunya dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.” (Candrasari, 2012:2)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Raisha di dalam cerpen ini
memiliki superego dimana ia sangat menyayangi sahabatnya Chaira. Ia berusaha
menyadarkan Chaira untuk kembali hidup dengan normal. Ia tak pernah berhenti
berusaha membujuk Chaira, tetapi tidak dengan cara memaksa. Terbukti dari
penggalan teks di atas, ia menyadari ia tidak dapat memaksa Chaira, dan ia pun
tahu bagaimana perasaan Chaira sehingga akhirnya iapun meminta maaf kepada
Chaira.
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari
sosok yang membuat temannya itu terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.”
Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak
mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang
melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah
permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui,
semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang
memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan
aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut
pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:6)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Raisha dalam cerpen ini
memiliki superego dimana ia sangat perhatian dan perduli terhadap sahabatnya
Chaira. Ia sangat bahagia ketika mengetahui Chaira mulai jatuh cinta, dan
akhirnya tahu siapa yang membuat Chaira jatuh cinta yakni Rio.
d.
Mimpi
Di dalam cerpen
“Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Raisha tidak ditemukan
aspek mimpi yang di gambarkan.
4.5
Aspek Bawah Sadar Tokoh Sabrina
a. Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Sabrina tidak ditemukan aspek Id yang di gambarkan.
b. Ego
(insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Sabrina tidak ditemukan aspek Ego yang di gambarkan.
c. Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam
tokoh Sabrina di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari
tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia
nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue
ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada
kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat
kembali dari sorot mata indah Chaira.
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup
ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu
kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira. (Candrasari, 2012:3)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Sabrina memiliki superego
dimana ia sangat menyayangi sahabatnya Chaira. Ia selalu berusaha mengajak
Chaira untuk kembali mengenal dunia nyata, tetapi sayang ia masih belum bisa
membuat Chaira sadar. Meskipun ia berusaha keras untuk membuat Chaira kembali
hidup normal namun ia masih menghargai Chaira terbukti ia tidak memaksakan
kehendaknya. Ketika Chaira lebih memilih untuk pergi ke tempat yang sepi yakni
makam Pandu, Sabrina dengan senang hati mengantarnya. Meskipun pada akhirnya ia
menarik Chaira untuk pulang karena cuaca seperti akan hujan.
“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian
itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari
pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut
ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali
bersandar pada masanya bersama Pandu.
“Iya, gue tau kok Bi, tapi ..” Chaira
tak punya banyak kekuatan untuk meneruskan kata demi katanya, ia hanya sanggup
untuk melepaskan lelahnya dengan memejamkan mata dan susah payah menelan
ludahnya dan dihinggapi perasaan yang sesak.
Ketika ia membuka mata, permatanya
langsung terperangkap oleh incaran sang elang dari kejauhan sana.
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari
sosok yang membuat temannya itu terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.”
Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak
mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang
melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah
permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui,
semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang
memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan
aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut
pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:5-6)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Sabrina memiliki superego
dimana ia sangat peduli dan menyayangi sahabatnya Chaira. Ia sangat perhatian
dengan selalu mengingatkan Chaira untuk sadar dan jangan terlarut dalam
kesedihan. Sabrina sangat senang dengan perubahan Chaira ketika Chaira
mengungkapkan bahwa jantungnya kembali berdebar karena secara tidak langsung
Chaira mulai jatuh cinta. Sabrina pun kembali sangat senang ketika tahu siapa
yang membuat sahabatnya kembali jatuh cinta yakni Rio.
d.
Mimpi
Di dalam cerpen
“Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Sabrina tidak ditemukan
aspek mimpi yang di gambarkan.
4.6
Aspek Bawah Sadar Tokoh Pandu
a. Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Pandu tidak ditemukan aspek Id yang di gambarkan karena Pandu merupakan tokoh simbolis
yang tidak diceritakan secara hidup di dalam cerpen tersebut.
b. Ego
(insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Pandu tidak ditemukan aspek Ego yang di gambarkan karena Pandu merupakan tokoh
simbolis yang tidak diceritakan secara hidup di dalam cerpen tersebut.
c. Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Pandu tidak ditemukan aspek Superego yang di gambarkan karena Pandu merupakan
tokoh simbolis yang tidak diceritakan secara hidup di dalam cerpen tersebut.
d.
Mimpi
Di dalam cerpen
“Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Pandu tidak ditemukan
aspek mimpi yang di gambarkan karena Pandu merupakan tokoh simbolis yang tidak
diceritakan secara hidup di dalam cerpen tersebut.
4.7
Aspek Bawah Sadar Tokoh Alvin
a. Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Alvin tidak ditemukan aspek Id yang di gambarkan.
b. Ego
(insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Alvin tidak ditemukan aspek Id yang di gambarkan.
c. Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam
tokoh Alvin di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak
mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri
temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka
Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga
pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi
hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok
bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk
kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!”
Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke
khayangan. (Candrasari, 2012:4-5)
Sesuai dengan penggalan teks di atas, Superego dalam tokoh Alvin membuat
Alvin menjadi sosok yang baik, perhatian dan peduli terhadap temannya Rio,
terbukti ia menyadarkan Rio dalam lamunannya dan bertanya mengapa Rio sampai
melamun. Setelah itu ia pun mengingatkan Rio yang lupa bahwa Rio ada mata
kuliah dan akan diadakan kuis.
d.
Mimpi
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh
Alvin tidak ditemukan aspek mimpi yang di gambarkan.
5.
Simpulan
Cerpen
“Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dikaji menggunakan pendekatan
psikoanalisis. Tokoh di dalam cerpen ini berjumlah enam tokoh yakni dengan
tokoh utama Chaira dan Rio, selebihnya merupakan tokoh tambahan yakni Raisha,
Sabrina, Alvin dan Pandu. Tetapi disini, tokoh Pandu merupakan tokoh simbolis
karena ia tidak benar-benar hadir di dalam teks dan ia hanya diceritakan.
Namun, kehadiran tokoh Pandu sangat berpengaruh bagi tokoh utama yakni Chaira
karena akibat kematian Pandu lah Chaira berubah menjadi sosok gadi yang acuh
dan dingin terhadap hidupnya.
Ada
beberapa aspek yang dikaji melalui pendekatan psikoanalisis ini yaitu Id, ego,
superego, dan mimpi. Tokoh Chaira di dalam cerpen ini mempunyai seluruh aspek
bawah sadar yakni id, ego, superego, dan mimpi. Tokoh Rio di dalam cerpen ini
mempunyai aspek bawah sadar yaitu id, superego, dan mimpi. Tokoh-tokoh lainnya dalam
cerpen ini hanya memiliki aspek bawah sadar superego kecuali tokoh Pandu yang
tidak memiliki aspek apapun di dalam aspek bawah sadar ini karena Pandu hanya
sebagai tokoh simbolis.
DAFTAR PUSTAKA
Wellek, Rene dan Austin Warren.1995. Teori
Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta : Gramedia.
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra
Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia.
Candrasari, Dinda. 2012. Elegi Sang Permata. http://www.lokerseni.web.id/2012/04/cerpen-romantis-terbaru-elegi-sang.html#ixzz26unTZUiK
(19 September 2012)
http://rodobodo.blogspot.com/2007/08/psikoanalisis-sastra.html
http://wem.blogspot.com/2005/04/analisis-psikoanalisa-thd-tokoh-saaman.html
Lampiran
ELEGI SANG PERMATA
Cerpen Dinda Candrasari
Tak ia sangka malam yang ia kira akan menjadi yang terindah ternyata
menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai memberi kejutan yang teramat
tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan darah segar. Suara-suara
anjing-anjing itu masih saja mengganggu haru birunya Chaira, menambah suasana
mencekam di dalam kamarnya.
Suara diseberang sana mampu menghilangkan setengah kewarasannya dan
mengganti rasa deg-degkan berharapnya itu dengan deg-degkan tak karuan nafasnya
seakan berhenti sejenak.
Kamar dimana ia berdiri dan menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan airmata dan bertekuk lutut.
Kamar dimana ia berdiri dan menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan airmata dan bertekuk lutut.
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira terus saja mencari naungan, menepi
dari perasaan yang merobek lebar-lebar hatinya. Pikirannya terampas oleh
kekasihnya kini.
Malam itu terlalu pekat untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Malam itu terlalu pekat untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya teruju pada sang kekasih yang ia cintai
matanya kosong menatap jalan panjang yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama
kekasihnya yang membuat airmatanya terus membasahi pipi mulus Chaira..
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta sepertinya lagi ku temui?” Seribu
pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah secepat apa ia menginjak gasnya
hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah
membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang ia tahu hanya yang
dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
“Siapa yang bisa menggantikannya, Tuhan ?” Sahut suara hati Chaira yang
semakin membuat dia lelah bertanya dan ia takkan menemukan jawabannya
sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis..
Setahun, setelah ia sadar dirinya tak mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira
melanjutkan waktunya dengan seluruh emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku .” Hanya menuntut ilmu yang ia bisa
jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa melupakan sejenak tragedi yang
terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu kemarin. Waktu masih memberikan
peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah
Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki se-fakultasnya memanggil, laki-laki
itu berpostur tinggi kuning langsat, mata-matanya seperti elang yang sedang
membidik mangsanya, alis-alisnya seperti kepakan sayap malaikat, otaknya yang
seperti emas dalam kebisuan.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah kemarin sebelum nyawa ia terangkat
setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah setiap orang memandang Chaira
dari sudut mata mereka.
“Ra, mau sampai kapan lo tutup kehidupan lo buat orang lain bisa masuk
kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal itu ke Chaira, namun permata itu
tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya kosong melonglong jauh melana
kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh ombak laut menerjang dirinya
kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur menjadi pecahan-pecahan permata
yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan bahunya dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.”
Tertumpuk sudahlah perasaan yang menghanyutkan Chaira, permata itu
membiarkan dirinya tak terlihat dari mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih
dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan dirinya tak berarti. Kabar itu
mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar yang putih bersama huruf-huruf yang ia
tekan-tekan, bermain dengan kata-kata dan imajinasinya.
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu
berusaha mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup
membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat kembali dari sorot mata indah
Chaira.
***
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.”
Tarikan Sabrina memberikan satu kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira.
Chaira terus saja mengelus liontinnya, karna hanya itu yang tersisa dari
masa lalunya.
Pandu laki-laki itu yang memberikan liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu laki-laki itu yang memberikan liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu meninggalkan Chaira secara tragis di malam Chaira menunggu
kehadirannya, ia melaju dengan motor yang sangat cepat hingga akhirnya
kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu merenggang nyawanya membawa
bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira.
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh amarah, kesedihan, dan pikirannya
dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia bermain dengan kata-katanya ditengah
keheningan malam yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan
yang menerangi bidadari.
‘Tuhan, kau kilaukan cahayamu dulu, kini kau redupkan kembali cahaya itu.
Aku terus menerjang hantaman ombak yang melangsa. Aku peri kesepian, yang
menanti datangnya seorang malaikat disisi. Oh tuhan, mengapa aku begini? Aku
terlalu lemah untuk ditinggalkan, kini aku bagaikan mawar hitam bertangkai
duka. Aku kehilangan, warasku hampir hilang. Kau rebut cinta dari genggamanku,
yang ku lakukan hanya membiarkannya terlepas dariku. Aku tahu KAU maha kuasa
atas segala kehidupanku. Aku mengerti betapa kau sayangi ia lebih dari aku
menyayanginya. Tapi berikan aku cinta yang seperti cintanya, agar luka yang kau
beri mampu menjadi setitik cinta dihati..’
Sepenggal kata yang Chaira ciptakan dibuku hariannya, yang sedikit bisa
membantu mengurangi rasa lelahnya tiap senja berganti malam.
“Chairaa..” sapa laki-laki yang mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira
tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang laki-laki itu, ia
tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan, perasaannya mulai membuat panas
mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.” Ungkapan hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai indah menyilaukan elang itu ketika
Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio mengahmpiri dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan liontin itu dengan menyentuh telapak tangan
sang elang, dan memasang wajah lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira mengangguk tertunduk gelisah dan
berbalik badan menciptakan langkah kecil yang membuat jantung Rio berhenti
berdetak sejenak.
Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.
Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak mampu melemahkan syaraf-syarafnya,
dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio
dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru
menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia
ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir
seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
Malam ini, mata Rio enggan untuk terpejam. Pikirannya jauh melintasi
langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap sel-sel otaknya mencari sosok yang
menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
Hatinya telah tergoda kepada sosok Chaira yang sederhana tapi begitu
dingin.
“Tuhan, aku mulai jatuh cinta.” Kalimat yang mewakili dari seluruh perasaan
senangnya bersentuh tangan dengan si gunung es yang membekukan dirinya dibawah
teriknya matahari tadi.
Chaira Chaira, permata yang kehilangan kilauannya.. Sosok gadis yang
mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba meraih setiap asa yang pernah pupus,
dan sosok yang menjadi bisu.
“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian itu seharusnya menjadi motivasi buat
lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan
dikantin itu membawa Chaira kembali bersandar pada masanya bersama Pandu.
“Iya, gue tau kok Bi, tapi ..” Chaira tak punya banyak kekuatan untuk
meneruskan kata demi katanya, ia hanya sanggup untuk melepaskan lelahnya dengan
memejamkan mata dan susah payah menelan ludahnya dan dihinggapi perasaan yang
sesak.
Ketika ia membuka mata, permatanya langsung terperangkap oleh incaran sang
elang dari kejauhan sana.
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari sosok yang membuat temannya itu
terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.” Terlihat senyum kemenangan yang baru
tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi
oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui
tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata
sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui, semakin membuat bingung Raisha dan
Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang memancar dari keindahan mata Chaira, dan
mereka tahu siapa yang memberikan aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu
ini beda, tidak lagi merenggut pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita
waktunya.
“Tuhan, aku berbicara denganMu lagi, aku merasakan beda. Apa aku?” Chaira
berbicara dengan dirinya di depan cermin, dengan sesekali merapikan rambutnya
yang terurai dengan jari-jari laksana bidadari dari langit ke-tujuh, pikirnya
terbang kebayangan sang elang membuat jantungnya berdetak tak karuan.
Esoknya matahari menerikkan semangat ke dalam ruangan dimana Chaira
terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya, dan kembali menghirup sejuknya
embun pagi. Handphone-nya berdering dengan nyaring, mendobrak pendengaran
telinga dan penglihatannya. Permata yang tersembunyi dari matanya menyilaukan
pagi. Ia melihat nomer yang muncul dari benda kecilnya, belum ada nama. Dengan
perlahan ia membuka pembicaraan.
“Halo.” Sejenak terhening, tak ada balasan suara dari seberang sana. Sekali
lagi Chaira mengucapkan satu kata tadi. Hanya terdengar suara desahan nafas dan
suara gemetar yang membuat jantung Chaira jadi berdegup cepat.
“Chaira..” Suara lembut yang terdengar samar-samar.
Chaira terperangkap suara itu, matanya terbelalak. Dan seketika itu handphone-nya
kembali normal kembali. Chaira masih menggenggam handphone-nya erat-erat dan ia
merasa tidak asing mendengar suara itu.
“Ga mungkin dia kembali, dia udah pergi selamanya. Ga
munggkkkkiiiiiiiiiinnnn!!!”
Chaira shock, dia menutup mukanya dengan tangan lembutnya yang seketika mendingin, dan membanjiri tangannya dengan linangan airmata. Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
Chaira shock, dia menutup mukanya dengan tangan lembutnya yang seketika mendingin, dan membanjiri tangannya dengan linangan airmata. Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
Setelah setengah jam ia duduk melihat kumpulan air yang menggenang luas
didepannya, sesekali hanya melempar kerikil kecil ke genangan itu. Seketika ia
merasakan sesuatu yang tak seperti biasanya, rambutnya melayang karna hembusan
angin dingin yang menghenyapkan.
Terdengar sayup-sayup suara lembut dan terdengar sebuah lantunan dawai
gitar yang mengalun telinga Chaira, Chaira teringat ucapan Pandu setahun silam.
Dengan perlahan Chaira menutup matanya, dan memanggil nama Pandu.
“Saat dunia tak mampu bertahan, cintaku akan selalu bersamamu. Teruskanlah
hidupmu Chaira, karna aku disisimu, hingga kau mendapatkan cinta yang
sebenarnya cinta. Dan jika kau rindu aku pejamkan matamu dan panggil namaku,
I’ll be there for you my angle.” Bisikan lembut yang mengiris seluruh
kesedihannya, dan satu kecupan yang indah. Chaira membuka matanya perlahan dengan
seluruh genangan airmata.
“Pandu..” satu nama yang ia panggil yang keluar dari bibir merah Chaira
diiringi setetes embun yang terjun dari keindahan permata Chaira..
Tak disangka, ternyata sang elang mengawasi permata itu dari sisinya, dan
mengulurkan sehelai kain kehadapannya. Chaira terkejut.
“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang
diterima Rio, ia paham akan Chaira.
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira mengalihkan pandangannya, kembali ke
depan. Rio menghela nafas, tanggannya mengepal menahan perasaannya dan
melanjutkan pembicaraan.
“Aku tau kamu disini dari Raisha, setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini
tempat favorit kamu dulu sama....” Chaira langsung menatap dalam-dalam mata
elang dan alis yang seperti kepakan sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio
terdiam dan kembali menatap mata permata itu, pertahanan Chaira hampir runtuh
semua.
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan permata yang hilang dari kehidupan kamu,
dan aku ingin mengembalikan permata yang hilang itu dan memilikinya dengan
semua keindahan yang kamu punya.” Chaira tak dapat menahan butiran-butiran air
kecil, dan membiarkan terjatuh dari kelopak mawar mata Chaira dadanya seakan
terhimpit oleh perasaan kehilangan, nafasnya mulai terengah, dan tenggorokannya
seperti ada yang mengganjal.
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan
Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang tangan sang bidadari, Chaira lemah tak
memberikan perlawanan apapun, dirinya sudah berada dititik lemahnya kini.
Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku ngebalikin permata itu kembali bersinar
dimata kamu, mata kamu udah terlalu lelah untuk menangis..”
Cengkraman tangan sang pemangsa, meruntuhkan segala pertahanan sang
bidadari, Raja elang membuka sayapnya lebar-lebar untuk sang bidadari yang
telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan pernah melepaskan bidadari hatinya..
“Chaira.. wanita sempurna yang pernah aku miliki..” Ucap Pandu.
DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2012/04/cerpen-romantis-terbaru-elegi-sang.html#ixzz26unTZUiK
Hai :) pas lagi ngesearch cerpen aku tiba2 ada ini hehe wah ternyata bisa jadi makalah juga yah..
BalasHapushai juga dinda.. :)
Hapusiya maaf ya ga minta izin dulu mengkaji cerpen punya kmu, hehe
dinda orang mana?