Contoh Kajian Struktural Todorov dan Psikoanalisis Cerpen


KAJIAN STRUKTURAL TODOROV DAN PSIKOANALISIS DALAM CERPEN ELEGI SANG PERMATA KARYA DINDA CANDRASARI
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Prosa Fiksi Indonesia
dosen pengampu: Halimah, S.Pd




disusun oleh
Anisa Prasetia Novia               NIM                1103944


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012

A.      Kajian Struktural Todorov dalam Cerpen “Elegi Sang Permata” Karya Dinda Candrasari
1.         Sinopsis
Chaira, seorang gadis yang sangat cantik. Ia memiliki kekasih bernama Pandu, namun naas ketika ia berulang tahun Pandu mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Chaira histeris, dan hal itu membuat Chaira shock sehingga ia berubah menjadi gadis yang pendiam. Bahkan ia seolah menjadi mayat hidup, tak pernah sedikitpun ia menyunggingkan senyuman yang tulus dari bibirnya.
Setahun berlalu, Chaira mulai menjalani hidupnya seperti biasa. Hanya dengan belajar ia bisa mencoba melupakan kenangan buruknya setahun lalu, tetapi ia masih saja bersikap dingin terhadap siapapun.
Kedua sahabatnya Raisha dan Sabrina sering mengingatkan Chaira dan berusaha membantu sahabatnya agar bangkit untuk melanjutkan hidupnya. Namun semua usahanya nihil.
Pada suatu hari, Sabrina mengajak Chaira untuk pergi ke Mall tapi Chaira menolak ia malah ingin pergi ke makam kekasihnya Pandu. Lama ia tinggal di makam itu, dan merenung. Namun Sabrina mengajaknya pulang dengan setengah memaksa. Malam harinya Chaira masih larut dalam kesedihan dan menumpahkan semua dalam buku diary melalui goresan tangannya.
Keesokan harinya, tiba-tiba seseorang menyapa Chaira. Ia adalah Rio, seorang pemuda yang sudah sejak lama menyukainya. Ia mengembalikan sebuah liontin kepada Chaira pemberian Pandu yang jatuh, Rio merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Malam harinya ia masih termenung, memikirkan sosok bidadari yang telah merebut hatinya.
Ketika ia menangkap sosok Rio secara utuh di kantin, Chaira tiba-tiba saja merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya. Hal itu sontak membuat kedua sahabatnya senang sekaligus tak mengerti dengan perubahan Chaira.
Pagi yang indah, ketika Chaira membuka kedua matanya. Tiba-tiba handphonenya berbunyi dengan sangat keras, telpon dari nomor tidak bernama. Chaira mengangkat telpon itu, ia shock ketika mendengar suara yang tidak asing ditelinganya. Suara Pandu, Chaira histeris dan menangis.
Chaira memutuskan untuk pergi ke Taman Kota tempat favoritnya bersama Pandu. Lama ia menangis, dan termenung mengingat Pandu. Tanpa disangka, Rio memperhatikannya dari kejauhan dan menghampirinya memberikan sapu tangan untuk menghapus airmatanya. Chaira terkejut, dan sontak menghapus airmatanya. Rio duduk disamping Chaira, berusaha mengungkapkan isi hatinya kepada Chaira. Kata-kata Rio akhirnya meluluhkan Chaira, ia pun jatuh kedalam pelukan Rio.

2.         Analisis Alur dan pengaluran
2.1  Analisis Alur Berdasarkan Fungsi Utama
Rincian Fungsi Utama
F1      : Kabar kematian Pandu kekasih Chaira di hari ulang tahun Chaira
F2      : Chaira shock dan langsung pergi menuju tempat kejadian
F3      : Chaira menangis memeluk Pandu yang sudah tidak bernyawa
F4      : Malam itu menjadi malam yang paling menyakitkan untuk Chaira
F5      : Setahun berlalu Chaira mulai melanjutkan hidupnya
F6      : Chaira sedikit depresi sehingga sikapnya berubah menjadi dingin dan pendiam
F7      : Kedua sahabat Chaira, yaitu Sabrina dan Raisha sering mengingatkan agar Chaira bangkit kembali
F8      : Sabrina mengajak Chaira pergi ke Mall
F9      : Chaira menolak dan memilih untuk pergi ke makam kekasihnya
F10    : Chaira kembali mengingat Pandu
F11    : Sabrina menarik Chaira untuk pulang karena cuaca mendung
F12    : Malam harinya, Chaira kembali mengingat Pandu dan mengelus liontin pemberian Pandu
F13    : Esoknya di kampus Rio mengembalikan liontin Chaira yang terjatuh
F14    : Karena pertemuan itu, Rio semakin jatuh cinta terhadap Chaira
F15    : Malam harinya, Rio masih memikirkan Chaira
F16    : Di kantin, pandangan Chaira dan Rio bertemu
F17    : Chaira merasakan perasaannya berfungsi lagi
F18    : Sabrina dan Raisha senang dan bingung dengan ungkapan Chaira
F19    : Sabrina dan Raisha akhirnya tahu Rio lah yang membuat perasaan Chaira berfungsi kembali
F20    : Chaira bertanya kepada Tuhan apakah ia jatuh cinta kembali
F21    : Pagi hari Handphone Chaira berdering, telepon dari nomor yang tidak bernama
F22    : Chaira mengangkat telepon
F23    : Suara orang yang menelpon membuat Chaira histeris karena seperti suara Pandu
F24    : Chaira kembali teringat Pandu
F25    : Chaira memutuskan untuk pergi ke Taman Kota tempat favoritnya dengan Pandu
F26    : Disana ia kembali mengenang masa-masa indahnya bersama Pandu
F27    : Chaira menangis
F28    : Rio menghampiri Chaira dan memberikan sapu tangan
F29    : Chaira terkejut
F30    : Rio duduk disamping Chaira
F31    : Rio menjelaskan bahwa ia tahu Chaira disana dari kedua sahabat Chaira
F32    : Chaira menatap Rio
F33    : Rio mengungkapkan isi hatinya kepada Chaira
F34    : Akhirnya Chaira luluh dan menerima Rio


Bagan Fungsi Utama
F6
F1
F5
F2
F4
F7
F3
F12
F14
F13
F15
F19
F16
F20
F17
F1111
F10
F9
F8
 











F34
                                                
F18
F33
F21
F32
F22
F30
F31
F29
F23
F26
F28
F27
F25
F24
 










Deskripsi Alur
Kabar kematian Pandu kekasih Chaira yang terjadi saat malam perayaan ulang tahun Chaira, mendengar berita tersebut Chaira shock dan histeris. Tanpa berfikir panjang Chaira langsung mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, dan sampailah ia di tempat kejadian. Chaira hanya bisa menangis seraya memeluk tubuh kaku Pandu yang sudah tidak bernyawa. Malam itu menjadi malam yang paling menyakitkan bagi Chaira.
Setahun berlalu, Chaira mulai melanjutkan aktifitas hidupnya yang sudah lama ia tinggalkan. Semenjak kejadian itu, Chaira sedikit depresi. Ia berubah menjadi gadis yang pendiam dan bersikap dingin. Kedua sahabatnya Sabrina dan Raisha sering mengingatkan Chaira agar tetap melanjutkan hidupnya dan bangkit dari keterpurukannya.
Pada suatu hari Sabrina mengajak Chaira pergi ke Mall, namun Chaira menolak dan memilih untuk pergi ke Makam Pandu. Di sana ia mengingat Pandu, kekasih yang sangat dicintainya. Cuaca mendung, membuat Sabrina menarik Chaira dengan paksa untuk pulang. Malam harinya, Chaira kembali mengingat Pandu dan mengelus liontin pemberian Pandu yang bertuliskan namanya dengan Pandu.
Esok harinya, Rio menghampiri Chaira untuk mengembalikan liontin Chaira yang terjatuh. Karena pertemuan itu, Rio semakin jatuh cinta kepada Chaira. Malam harinya, ia masih saja membayangkan gadis manis yang telah memikat hatinya.
Di Kantin, pandangan Chaira dan Rio bertemu, hal itu sontak membuat jantung Chaira berdebar-debar dan ia merasakan perasaannya berfungsi kembali. Sabrina dan Raisha bingung sekaligus senang dengan ungkapan Chaira tentang perasaannya. Mereka semakin bingung dengan perubahan sikap Chaira, namun akhirnya mereka tahu bahwa Rio lah yang membuat perasaan Chaira berfungsi kembali. Malam harinya, Chaira hanya bisa bertanya kepada Tuhan apakah perasaannya berfungsi kembali? Apakah ia merasakan jatuh cinta lagi?
Keesokan harinya, tiba-tiba handphone Chaira berbunyi dengan sangat kencang. Chaira bingung sesaat, telpon dari nomor tidak bernama. Perlahan ia pun mengangkat telpon itu, alangkah terkejutnya ia ketika mendengar suara si penelpon yang mirip dengan suara Pandu. Chaira histeris dan memutuskan untuk pergi ke Taman Kota tempat favoritnya bersama Pandu dulu. Di Taman itu,Chaira kembali mengingat masa-masa indahnya bersama Pandu. Chaira hanya bisa menangis, ia pun memanggil nama Pandu. Tiba-tiba saja, Rio menyodorkan sebuah sapu tangan. Hal itu sontak membuat Chaira terkejut, Rio meminta izin untuk duduk di samping Chaira. Rio mulai mencoba menjelaskan bahwa ia mengetahui Chaira berada di Taman Kota dari Sabrina dan Raisha, namun Chaira hanya menatap Rio. Rio pun memberanikan diri mengungkapkan perasaannya terhadap Chaira. Akhirnya Chaira luluh dan menerima Rio.


2.2  Analisis Pengaluran Berdasarkan Sekuen
Rincian Sekuen
S1      : Malam yang Chaira bayangkan menjadi malam terindah, ternyata menjadi malam yang kelabu bagi hidup Chaira (sekuen linear)
S2      : Pandu kekasihnya memberikan kejutan yang tak terlupakan, bukan dengan kebahagiaan tetapi kesedihan (sekuen linear)
S3      : Suara anjing-anjing yang melolong menambah keterpurukan Chaira (sekuen linear)
S4      : Cemas dan harapan silih berganti di benak Chaira (sekuen linear)
S5      : Kamar tempat ia berdiri dan memegang handphone terasa asing bagi Chaira (sekuen linear)
S6      : Chaira menangis dan berlutut (sekuen linear)
S7      : Chaira langsung pergi mengendarai mobilnya (sekuen linear)
S8      : Diperjalanan Chaira hanya bisa mengingat kenangannya bersama Pandu yang membuat ia terus saja menangis (sekuen ingatan)
S9      : Sesampainya di tempat kejadian, Chaira langsung menyandarkan tubuhnya di atas raga Pandu yang sudah tidak bernyawa (sekuen linear)
S10    : Chaira merasa hampa, setengah kesadarannya ikut hilang dengan kematian Pandu dan ia hanya bisa menangis (sekuen linear)
S11    : setahun berlalu, Chaira kembali melanjutkan hidupnya. Kematian Pandu, membuat Chaira sedikit depresi. Hanya dengan menuntut ilmu Chaira bisa sejenak melupakan tragedi itu (sekuen linear)
S12    : Chaira berusaha memberikan senyuman-senyuman bersama kedua sahabatnya namun tetap saja bukan senyuman tulus (sekuen linear)
S13    : Salah satu teman laki-laki satu fakultas memanggil Chaira (sekuen linear)
S14    : Deskripsi fisik laki-laki teman satu fakultas Chaira (sekuen linear)
S15    : Chaira tidak membalas panggilan itu, ia sangat acuh. Sejak kematian Pandu, Chaira berubah menjadi gadis pendiam dan sikapnya berubah menjadi dingin (sekuen linear)
S16    : Raisha sahabat Chaira sering bertanya sampai kapan Chaira menutup hidupnya untuk orang lain (sekuen linear)
S17    : Chaira hanya bisa menatap dengan tatapan kosong menatap kembali masa kelamnya (sekuen ingatan)
S18    : Chaira hanya bisa menjawab tidak tahu (sekuen linear)
S19    : Raisha kembali membujuknya, ia mengatakan bahwa Chaira tidak pernah tersenyum benar-benar dari hatinya. Chaira menjadi emosi dan akhirnya menangis, Raisha pun akhirnya meminta maaf (sekuen linear)
S20    : Chaira kini seperti kupu-kupu yang rapuh, di kampus Chaira lebih banyak diam (sekuen linear)
S21    : Sabrina mengajak Chaira pergi ke Mall, tetapi Chaira menolak dan lebih memilih untuk pergi ke Makam Pandu (sekuen linear)
S22    : Sabrina pun menemani Chaira ke Makam Pandu (sekuen linear)
S23    : Karena mendung, Sabrina mengajak Chaira untuk pulang dan menariknya dengan paksa (sekuen linear)
S24    : Chaira mengelus liontinnya, liontin pemberian Pandu. Liontin itu terukir namanya dan Pandu (sekuen linear)
S25    : Pandu meninggalkan Chaira untuk selamanya secara tragis di malam ketika Chaira menunggu kehadirannya, ia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi sehingga kecelakaan itu tak dapat dihindari. Pandu meregang nyawa membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira (sekuen ingatan)
S26    : Malam, Chaira menumpahkan seluruh kesedihannya lewat sebuah tulisan yang ia tulis dalam sebuah diary, diiringi suara jangkring dan sinar rembulan (sekuen linear-ingatan)
S27    : Esok harinya, seorang laki-laki tiba-tiba menyapa Chaira. Laki-laki yang sejak lama mengaguminya (sekuen linear)
S28    : Chaira tersenyum, setelah hatinya tergerak melihat sorotan tajam dari mata laki-laki itu (sekuen linear)
S29    : Berdebarnya jantung laki-laki itu, membuat wajahnya panas, dan lidahnya pun menjadi kaku. Ia pun membiarkan Chaira berlalu di hadapannya (sekuen linear)
S30    : laki-laki itu kembali memanggil Chaira dan mengembalikan liontin Chaira yang terjatuh (sekuen linear)
S31    : Dengan wajah lega, Chaira segera mengambil liontinnya dari tangan laki-laki itu. Laki-laki itu bernama Rio (sekuen linear)
S32    : Rio bertanya apakah liontin itu penting, Chaira hanya mengangguk lalu ia pun tertunduk dan berbalik badan meninggalkan Rio (sekuen linear)
S33    : Jantung Rio kembali berdebar dan kini ia melamun (sekuen linear-bayangan)
S34    : Panggilan Alvin teman Rio yang tidak terdengar oleh Rio (sekuen linear)
S35    : Alvin menghampiri Rio yang berdiri mematung (sekuen linear)
S36    : Teriakan dan lambaian tangan di wajah Rio akhirnya menyadarkan Rio dari lamunannya (sekuen linear)
S37    : Pertanyaan Alvin mengapa Rio melamun, Rio menceritakan bahwa ia melihat bidadari yang baru saja lewat di depannya (sekuen linear-bayangan)
S38    : Ketidakmengertian Alvin, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang disebutkan Rio (sekuen linear)
S39    : Teringatnya Alvin dengan kuis yang akan diberikan oleh Dosen, dan mengingatkan Rio. Mereka pun masuk ke kelas (sekuen ingatan-linear)
S40    : Malam harinya, Rio tidak bisa tidur karena pikiranya masih tertuju pada Chaira, gadis yang telah memikat hatinya (sekuen bayangan)
S41    : Deskripsi akan sikap Chaira (sekuen linear)
S42    : Di Kantin, Sabrina mengingatkan agar Chaira termotivasi untuk mengambil hikmah dari kematian pandu (sekuen linear)
S43    : Kata-kata Sabrina, membuat Chaira kembali mengingat masa lalunya bersama Pandu. Chaira berusaha menjawab, tetapi ia tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia memejamkan matanya, menelan perasaan sesaknya (sekuen ingatan-linear)
S44    : Ketika ia membuka mata, pandangannya bertemu dengan Rio (sekuen linear)
S45    : Kebingungan Raisha mencari sosok yang membuat Chaira terpaku (sekuen linear)
S46    : Berdebarnya jantung Chaira, dan terlihat senyum kemenangan dari bibir Chaira (sekuen linear)
S47    : Saling pandangnya Raisha dan Sabrina karena tak mengerti apa yang terjadi dengan Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina (sekuen linear)
S48    : Akhirnya Raisha dan Sabrina tahu siapa yang membuat Chaira berubah (sekuen linear)
S49    : Malam hari, Chaira terbayang akan sosok Rio yang membuat jantungnya berdetak dengan kencang (sekuen linear-bayangan)
S50    : Esoknya, Chaira terbangun karena handphonenya berdering dengan nyaring (sekuen linear)
S51    : Chaira mengangkat telepone dari nomor belum bernama, alangkah terkejutnya ia ketika mendengar suara si penelpon yang mirip dengan suara Pandu (sekuen linear-ingatan)
S52    : Terputusnya telepone itu, dan Chaira histeris (sekuen linear-ingatan)
S53    : Kesengajaan Chaira mengunjungi Taman Kota tempat favoritnya dengan Pandu untuk menjernihkan pikirannya (sekuen linear)
S54    : Setengah jam Chaira duduk melihat genangan air yang luas di depannya (sekuen linear)
S55    : Ia merasakan hembusan angin yang menerpa tubuhnya, seketika ia teringat ucapan Pandu setahun silam. Ia menutup kedua matanya dan memanggil nama Pandu, Ia membuka matanya dan kembali memanggil nama Pandu diiringi tetesan airmatanya (sekuen ingatan)
S56    : Tak disangka, ternyata Rio mengawasi Chaira. Rio menghampiri Chaira dan memberikan sapu tangan kepada Chaira, Chaira terkejut (sekuen linear)
S57    : Chaira gugup dan menghapus airmatanya, Rio menyapanya namun Chaira hanya membisu. Rio memohon izin untuk duduk di samping Chaira, tetapi Chaira masih saja diam (sekuen linear)
S58    : Percobaan Rio untuk menjelaskan bahwa ia mengetahui Chaira berada di Taman Kota dari Raisha karena Taman Kota adalah tempat favorit Chaira bersama Pandu, Chaira langsung menatap dalam-dalam mata Rio. Pertahan Chaira mulai runtuh (sekuen linear)
S59    : Keberanian Rio mengungkapkan isi hatinya kepada Chaira bahwa ia ingin mengembalikan senyuman di hari-hari Chaira. Chaira menangis. Rio memberanikan diri memegang tangan Chaira, Chaira tak memberikan perlawanan apapun. Ia sudah berada di titik lemahnya (sekuen linear)
S60    : Keberanian Rio mengungkapkan perasaannya dan meminta Chaira untuk menjadi kekasihnya (sekuen linear)
S61    : Akhirnya Chaira luluh dan Chaira jatuh di pelukan Rio (sekuen linear)
S62    : Ungkapan hati Pandu (sekuen bayangan)

Bagan Pengaluran
                                                                             
                                                   
S1     S8           S25    S26    S33       S39   S40     S43     S49    S51    S52      S55        S62


Deskripsi Sekuen
Malam yang Chaira bayangkan menjadi malam terindah, ternyata menjadi malam yang kelabu bagi hidup Chaira. Pandu kekasihnya memberikan kejutan yang tak terlupakan, bukan dengan kebahagiaan tetapi kesedihan. Suara anjing-anjing yang melolong menambah keterpurukan Chaira. Cemas dan harapan silih berganti di benak Chaira. Kamar tempat ia berdiri dan memegang handphone terasa asing bagi Chaira. Chaira menangis dan berlutut, ia langsung pergi mengendarai mobilnya.
Di perjalanan Chaira hanya bisa mengingat kenangannya bersama Pandu yang membuat ia terus saja menangis. Sesampainya di tempat kejadian, Chaira langsung menyandarkan tubuhnya di atas raga Pandu yang sudah tidak bernyawa. Chaira merasa hampa, setengah kesadarannya ikut hilang dengan kematian Pandu dan ia hanya bisa menangis.
Setahun berlalu, Chaira kembali melanjutkan hidupnya. Kematian Pandu, membuat Chaira sedikit depresi. Hanya dengan menuntut ilmu Chaira bisa sejenak melupakan tragedi itu. Chaira berusaha memberikan senyuman-senyuman bersama kedua sahabatnya namun tetap saja bukan senyuman tulus.
Tiba-tiba saja salah satu teman laki-laki satu fakultas memanggil Chaira. Kemudian deskripsi mengenai fisik laki-laki teman satu fakultas Chaira itu. Tetapi sayang Chaira tidak membalas panggilan itu, ia sangat acuh. Sejak kematian Pandu, Chaira berubah menjadi gadis pendiam dan sikapnya berubah menjadi dingin.
Raisha sahabat Chaira sering bertanya sampai kapan Chaira menutup hidupnya untuk orang lain. Chaira hanya bisa menatap dengan tatapan kosong menatap kembali masa kelamnya dan hanya bisa menjawab tidak tahu. Raisha kembali membujuknya, ia mengatakan bahwa Chaira tidak pernah tersenyum benar-benar dari hatinya. Chaira menjadi emosi dan akhirnya menangis, Raisha pun akhirnya meminta maaf.
Chaira kini seperti kupu-kupu yang rapuh, di kampus Chaira lebih banyak diam. Sabrina mengajak Chaira pergi ke Mall, tetapi Chaira menolak dan lebih memilih untuk pergi ke Makam Pandu. Sabrina pun menemani Chaira ke Makam Pandu. Karena mendung, Sabrina mengajak Chaira untuk pulang dan menariknya dengan paksa. Chaira mengelus liontinnya, liontin pemberian Pandu. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu meninggalkan Chaira untuk selamanya secara tragis di malam ketika Chaira menunggu kehadirannya, ia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi sehingga kecelakaan itu tak dapat dihindari. Pandu meregang nyawa membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira.
Malam, Chaira menumpahkan seluruh kesedihannya lewat sebuah tulisan yang ia tulis dalam sebuah diary, diiringi suara jangkring dan sinar rembulan. Esok harinya, seorang laki-laki tiba-tiba menyapa Chaira. Laki-laki yang sejak lama mengaguminya. Chaira tersenyum, setelah hatinya tergerak melihat sorotan tajam dari mata laki-laki itu. Berdebarnya jantung laki-laki itu, membuat wajahnya panas, dan lidahnya pun menjadi kaku. Ia pun membiarkan Chaira berlalu di hadapannya, laki-laki itu kembali memanggil Chaira dan mengembalikan liontin Chaira yang terjatuh. Dengan wajah lega, Chaira segera mengambil liontinnya dari tangan laki-laki itu. Laki-laki itu bernama Rio, Rio bertanya apakah liontin itu penting, Chaira hanya mengangguk lalu ia pun tertunduk dan berbalik badan meninggalkan Rio. Jantung Rio kembali berdebar dan kini ia melamun. Panggilan Alvin teman Rio yang tidak terdengar oleh Rio, Alvin menghampiri Rio yang berdiri mematung. Teriakan dan lambaian tangan di wajah Rio akhirnya menyadarkan Rio dari lamunannya. Pertanyaan Alvin mengapa Rio melamun, Rio menceritakan bahwa ia melihat bidadari yang baru saja lewat di depannya. Ketidakmengertian Alvin, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang disebutkan Rio. Teringatnya Alvin dengan kuis yang akan diberikan oleh Dosen, dan mengingatkan Rio. Mereka pun masuk ke kelas.
Malam harinya, Rio tidak bisa tidur karena pikiranya masih tertuju pada Chaira, gadis yang telah memikat hatinya. Deskripsi akan sikap Chaira. Di Kantin, Sabrina mengingatkan agar Chaira termotivasi untuk mengambil hikmah dari kematian pandu. Kata-kata Sabrina, membuat Chaira kembali mengingat masa lalunya bersama Pandu. Chaira berusaha menjawab, tetapi ia tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Ia memejamkan matanya, menelan perasaan sesaknya. Ketika ia membuka mata, pandangannya bertemu dengan Rio. Kebingungan Raisha mencari sosok yang membuat Chaira terpaku. Berdebarnya jantung Chaira, dan terlihat senyum kemenangan dari bibir Chaira. Saling pandangnya Raisha dan Sabrina karena tak mengerti apa yang terjadi dengan Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina. Akhirnya Raisha dan Sabrina tahu siapa yang membuat Chaira berubah.
Malam hari, Chaira terbayang akan sosok Rio yang membuat jantungnya berdetak dengan kencang. Esoknya, Chaira terbangun karena handphonenya berdering dengan nyaring. Chaira mengangkat telepone dari nomor belum bernama, alangkah terkejutnya ia ketika mendengar suara si penelpon yang mirip dengan suara Pandu. Terputusnya telepone itu, dan Chaira histeris. Kesengajaan Chaira mengunjungi Taman Kota tempat favoritnya dengan Pandu untuk menjernihkan pikirannya. Setengah jam Chaira duduk melihat genangan air yang luas di depannya. Ia merasakan hembusan angin yang menerpa tubuhnya, seketika ia teringat ucapan Pandu setahun silam. Ia menutup kedua matanya dan memanggil nama Pandu, Ia membuka matanya dan kembali memanggil nama Pandu diiringi tetesan airmatanya. Tak disangka, ternyata Rio mengawasi Chaira. Rio menghampiri Chaira dan memberikan sapu tangan kepada Chaira, Chaira terkejut. Chaira gugup dan menghapus airmatanya, Rio menyapanya namun Chaira hanya membisu. Rio memohon izin untuk duduk di samping Chaira, tetapi Chaira masih saja diam. Percobaan Rio untuk menjelaskan bahwa ia mengetahui Chaira berada di Taman Kota dari Raisha karena Taman Kota adalah tempat favorit Chaira bersama Pandu, Chaira langsung menatap dalam-dalam mata Rio. Pertahan Chaira mulai runtuh. Keberanian Rio mengungkapkan isi hatinya kepada Chaira bahwa ia ingin mengembalikan senyuman di hari-hari Chaira. Chaira menangis. Rio memberanikan diri memegang tangan Chaira, Chaira tak memberikan perlawanan apapun. Ia sudah berada di titik lemahnya. Keberanian Rio mengungkapkan perasaannya dan meminta Chaira untuk menjadi kekasihnya. Akhirnya Chaira luluh dan Chaira jatuh di pelukan Rio. Ungkapan hati Pandu.

3.      Analisis Tokoh dan Latar
3.1  Analisis Tokoh
a.       Chaira
Chaira di dalam cerpen ini merupakan tokoh utama, secara fisiologis ia seorang perempuan berusia sekitar 18-20 tahun, cantik, bertubuh mungil, berambut panjang tergerai indah, dengan mata sayu, pipi yang mulus, dan bibir merah alami. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
Malam ini, mata Rio enggan untuk terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.

“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah membeku.

Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira.

“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.

Di perjalanan, perhatiannya hanya teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya terus membasahi pipi mulus Chaira..

“Pandu..” satu nama yang ia panggil yang keluar dari bibir merah Chaira diiringi setetes embun yang terjun dari keindahan permata Chaira.. (Candrasari, 2012:1-7)

Secara sosiologis, Chaira adalah seorang mahasiswa di salah satu Universitas (itu berarti ia seorang yang berpendidikan), berasal dari kalangan menengah atas. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Di kampus, Chaira hanya melihat layar yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata dan imajinasinya.

“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini. Malam itu terlalu pekat untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya. (Candrasari, 2012:1-2)

Secara psikologis, Chaira merupakan seorang perempuan yang ceria, namun semenjak kekasihnya Pandu meninggal Chaira sedikit depresi, ia menjadi sosok yang dingin dan pendiam. Ia seolah tidak dapat menjalani hidupnya dengan normal, Chaira lebih senang menyendiri. Ia tidak pernah mau untuk menatap lawan jenisnya, dan ia tidak pernah memberikan senyuman yang tulus dan ikhlas dari bibirnya. Chaira perempuan sederhana namun begitu dingin. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.

Setahun, setelah ia sadar dirinya tak mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku .” Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.

Tapi balasan Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka.

“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”

Tertumpuk sudahlah perasaan yang menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata dan imajinasinya.
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue ga kesana.”
Hatinya telah tergoda kepada sosok Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.

Chaira Chaira, permata yang kehilangan kilauannya.. Sosok gadis yang mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba meraih setiap asa yang pernah pupus, dan sosok yang menjadi bisu. (Candrasari, 2012:1-5)

Chaira merupakan tokoh bulat/kompleks karena di dalam hidupnya mengalami perubahan, yakni dari ceria menjadi gadis yang sangat dingin dan acuh terhadap hidupnya semenjak kematian Pandu kekasihnya tepat saat pesta ulang tahun Chaira. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.

Setahun, setelah ia sadar dirinya tak mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku .” Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.

Tapi balasan Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka.

Tertumpuk sudahlah perasaan yang menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata dan imajinasinya.

Hatinya telah tergoda kepada sosok Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.

Chaira Chaira, permata yang kehilangan kilauannya.. Sosok gadis yang mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba meraih setiap asa yang pernah pupus, dan sosok yang menjadi bisu. (Candrasari, 2012:1-5)

Chaira merupakan tokoh real (nyata) karena merupakan tokoh yang ada di dalam cerita, dan merupakan tokoh individual karena ia mewakili dirinya sendiri tidak mewakili banyak tokoh.

b.      Rio
Rio di dalam cerpen ini merupakan tokoh utama, secara fisiologis ia seorang laki-laki berusia sekitar 18-20 tahun, berwajah tampan, bertubuh tinggi, dengan kulit kuning langsat, bermata tajam setajam mata elang, dengan alis yang sangat indah. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat, mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.

“Chairaa..” sapa laki-laki yang mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. (Candrasari, 2012:2-4)

Secara sosiologis, Rio adalah seorang mahasiswa di salah satu Universitas (itu berarti ia merupakan seorang yang berpendidikan). Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat, mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.

“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan. (Candrasari, 2012:2-5)

Secara psikologis, Rio merupakan laki-laki yang baik, lembut, perhatian, ia pintar, rio sudah lama mengagumi Chaira, perlahan namun pasti Rio mulai mendekati Chaira dan akhirnya mendapatkan cinta dari Chaira. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
... otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.

“Chairaa..” sapa laki-laki yang mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan, perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.” Ungkapan hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio mengahmpiri dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak.
Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.

Malam ini, mata Rio enggan untuk terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
Hatinya telah tergoda kepada sosok Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.
“Tuhan, aku mulai jatuh cinta.” Kalimat yang mewakili dari seluruh perasaan senangnya bersentuh tangan dengan si gunung es yang membekukan dirinya dibawah teriknya matahari tadi.

Tak disangka, ternyata sang elang mengawasi permata itu dari sisinya, dan mengulurkan sehelai kain kehadapannya. Chaira terkejut.
“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang diterima Rio, ia paham akan Chaira.
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira mengalihkan pandangannya, kembali ke depan. Rio menghela nafas, tanggannya mengepal menahan perasaannya dan melanjutkan pembicaraan.
“Aku tau kamu disini dari Raisha, setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini tempat favorit kamu dulu sama....” Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang dan alis yang seperti kepakan sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio terdiam dan kembali menatap mata permata itu, pertahanan Chaira hampir runtuh semua.
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan permata yang hilang dari kehidupan kamu, dan aku ingin mengembalikan permata yang hilang itu dan memilikinya dengan semua keindahan yang kamu punya.” Chaira tak dapat menahan butiran-butiran air kecil, dan membiarkan terjatuh dari kelopak mawar mata Chaira dadanya seakan terhimpit oleh perasaan kehilangan, nafasnya mulai terengah, dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal.
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang tangan sang bidadari, Chaira lemah tak memberikan perlawanan apapun, dirinya sudah berada dititik lemahnya kini.
Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku ngebalikin permata itu kembali bersinar dimata kamu, mata kamu udah terlalu lelah untuk menangis..”
Cengkraman tangan sang pemangsa, meruntuhkan segala pertahanan sang bidadari, Raja elang membuka sayapnya lebar-lebar untuk sang bidadari yang telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan pernah melepaskan bidadari hatinya. (Candrasari, 2012:2-8)

Rio merupakan tokoh tokoh pipih/sederhana, karena ia tidak mengalami perubahan dalam dirinya. Maksudnya disini, sifat dan sikap Rio tidak mengalami perubahan drastis. Rio juga merupakan tokoh real/nyata karena ia diceritakan pasti dalam bentuk tokoh yang berupa dialog. Ia merupakan tokoh individual karena ia mewakili dirinya sendiri tidak mewakili banyak tokoh.

c.       Pandu
Pandu di dalam cerpen ini merupakan tokoh utama namun di tampilkan secara simbolik, karena ia hanya diceritakan namun tidak ikut dalam dialog antar tokoh di dalam cerpen ini. Tetapi kehadiran Pandu sangat berpengaruh bagi tokoh utama (Chaira), karena akibat kematian Pandu hidup Chaira berubah, sifat dan sikap Chaira pun ikut berubah. Chaira menjadi depresi karena kehilangan sosok kekasih yang sangat dicintainya. Tergambar dalam kata-kata berikut:
Chaira terus saja mengelus liontinnya, karna hanya itu yang tersisa dari masa lalunya.
Pandu laki-laki itu yang memberikan liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu meninggalkan Chaira secara tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira.

Terdengar sayup-sayup suara lembut dan terdengar sebuah lantunan dawai gitar yang mengalun telinga Chaira, Chaira teringat ucapan Pandu setahun silam. Dengan perlahan Chaira menutup matanya, dan memanggil nama Pandu.
“Saat dunia tak mampu bertahan, cintaku akan selalu bersamamu. Teruskanlah hidupmu Chaira, karna aku disisimu, hingga kau mendapatkan cinta yang sebenarnya cinta. Dan jika kau rindu aku pejamkan matamu dan panggil namaku, I’ll be there for you my angle.” Bisikan lembut yang mengiris seluruh kesedihannya, dan satu kecupan yang indah. Chaira membuka matanya perlahan dengan seluruh genangan airmata.
“Pandu..” satu nama yang ia panggil yang keluar dari bibir merah Chaira diiringi setetes embun yang terjun dari keindahan permata Chaira.. (Candrasari, 2012:3-7)

d.      Raisha
Raisha di dalam cerpen ini merupakan tokoh tambahan, secara fisiologis tidak dijelaskan di dalam cerpen ini, secara sosiologis ia adalah  mahasiswa dari salah satu Universitas (itu berarti ia merupakan seorang yang berpendidikan), ia merupakan sahabat Chaira semenjak SMA. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.

“Ra, mau sampai kapan lo tutup kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA. (Candrasari, 2012:1-2)

Secara psikologis, Raisha merupakan gadis yang baik, sangat perhatian dan peduli terhadap Chaira sahabatnya. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Ra, mau sampai kapan lo tutup kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh ombak laut menerjang dirinya kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur menjadi pecahan-pecahan permata yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan bahunya dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.”
Tertumpuk sudahlah perasaan yang menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.

Raisha dan Sabrina saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui, semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:1-6)

Raisha merupakan tokoh pipih/sederhana karena ia tidak mengalami perubahan dalam dirinya. Maksudnya disini, sifat dan sikap Raisha tidak mengalami perubahan drastis. Raisha juga merupakan tokoh real/nyata karena ia diceritakan pasti dalam bentuk tokoh yang berupa dialog. Ia merupakan tokoh individual karena ia mewakili dirinya sendiri tidak mewakili banyak tokoh.

e.       Sabrina
Sabrina di dalam cerpen ini merupakan tokoh tambahan, secara fisiologis tidak dijelaskan di dalam cerpen ini, secara sosiologis ia adalah  mahasiswa dari salah satu Universitas (itu berarti ia merupakan seorang yang berpendidikan), ia merupakan sahabat Chaira semenjak SMA. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.

“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali bersandar pada masanya bersama Pandu.

Raisha dan Sabrina saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui, semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:1-6)

Secara psikologis, Sabrina merupakan gadis yang sedikit cerewet (ceriwis), ia gadis yang baik, perhatian dan sangat peduli terhadap sahabatnya Chaira. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat kembali dari sorot mata indah Chaira.
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira.

“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali bersandar pada masanya bersama Pandu.

Raisha dan Sabrina saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui, semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:1-6)

Sabrina merupakan tokoh pipih/sederhana karena ia tidak mengalami perubahan dalam dirinya. Maksudnya disini, sifat dan sikap Sabrina tidak mengalami perubahan drastis. Sabrina juga merupakan tokoh real/nyata karena ia diceritakan pasti dalam bentuk tokoh yang berupa dialog. Ia merupakan tokoh individual karena ia mewakili dirinya sendiri tidak mewakili banyak tokoh.

f.       Alvin
Alvin di dalam cerpen ini merupakan tokoh tambahan, secara fisiologis tidak dijelaskan di dalam cerpen ini, secara sosiologis ia adalah  mahasiswa dari salah satu Universitas (itu berarti ia merupakan seorang yang berpendidikan), ia merupakan teman satu kelas Rio. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan. (Candrasari, 2012:4-5)

Alvin merupakan tokoh pipih/sederhana karena ia tidak mengalami perubahan dalam dirinya. Maksudnya disini, sifat dan sikap Alvin tidak mengalami perubahan drastis. Alvin juga merupakan tokoh real/nyata karena ia diceritakan pasti dalam bentuk tokoh yang berupa dialog. Ia merupakan tokoh individual karena ia mewakili dirinya sendiri tidak mewakili banyak tokoh.

3.2  Analisis Latar
a.       Waktu
-          Malam hari, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai memberi kejutan yang teramat tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan darah segar. (Candrasari, 2012:1)

-          Malam hari, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Pandu meninggalkan Chaira secara tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira. (Candrasari, 2012:3)

-          Malam ini, ditengah keheningan malam yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari. (Candrasari, 2012:3)

-          Siang hari, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Chairaa..” sapa laki-laki yang mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan, perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.” Ungkapan hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio menghampiri dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak. Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan. (Candrasari, 2012:4-5)

-          Malam ini, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Malam ini, mata Rio enggan untuk terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya. Entah apa yang merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya. (Candrasari, 2012:5)

-          Esoknya, pagi hari. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Esoknya matahari menerikkan semangat ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya, dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. (Candrasari, 2012:6)

-          Pagi hari, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu. (Candrasari, 2012;7)

b.      Ruang dan tempat
-          Di dalam kamar, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Suara-suara anjing-anjing itu masih saja mengganggu haru birunya Chaira, menambah suasana mencekam di dalam kamarnya.
Kamar dimana ia berdiri dan menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan airmata dan bertekuk lutut. (Candrasari, 2012:1)

-          Di dalam mobil, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Malam itu terlalu pekat untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya terus membasahi pipi mulus Chaira.. (Candrasari, 2012:1)

-          Tempat Pandu kecelakaan, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Entah secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah membeku. (Candrasari, 2012:1)

-          Di Kampus tempat Chaira kuliah, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat, mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan. Tapi balasan Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah. (Candrasari, 2012:2)

-          Di Kampus tepatnya di kelas, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Dikampus, Chaira hanya melihat layar yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata dan imajinasinya.
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat kembali dari sorot mata indah Chaira. (Candrasari, 2012:2-3)

-          Makam Pandu, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat kembali dari sorot mata indah Chaira.
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira. (Candrasari, 2012:3)

-          Di atas motor Pandu, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Pandu meninggalkan Chaira secara tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira. (Candrasari, 2012:3)

-          Di pinggir tempat tidur, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari. (Candrasari, 2012:3)

-          Di halaman kampus, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan. (Candrasari, 2012:4-5)

-          Di kantin kampus, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Kata-kata yang keluar dari mulut ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali bersandar pada masanya bersama Pandu. (Candrasari, 2012:5)

-          Di depan cermin, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Tuhan, aku berbicara denganMu lagi, aku merasakan beda. Apa aku?” Chaira berbicara dengan dirinya di depan cermin, dengan sesekali merapikan rambutnya yang terurai dengan jari-jari laksana bidadari dari langit ke-tujuh, pikirnya terbang kebayangan sang elang membuat jantungnya berdetak tak karuan. (Candrasari, 2012:6)

-          Kamar Chaira, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Esoknya matahari menerikkan semangat ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya, dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. (Candrasari, 2012:6)

-          Di Taman Kota, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu. (Candrasari, 2012:7)

-          Tempat duduk di Taman Kota, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Setelah setengah jam ia duduk melihat kumpulan air yang menggenang luas didepannya, sesekali hanya melempar kerikil kecil ke genangan itu. Seketika ia merasakan sesuatu yang tak seperti biasanya, rambutnya melayang karna hembusan angin dingin yang menghenyapkan. (Candrasari, 2012:7)

4.      Analisis Gaya Penceritaan
4.1  Modus
a.       Jenis Penceritaan
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” Karya Dinda Candrasari ini, jenis penceritaan menggunakan pencerita ekstern. Pencerita ekstern adalah pencerita yang tidak hadir di dalam teks karena posisinya hanya sebagai pengamat/sudut pandang orang ketiga. Maksudnya disini si pencerita tidak ikut berperan di dalam teks. Hal ini tergambar dalam penggalan teks berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai memberi kejutan yang teramat tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan darah segar. Suara-suara anjing-anjing itu masih saja mengganggu haru birunya Chaira, menambah suasana mencekam di dalam kamarnya.
Suara diseberang sana mampu menghilangkan setengah kewarasannya dan mengganti rasa deg-degkan berharapnya itu dengan deg-degkan tak karuan nafasnya seakan berhenti sejenak.
Kamar dimana ia berdiri dan menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan airmata dan bertekuk lutut.
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini. Malam itu terlalu pekat untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya terus membasahi pipi mulus Chaira..
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
“Siapa yang bisa menggantikannya, Tuhan ?” Sahut suara hati Chaira yang semakin membuat dia lelah bertanya dan ia takkan menemukan jawabannya sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis.. (Candrasari, 2012:1)

Seperti yang tergambar dalam penggalan teks di atas, jelas bahwa si pencerita tidak ikut terlibat/berperan di dalam teks, ia hanya sebagai pengamat. Si pencerita hanya sebagai orang yang menceritakan kisah hidup Chaira yang mulai depresi dan tidak menjalani hidupnya dengan normal sebagai akibat dari kematian kekasihnya Pandu.

b.      Tipe Pencerita
-          Wicara yang dilaporkan
Ialah wicara dengan gaya langsung maksudnya ujaran sama sekali tak mengalami perubahan dan disebut juga ujaran yang dilaporkan (discours rapporte). Maksudnya disini agar perasaan cerita benar-benar terjadi, maka dilakukanlah peniruan (mimesis) dan pencerita memberikan mandate untuk menyampaikan cerita pada tokoh-tokohnya, yang akan berupa wicara langsung. Tugas pencerita hanyalah melaporkan cakapan para tokoh sebagaimana adanya tanpa mengubahnya.
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari terdapat wicara yang di laporkan yakni sebagai berikut:
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira terus saja mencari naungan,...

“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku.”

“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki se-fakultasnya memanggil,...

“Ra, mau sampai kapan lo tutup kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?” Raisha tak pernah bosan menanyakan hal itu ke Chaira,...
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
... Raisha mensejajarkan bahunya dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.”

“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha...
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada kelas kan?”
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira.

“Chairaa..” sapa laki-laki yang mengagguminya,...
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio menghampiri dengan langkah yang stay cool.
“Penting ya Ra?” tanya Rio....
“Rio!” panggilan dari temannya...
“Riioooo!!” Teriakan dan lambaian tangan...
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya...
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.

“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari pada lo.”
“Iya, gue tau kok Bi, tapi ..” Chaira tak punya banyak kekuatan...
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari sosok yang membuat temannya itu terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.” Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.

“Halo.” Sejenak terhening, tak ada balasan suara dari seberang sana....
“Chaira..” Suara lembut yang terdengar samar-samar....
“Ga mungkin dia kembali, dia udah pergi selamanya. Ga munggkkkkiiiiiiiiiinnnn!!!” Chaira shock,...

“Pandu..” satu nama yang ia panggil...

“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang diterima Rio,...
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira mengalihkan pandangannya,...
“Aku tau kamu disini dari Raisha, setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini tempat favorit kamu dulu sama....” Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang...
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan permata yang hilang dari kehidupan kamu, dan aku ingin mengembalikan permata yang hilang itu dan memilikinya dengan semua keindahan yang kamu punya.” Chaira tak dapat menahan butiran-butiran air kecil,...
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang tangan sang bidadari,... Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku ngebalikin permata itu kembali bersinar dimata kamu, mata kamu udah terlalu lelah untuk menangis..” (Candrasari, 2012:1-8)

-          Wicara yang dialihkan
Ialah wicara gaya tak langsung (discours transpose) atau ujaran yang disesuaikan/dialihkan, maksudnya ujaran disampaikan dengan cara menggabungkan kaidah-kaidah bahasa dengan cerita si penutur. Dalam hal ini pengamat melihat segalanya dari jarak dekat. Namun, kali ini pencerita tidak memberikan mandatnya pada tokoh untuk mengemukakan cerita, melainkan dia sendiri yang berperan. Meskipun demikian, pencerita berusaha agar dapat menyampaikan cerita sedekat mungkin. Karena itu pencerita tidak menggunakan wicara sendiri seluruhnya melainkan ia menggunakan wicara tokoh yang dialihkannya menjadi wicara sendiri. Yang dikemukakan dalam wicara alihan tidak hanya peristiwa, melainkan juga pemandangan, tokoh, pikiran mereka, dan sebagainya.
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari terdapat wicara yang dialihkan yakni sebagai berikut:
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab.
“Siapa yang bisa menggantikannya, Tuhan?” Sahut suara hati Chaira yang semakin membuat dia lelah bertanya dan ia takkan menemukan jawabannya sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis..

Laki-laki itu berdebar tak karuan, perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.” Ungkapan hati si mata elang itu.
Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.

“Tuhan, aku mulai jatuh cinta.” Kalimat yang mewakili dari seluruh perasaan senangnya bersentuh tangan dengan si gunung es yang membekukan dirinya dibawah teriknya matahari tadi.
Chaira Chaira, permata yang kehilangan kilauannya.. Sosok gadis yang mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba meraih setiap asa yang pernah pupus, dan sosok yang menjadi bisu.

“Tuhan, aku berbicara denganMu lagi, aku merasakan beda. Apa aku?” Chaira berbicara dengan dirinya di depan cermin, dengan sesekali merapikan rambutnya yang terurai dengan jari-jari laksana bidadari dari langit ke-tujuh, pikirnya terbang kebayangan sang elang membuat jantungnya berdetak tak karuan.

“Saat dunia tak mampu bertahan, cintaku akan selalu bersamamu. Teruskanlah hidupmu Chaira, karna aku disisimu, hingga kau mendapatkan cinta yang sebenarnya cinta. Dan jika kau rindu aku pejamkan matamu dan panggil namaku, I’ll be there for you my angle.” Bisikan lembut yang mengiris seluruh kesedihannya, dan satu kecupan yang indah. Chaira membuka matanya perlahan dengan seluruh genangan airmata.

“Chaira.. wanita sempurna yang pernah aku miliki..” Ucap Pandu. (Candrasari, 2012:1-8)

-          Wicara yang dinarasikan
Ialah wicara gaya yang diceritakan/dinarasikan (discours raconte) mengemukakan isi dari tindakan mengujarkan tanpa mempertahankan unsurnya. Maksudnya disini pencerita melihat segala yang terjadi dari jarak jauh. Karena jauh itulah maka pencerita merasa tidak terlibat dengan semua yang dilihatnya. Maka pencerita luar menyajikan sendiri jalan cerita dengan menggunakan wicara yang dinarasikan. Keseluruhan wicara itu tidak mungkin dilepaskan dari konteksnya. Artinya, dari unsur lainnya.
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari terdapat wicara yang dinarasikan yakni sebagai berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai memberi kejutan yang teramat tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan darah segar. Suara-suara anjing-anjing itu masih saja mengganggu haru birunya Chaira, menambah suasana mencekam di dalam kamarnya.
Suara diseberang sana mampu menghilangkan setengah kewarasannya dan mengganti rasa deg-degkan berharapnya itu dengan deg-degkan tak karuan nafasnya seakan berhenti sejenak.
Kamar dimana ia berdiri dan menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan airmata dan bertekuk lutut.
Chaira terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini.
Malam itu terlalu pekat untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya terus membasahi pipi mulus Chaira..
Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.

Entah secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah membeku.

Setahun, setelah ia sadar dirinya tak mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh emosi yang tertahan.
Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.

Salah satu teman laki-laki se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat, mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka.
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh ombak laut menerjang dirinya kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur menjadi pecahan-pecahan permata yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan bahunya dengan Chaira.
Tertumpuk sudahlah perasaan yang menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata dan imajinasinya.

Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
Sinar permata itu hampir saja terlihat kembali dari sorot mata indah Chaira.
Tarikan Sabrina memberikan satu kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira.
Chaira terus saja mengelus liontinnya, karna hanya itu yang tersisa dari masa lalunya.
Pandu laki-laki itu yang memberikan liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu meninggalkan Chaira secara tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira.
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari.
Sepenggal kata yang Chaira ciptakan dibuku hariannya, yang sedikit bisa membantu mengurangi rasa lelahnya tiap senja berganti malam.

Sapa laki-laki yang mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum.
rambut Chaira yang tergerai indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
Rio mengahmpiri dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah lega.
Tanya Rio. Chaira mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak.
Panggilan dari temannya pun tak mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri temannya yang mematung.
Teriakan dan lambaian tangan dimuka Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
Malam ini, mata Rio enggan untuk terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
Hatinya telah tergoda kepada sosok Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.

Kata-kata yang keluar dari mulut ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali bersandar pada masanya bersama Pandu.
Chaira tak punya banyak kekuatan untuk meneruskan kata demi katanya, ia hanya sanggup untuk melepaskan lelahnya dengan memejamkan mata dan susah payah menelan ludahnya dan dihinggapi perasaan yang sesak.
Ketika ia membuka mata, permatanya langsung terperangkap oleh incaran sang elang dari kejauhan sana.
Raisha mencari sosok yang membuat temannya itu terpaku.
Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui, semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya.
Esoknya matahari menerikkan semangat ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya, dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. Handphone-nya berdering dengan nyaring, mendobrak pendengaran telinga dan penglihatannya. Permata yang tersembunyi dari matanya menyilaukan pagi. Ia melihat nomer yang muncul dari benda kecilnya, belum ada nama. Dengan perlahan ia membuka pembicaraan.
Sejenak terhening, tak ada balasan suara dari seberang sana. Sekali lagi Chaira mengucapkan satu kata tadi. Hanya terdengar suara desahan nafas dan suara gemetar yang membuat jantung Chaira jadi berdegup cepat.
Suara lembut yang terdengar samar-samar.
Chaira terperangkap suara itu, matanya terbelalak. Dan seketika itu handphone-nya kembali normal kembali. Chaira masih menggenggam handphone-nya erat-erat dan ia merasa tidak asing mendengar suara itu.
Chaira shock, dia menutup mukanya dengan tangan lembutnya yang seketika mendingin, dan membanjiri tangannya dengan linangan airmata. Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
Setelah setengah jam ia duduk melihat kumpulan air yang menggenang luas didepannya, sesekali hanya melempar kerikil kecil ke genangan itu. Seketika ia merasakan sesuatu yang tak seperti biasanya, rambutnya melayang karna hembusan angin dingin yang menghenyapkan.
Terdengar sayup-sayup suara lembut dan terdengar sebuah lantunan dawai gitar yang mengalun telinga Chaira, Chaira teringat ucapan Pandu setahun silam. Dengan perlahan Chaira menutup matanya, dan memanggil nama Pandu.
satu nama yang ia panggil yang keluar dari bibir merah Chaira diiringi setetes embun yang terjun dari keindahan permata Chaira..
Tak disangka, ternyata sang elang mengawasi permata itu dari sisinya, dan mengulurkan sehelai kain kehadapannya. Chaira terkejut.
Chaira gugup dengan menghapus sisa-sisa kepedihannya.
Hanya kebisuan yang diterima Rio, ia paham akan Chaira.
Chaira mengalihkan pandangannya, kembali ke depan. Rio menghela nafas, tanggannya mengepal menahan perasaannya dan melanjutkan pembicaraan.
Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang dan alis yang seperti kepakan sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio terdiam dan kembali menatap mata permata itu, pertahanan Chaira hampir runtuh semua.
Chaira tak dapat menahan butiran-butiran air kecil, dan membiarkan terjatuh dari kelopak mawar mata Chaira dadanya seakan terhimpit oleh perasaan kehilangan, nafasnya mulai terengah, dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal.
Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
Rio memberanikan memegang tangan sang bidadari, Chaira lemah tak memberikan perlawanan apapun, dirinya sudah berada dititik lemahnya kini.
Cengkraman tangan sang pemangsa, meruntuhkan segala pertahanan sang bidadari, Raja elang membuka sayapnya lebar-lebar untuk sang bidadari yang telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan pernah melepaskan bidadari hatinya.. (Candrasari, 2012:1-8)

Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari terdapat tiga tipe pencerita yaitu wicara yang dilaporkan, wicara yang dialihkan, dan wicara yang dinarasikan. Namun dalam ketiga wicara tersebut terdapat yang paling menonjol yakni wicara yang dinarasikan. Kemungkinan besar penulis memilih wicara yang dinarasikan agar ia lebih bebas berekspresi untuk mendeskripsikan cerita lebih mendalam. Terbukti dari penggalan-penggalan teks yang dinarasikan lebih banyak dibandingkan dengan penggalan teks yang dilaporkan dan dialihkan.

4.2  Kala/Waktu
a.       Waktu dunia yang digambarkan (tataran peristiwa/cerita)
Waktu dunia yang digambarkan (tataran peristiwa/cerita) dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari yakni sebagai berikut:
-          Malam hari, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. (Candrasari, 2012:1)

-          Malam hari, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Pandu meninggalkan Chaira secara tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira. (Candrasari, 2012:3)

-          Malam ini, ditengah keheningan malam yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari. (Candrasari, 2012:3)
                                                                               
-          Malam ini, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Malam ini, mata Rio enggan untuk terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya. Entah apa yang merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya. (Candrasari, 2012:5)

-          Pagi hari, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu. (Candrasari, 2012;7)

b.      Waktu wacana yang menggambarkan (tataran penceritaan)
Waktu wacana yang menggambarkan (tataran penceritaan) dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari yakni sebagai berikut:
-          Siang hari, tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
“Chairaa..” sapa laki-laki yang mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan, perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.” Ungkapan hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio menghampiri dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak. Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan. (Candrasari, 2012:4-5)
-          Esoknya, pagi hari. Tergambar dalam penggalan kata-kata berikut:
Esoknya matahari menerikkan semangat ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya, dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. (Candrasari, 2012:6)

4.3  Sudut Pandang
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari, menggunakan sudut pandang dia-an mahatahu, maksudnya disini si pencerita seolah dapat mengetahui semua yang terjadi dengan si tokoh. Ia seolah mengetahui apa yang akan terjadi dengan si tokoh, apa yang akan diucapkan si tokoh, bagaimana perasaan si tokoh, bahkan keadaan bathin dan kejiwaan si tokoh. Selain itu, ia tidak ikut berperan dalam cerita, ia hanya sebagai pengamat tetapi pengamat yang mahatahu. Hal ini tergambar dalam penggalan teks berikut:
Tak ia sangka malam yang ia kira akan menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai memberi kejutan yang teramat tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan darah segar. Suara-suara anjing-anjing itu masih saja mengganggu haru birunya Chaira, menambah suasana mencekam di dalam kamarnya.
Suara diseberang sana mampu menghilangkan setengah kewarasannya dan mengganti rasa deg-degkan berharapnya itu dengan deg-degkan tak karuan nafasnya seakan berhenti sejenak.
Kamar dimana ia berdiri dan menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan airmata dan bertekuk lutut.
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini.
Malam itu terlalu pekat untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya terus membasahi pipi mulus Chaira..
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
“Siapa yang bisa menggantikannya, Tuhan ?” Sahut suara hati Chaira yang semakin membuat dia lelah bertanya dan ia takkan menemukan jawabannya sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis..
Setahun, setelah ia sadar dirinya tak mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku .” Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat, mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka. (Candrasari, 2012:1-2)


5.      Simpulan
Cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari di dalam analisis alur dan pengaluran memiliki fungsi utama kurang lebih 34 fungsi utama dan memiliki sekuen kurang lebih 62 sekuen, yang di dominasi dengan sekuen linear dan ingatan.
Analisis tokoh dan latar di dalam cerpen ini memiliki enam tokoh yakni Chaira, Rio, Raisha, Sabrina, Pandu, dan Alvin, sedangkan latar di dalam cerpen ini sangat beragam yakni terdapat latar waktu , latar tempat dan latar ruang.
Analisis gaya penceritaan di dalam cerpen ini meliputi modus yang dibagi menjadi dua yaitu jenis penceritaan yang menggunakan pencerita ekstern, dan tipe pencerita menggunakan wicara yang dilaporkan, wicara yang dialihkan, dan wicara yang dinarasikan, namun secara keseluruhan tipe pencerita ini di dominasi oleh wicara yang dinarasikan. Selain modus, di dalam analisis gaya penceritaan juga membahas tentang kala/waktu yang meliputi waktu dunia yang digambarkan (tataran peristiwa/cerita), dan waktu wacana yang menggambarkan (tataran penceritaan), namun kala/waktu ini lebih di domonasi oleh waktu dunia yang digambarkan (tataran peristiwa/cerita). Sudut pandang di dalam analisis gaya penceritaan terhadap cerpen ini menggunakan sudut pandang dia-an maha tahu.
Cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari ini cocok untuk dibaca oleh kalangan remaja karena menceritakan tentang kisah cinta anak muda, dengan disisipi kisah haru dan romantis. Dari segi bahasa, cerpen ini menggunakan bahasa yang sedikit puitis namun masih mudah untuk dipahami. Selain itu, bahasa dialog antar tokoh di dalam cerpen ini menggunakan ragam bahasa tidak baku/menggunakan bahasa sehari-hari sehingga akan lebih memudahkan remaja untuk membaca cerpen ini.

DAFTAR PUSTAKA

Candrasari, Dinda. 2012. Elegi Sang Permata. http://www.lokerseni.web.id/2012/04/cerpen-romantis-terbaru-elegi-sang.html#ixzz26unTZUiK (19 September 2012)


B.       Kajian Psikoanalisis dalam Cerpen “Elegi Sang Permata” Karya Dinda Candrasari
1.      Pendahuluan
Kajian Sastra (Aminuddin,1995:39) ialah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antar unsur dalam karya sastra bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu. Dalam mengkaji sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan pengkajian seperti kajian struktural, struktural genetik, semiotik, sosiologi sastra, dekonstruksi, psikoanalisis, feminisme, intertekstual.
Cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari ini akan dikaji dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis karena di dalam cerpen ini lebih condong menceritakan mengenai keadaan kejiwaan tokoh. Psikoanalisis melihat perilaku orang itu diakibatkan adanya semacam dorongan yang terpendam dalam diri seseorang karena suatu pengalaman yang dialaminya. Oleh karena itu, penulis memilih menggunakan pendekatan psikoanalisis dalam mengkaji cerpen tersebut.

2.      Psikoanalisis
Psikoanalisis ditemukan di Wina, Austria, oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis merupakan salah satu aliran di dalam disiplin ilmu psikologi yang memilik beberapa definisi dan sebutan, Adakalanya psikoanalisis didefinisikan sebagai metode penelitian, sebagai teknik penyembuhan dan juga sebagai pengetahuan psikologi.
Psikoanalisis menurut definisi modern yaitu (1) Psikoanalisis adalah pengetahuan psikologi yang menekankan pada dinamika, faktor-faktor psikis yang menentukan perilaku manusia, serta pentingnya pengalaman masa kanak-kanak dalam membentuk kepribadian masa dewasa, (2) Psikoanalisis adalah teknik yang khusus menyelidiki aktivitas ketidaksadaran (bawah sadar), (3) Psikoanalisis adalah metode interpretasi dan penyembuhan gangguan mental.
Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang sastra.
Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Nyoman Kutha Ratna (2007) mengatakan bahwa psikologi sastra seharusnya memberikan prioritas pada sastra bukan pada psikologi. Psikologi sastra juga merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia. Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut psikologi. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang, dan pembaca atau kepada teks itu sendiri (Dick Hartoko dan B. Rahmanto, 1989: 126).
Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi ( The Interpretation of Dreams ) danThree Contributions to A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori Seks dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme(pergaulan kaku).Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan(madness) dari tingkat neurotik sampai psikosis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia berbeda dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun, pengarang tidak sekedar mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra.(Psikoanalisis Sastra).
Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen di luar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan (fissure), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya. Tokoh-tokoh dalam pendekatan Psikoanalisis Sastra, yaitu sebagai berikut:
a)    Sigmund Freud
b)   T.S Elliot
c)    Carl.G.Jung
d)   Ribot, psikolog Perancis
e)    L.Russu
f)    Wordsworth yang menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang puisi.

3.      Aspek Bawah Sadar Manusia
Sigmund Freud (1856 – 1939) adalah seorang Austria keturunan Yahudi dan pendiri aliran psikoanalisis dalam psikologi. Nama asli Freud adalah Sigismund Scholomo. Namun sejak menjadi mahasiswa Freud tidak mau menggunakan nama itu karena kata Sigismund adalah bentukan kata Sigmund. Freud lahir pada 6 Mei 1856 di Freiberg, Moravia. Saat itu Moravia merupakan bagian dari kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang Cekoslowakia). Pada usia empat tahun Freud dibawa hijrah ke Wina, Austria (Berry, 2001:3). Kedatangan Freud berbarengan dengan ramainya teori The Origin of Species karya Charles Darwin (Hall, 2000:1).
Psikoanalisis bermula dari keraguan Freud terhadap kedokteran. Pada saat itu kedokteran dipercaya bisa menyembuhkan semua penyakit, termasuk histeria yang sangat menggejala di Wina (Freud, terj.,1991:4). Pengaruh Jean-Martin Charcot, neurolog Prancis, yang menunjukkan adanya faktor psikis yang menyebabkan histeria mendukung pula keraguan Freud pada kedokteran (Berry, 2001:15). Sejak itu Freud dan doktor Josef Breuer menyelidiki penyebab histeria. Pasien yang menjadi subjek penyelidikannya adalah Anna O. Selama penyelidikan, Freud melihat ketidakruntutan keterangan yang disampaikan oleh Anna O. Seperti ada yang terbelah dari kepribadian Anna O. Penyelidikan-penyelidikan itu yang membawa Freud pada kesimpulan struktur psikis manusia: id, ego, superego dan ketidaksadaran, prasadar, dan kesadaran.
Freud menjadikan prinsip ini untuk menjelaskan segala yang terjadi pada manusia, antara lain mimpi. Menurut Freud, mimpi adalah bentuk penyaluran dorongan yang tidak disadari. Dalam keadaan sadar orang sering merepresi keinginan-keinginannya. Karena tidak bisa tersalurkan pada keadaan sadar, maka keinginan itu mengaktualisasikan diri pada saat tidur, ketika kontrol ego lemah.
Menurut Freud, kehidupan jiwa memiliki tiga tingkatan kesadaran, yakni sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tak-sadar (unconscious). Dalam pandangan Freud, semua perilaku manusia baik yang nampak (gerakan otot) maupun yang tersembunyi (pikiran) adalah disebabkan oleh peristiwa mental sebelumnya. Terdapat peristiwa mental yang kita sadari dan tidak kita sadari namun bisa kita akses (preconscious) dan ada yang sulit kita bawa ke alam tidak sadar (unconscious). Unconscious adalah yang paling dominan dan paling penting dalam menentukan perilaku manusia (analoginya dengan gunung es). Di dalam unconscious tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan insting.
Preconscious berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau ide yang dapat diakses kapan saja. Conscious hanyalah bagian kecil dari mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas.
Konsep dari teori Freud yang paling terkenal adalah tentang adanya alam bawah sadar yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Selain itu, dia juga memberikan pernyataan pada awalnya bahwa prilaku manusia didasari pada hasrat seksualitas pada awalnya (eros) yang pada awalnya dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya.
Pengalaman seksual dari ibu, seperti menyusui, selanjutnya mengalami perkembangannya atau tersublimasi hingga memunculkan berbagai prilaku lain yang disesuaikan dengan aturan norma masyarakat atau norma Ayah. Namun dalam perjalanannya setelah kolega kerjanya Alferd Adler, mengungkapkan adanya insting mati di dalam diri manusia, walaupun Freud pada awalnya menolak pernyataan Adler tersebut dengan menyangkalnya habis-habisan, namun pada akhirnya Freudpun mensejajarkan atau tidak menunggalkan insting seksual saja yang ada di dalam diri manusia, namun disandingkan dengan insting mati (Thanatos). Walaupun begitu dia tidak pernah menyinggung asal teori tersebut sebetulnya dikemukakan oleh Adler awal mulanya.
Freud tertarik dan belajar hipnotis di Perancis, lalu menggunakannya untuk membantu penderita penyakit mental. Freud kemudian meninggalkan hipnotis setelah ia berhasil menggunakan metode baru untuk menyembuhkan penderita tekanan psikologis yaitu asosiasi bebas dan analisis mimpi. Dasar terciptanya metode tersebut adalah dari konsep alam bawah sadar, asosiasi bebas adalah metode yang digunakan untuk mengungkap masalah-masalah yang ditekan oleh diri seseorang namun terus mendorong keluar secara tidak disadari hingga menimbulkan permasalahan. Sedangkan analisis mimpi, digunakan oleh Freud dari pemahamannya bahwa mimpi merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap alam sadar, pesan-pesan ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam aktivitas emosi lain, hingga aktivitas emosi yang sama sekali tidak disadari. Sehingga metode analisis mimpi dapat digunakan untuk mengungkap pesan bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa hasrat, ketakutan, kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan oleh seseorang. Ketika hal masalah-masalah alam bawah sadar ini telah berhasil di-ungkap, maka untuk penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah untuk diselesaikan.
Freud mengembangkan konsep struktur mind dengan mengembangkan ‘mind apparatus’ yaitu yang dikenal dengan struktur kepribadian Freud dan menjadi konstruknya yang terpenting, yaitu id, ego dan super ego.
Id merupakan struktur kepribadian paling primitif dan berhubungan dengan prinsip mencari kesenangan semata. Ini dapat kita lihat pada fase kanak-kanak seseorang. Id banyak berhubungan dengan nafsu semena-mena yang tidak sanggup membedakan realitas dan khayalan. Ialah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera.
Ego berkembang dari id, Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety). Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif/pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam. Ego merupakan kelanjutan upaya mencari kesenangan, tetapi sudah dirangkai dengan keharusan tunduk pada realitas dan tak bisa semena-mena lagi. Fase ini dapat dilihat ketika seorang anak mulai mengenal berbagai aturan sosial dan terpaksa mengekang nafsu pemuasan dirinya yang bersifat semena-mena.
Superego berisi kaidah moral dan nilai-nilai sosial yang diserap individu dari lingkungannya. Struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntutan moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Berbeda dengan ego yang berpegang pada prinsip realitas, superego yang memungkinkan manusia memiliki pengendalian diri selalu akan menuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Tahapan ini seiring dengan kedewasaan seorang individu. Berhubungan dengan alam tak sadar dan alam sadar, id terletak pada bagian pertama sedang yang lain meliputi keduanya.
Sebagai contoh adalah berikut ini: Anda adalah seorang bendahara yang diserahi mengelola uang sebesar 1 miliar Rupiah tunai. Id mengatakan pada Anda: “Pakai saja uang itu sebagian, toh tak ada yang tahu!”. Sedangkan ego berkata:”Cek dulu, jangan-jangan nanti ada yang tahu!”. Sementara superego menegur:”Jangan lakukan!”.
Pada masa kanak-kanak kita dikendalikan sepenuhnya oleh id, dan pada tahap ini oleh Freud disebut sebagai primary process thinking. Anak-anak akan mencari pengganti jika tidak menemukan yang dapat memuaskan kebutuhannya (bayi akan mengisap jempolnya jika tidak mendapat dot misalnya).
Sedangkan ego akan lebih berkembang pada masa kanak-kanak yang lebih tua dan pada orang dewasa. Di sini disebut sebagai tahap secondary process thinking. Manusia sudah dapat menangguhkan pemuasan keinginannya (sikap untuk memilih tidak jajan demi ingin menabung misalnya). Walau begitu kadangkala pada orang dewasa muncul sikap seperti primary process thnking, yaitu mencari pengganti pemuas keinginan (menendang tong sampah karena merasa jengkel akibat dimarahi bos di kantor misalnya).
Proses pertama adalah apa yang dinamakan EQ (emotional quotient), sedangkan proses kedua adalah IQ (intelligence quotient) dan proses ketiga adalah SQ (spiritual quotient).

4.      Aspek Bawah Sadar Tokoh dalam Cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari
4.1  Sinopsis
Chaira, seorang gadis yang sangat cantik. Ia memiliki kekasih bernama Pandu, namun naas ketika ia berulang tahun Pandu mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Chaira histeris, dan hal itu membuat Chaira shock sehingga ia berubah menjadi gadis yang pendiam. Bahkan ia seolah menjadi mayat hidup, tak pernah sedikitpun ia menyunggingkan senyuman yang tulus dari bibirnya.
Setahun berlalu, Chaira mulai menjalani hidupnya seperti biasa. Hanya dengan belajar ia bisa mencoba melupakan kenangan buruknya setahun lalu, tetapi ia masih saja bersikap dingin terhadap siapapun.
Kedua sahabatnya Raisha dan Sabrina sering mengingatkan Chaira dan berusaha membantu sahabatnya agar bangkit untuk melanjutkan hidupnya. Namun semua usahanya nihil.
Pada suatu hari, Sabrina mengajak Chaira untuk pergi ke Mall tapi Chaira menolak ia malah ingin pergi ke makam kekasihnya Pandu. Lama ia tinggal di makam itu, dan merenung. Namun Sabrina mengajaknya pulang dengan setengah memaksa. Malam harinya Chaira masih larut dalam kesedihan dan menumpahkan semua dalam buku diary melalui goresan tangannya.
Keesokan harinya, tiba-tiba seseorang menyapa Chaira. Ia adalah Rio, seorang pemuda yang sudah sejak lama menyukainya. Ia mengembalikan sebuah liontin kepada Chaira pemberian Pandu yang jatuh, Rio merasakan jantungnya berdebar tak karuan. Malam harinya ia masih termenung, memikirkan sosok bidadari yang telah merebut hatinya.
Ketika ia menangkap sosok Rio secara utuh di kantin, Chaira tiba-tiba saja merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya. Hal itu sontak membuat kedua sahabatnya senang sekaligus tak mengerti dengan perubahan Chaira.
Pagi yang indah, ketika Chaira membuka kedua matanya. Tiba-tiba handphonenya berbunyi dengan sangat keras, telpon dari nomor tidak bernama. Chaira mengangkat telpon itu, ia shock ketika mendengar suara yang tidak asing ditelinganya. Suara Pandu, Chaira histeris dan menangis.
Chaira memutuskan untuk pergi ke Taman Kota tempat favoritnya bersama Pandu. Lama ia menangis, dan termenung mengingat Pandu. Tanpa disangka, Rio memperhatikannya dari kejauhan dan menghampirinya memberikan sapu tangan untuk menghapus airmatanya. Chaira terkejut, dan sontak menghapus airmatanya. Rio duduk disamping Chaira, berusaha mengungkapkan isi hatinya kepada Chaira. Kata-kata Rio akhirnya meluluhkan Chaira, ia pun jatuh kedalam pelukan Rio.

4.2  Aspek Bawah Sadar Tokoh Chaira
a.       Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Id dalam tokoh Chaira di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini. Malam itu terlalu pekat untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
“Siapa yang bisa menggantikannya, Tuhan ?” Sahut suara hati Chaira yang semakin membuat dia lelah bertanya dan ia takkan menemukan jawabannya sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis.. (Candrasari, 2012:1)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, dapat diketahui bahwa Chaira mulai kehilangan kesadarannya. Ia tidak dapat membedakan mana realitas dan mana khayalan. Ia bertanya kepada Tuhan berulang kali yang secara logika tidak mungkin menjawab pertanyaan tersebut. Mana mungkin manusia biasa yang tidak memiliki kelebihan seperti nabi dapat berbicara dengan Tuhan, itu merupakan hal yang mustahil. Oleh karena itu, penggalan teks di atas menunjukan bahwa Chaira tidak dapat membedakan mana realitas dan mana khayalan.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka. (Candrasari, 2012:2)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, dapat diketahui bahwa id membuat Chaira bersikap acuh terhadap orang lain terutama laki-laki. Ia lebih memilih untuk menutup hidupnya dari orang lain semenjak kematian Pandu. Ia tidak dapat menbedakan mana realitas dan mana khayalan. Ia masih terkungkung oleh bayangan Pandu kekasih yang sangat dicintainya. Ia tidak dapat melanjutkan hidupnya dengan normal seutuhnya.
“Ra, mau sampai kapan lo tutup kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh ombak laut menerjang dirinya kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur menjadi pecahan-pecahan permata yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan bahunya dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.” (Candrasari, 2012:2)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, Chaira masih belum mampu untuk melupakan tragedi kematian Pandu setahun yang lalu di malam pesta ulang tahunnya. Ia masih bersikap dingin dan acuh terhadap orang lain, bahkan ia tidak pernah memberikan senyuman yang tulus dari bibirnya. Ia bertindak semena-mena karena hanya memikirkan kesenangannya sendiri dengan terus menerus mengingat Pandu tanpa perduli dengan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak perduli dengan nasihat-nasihat dari sahabatnya agar ia dapat kembali hidup dengan normal. Chaira tidak dapat membedakan mana realitas dan mana khayalan. Ia hanya dapat terpuruk dalam kesedihan yang semakin membuatnya lupa dengan dunia nyata tempat ia hidup kini.
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat kembali dari sorot mata indah Chaira.
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira. (Candrasari, 2012:3)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, id dalam tokoh Chaira masih sangat kuat. Ia masih tidak dapat membedakan mana realitas dan khayalan karena ia masih dengan setia mengenang Pandu. Ia mementingkan kesenangannya sendiri untuk menyendiri dibandingkan bergaul dengan orang lain. Ia tidak bisa mengenal dunia nyata, ia lebih memilih pergi ke tempat yang sepi yakni pergi ke makam Pandu untuk mengenang Pandu. Ia tidak perduli dengan ajakan Sabrina sahabatnya untuk mengenal kembali dunia nyata.
Chaira terus saja mengelus liontinnya, karna hanya itu yang tersisa dari masa lalunya.
Pandu laki-laki itu yang memberikan liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu meninggalkan Chaira secara tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira. (Candrasari, 2012:3)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, id dalam tokoh Chaira membuat Chaira terus menerus mengenang Pandu. Chaira masih dengan setia mencintai Pandu tanpa perduli bahwa dunia Pandu sudah berbeda dengan dunianya. Ia tidak dapat membuka hatinya untuk laki-laki lain, padahal kematian Pandu sudah mencapai usia satu tahun. Ia tidak dapat membedakan realitas dan khayalan.
“Tuhan, aku berbicara denganMu lagi, aku merasakan beda. Apa aku?” Chaira berbicara dengan dirinya di depan cermin, dengan sesekali merapikan rambutnya yang terurai dengan jari-jari laksana bidadari dari langit ke-tujuh, pikirnya terbang kebayangan sang elang membuat jantungnya berdetak tak karuan. (Candrasari, 2012:6)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, Id di dalam tokoh Chaira memaksa Chaira untuk mencari kesenangannya sendiri dengan berkaca di cermin dan berhias diri karena hatinya yang sedang berbunga. Tetapi disini Chaira tidak dapat membedakan mana realitas dan khayalan. Ia seolah berbicara dengan Tuhan padahal secara logika manusia biasa tidak mungkin dapat berbicara dengan Tuhan, kecuali Nabi yang diberi mukjizat oleh Tuhan.

b.      Ego (insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Ego dalam tokoh Chaira di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
Setahun, setelah ia sadar dirinya tak mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku .” Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti. (Candrasari, 2012:1-2)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, ego mulai muncul dimana Chaira harus tunduk pada realitas dan tidak bisa semena-mena lagi. Ia tidak bisa terus menerus larut dalam kesedihan akibat kematian Pandu kekasihnya. Meskipun sebenarnya id mengalahkan ego dan superego selama satu tahun, Chaira tidak dapat membedakan realitas dan khayalan selama satu tahun. ia terpuruk dalam kesedihan hingga akhirnya ego berhasil mengalahkan id meskipun tidak sepenuhnya. Di sini ego berhasil membuat Chaira kembali melanjutkan hidupnya dengan cara menuntut ilmu. Senyuman-senyuman dengan susah payah berusaha ia ciptakan bersama kedua sahabatnya dengan harapan senyuman itu akan membawa kebahagiaan kelak.
Tertumpuk sudahlah perasaan yang menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata dan imajinasinya. (Candrasari, 2012:2)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, meskipun Chaira harus tunduk pada realitas dan tidak dapat semena-mena lagi tetapi ia masih saja terpuruk dalam kesedihan. Ia sudah mulai melanjutkan hidupnya dengan cara menuntut ilmu. Namun, hanya sebatas belajar karena ia masih belum bisa membuka hidupnya untuk orang lain. Ia masih menjadi gadis yang rapuh, dan enggan untuk kembali menjalin hubungan dengan laki-laki.
“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali bersandar pada masanya bersama Pandu.
“Iya, gue tau kok Bi, tapi ..” Chaira tak punya banyak kekuatan untuk meneruskan kata demi katanya, ia hanya sanggup untuk melepaskan lelahnya dengan memejamkan mata dan susah payah menelan ludahnya dan dihinggapi perasaan yang sesak.
Ketika ia membuka mata, permatanya langsung terperangkap oleh incaran sang elang dari kejauhan sana.
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari sosok yang membuat temannya itu terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.” Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui, semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:5-6)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, menunjukkan bahwa ego memaksa Chaira untuk tidak semena-mena lagi dan harus tunduk pada realitas. Sekarang ego dimana keinginan Chaira untuk bangkit dan mulai melanjutkan hidupnya didukung oleh hatinya yang mulai berdebar ketika ia saling berpandangan dengan Rio. Ia merasakan bahwa ia mulai jatuh cinta kepada Rio. Chaira mulai berfikir dengan jernih meskipun bayangan Pandu masih mengganggu pikirannya.

c.       Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam tokoh Chaira di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
Tak disangka, ternyata sang elang mengawasi permata itu dari sisinya, dan mengulurkan sehelai kain kehadapannya. Chaira terkejut.
“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang diterima Rio, ia paham akan Chaira.
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira mengalihkan pandangannya, kembali ke depan. Rio menghela nafas, tanggannya mengepal menahan perasaannya dan melanjutkan pembicaraan.
“Aku tau kamu disini dari Raisha, setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini tempat favorit kamu dulu sama....” Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang dan alis yang seperti kepakan sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio terdiam dan kembali menatap mata permata itu, pertahanan Chaira hampir runtuh semua.
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan permata yang hilang dari kehidupan kamu, dan aku ingin mengembalikan permata yang hilang itu dan memilikinya dengan semua keindahan yang kamu punya.” Chaira tak dapat menahan butiran-butiran air kecil, dan membiarkan terjatuh dari kelopak mawar mata Chaira dadanya seakan terhimpit oleh perasaan kehilangan, nafasnya mulai terengah, dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal.
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang tangan sang bidadari, Chaira lemah tak memberikan perlawanan apapun, dirinya sudah berada dititik lemahnya kini.
Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku ngebalikin permata itu kembali bersinar dimata kamu, mata kamu udah terlalu lelah untuk menangis..”
Cengkraman tangan sang pemangsa, meruntuhkan segala pertahanan sang bidadari, Raja elang membuka sayapnya lebar-lebar untuk sang bidadari yang telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan pernah melepaskan bidadari hatinya.. (Candrasari, 2012:7-8)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, Chaira memiliki superego dimana ia luluh dan akhirnya menerima Rio untuk mengisi ruang di hatinya yang beku. Ia sepenuhnya sadar bahwa ia harus membuka hatinya untuk laki-laki lain karena dunianya dengan dunia Pandu sudah berbeda. Pandu hanya untuk dikenang, tetapi bukan berarti ia harus terus menerus larut dalam kesedihan. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali menjalani hidupnya dengan normal, tanpa harus tertekan dengan kejadian setahun silam. Ketulusan Rio meluluhkan hatinya. Superego dalam tokoh Chaira ini membuat Chaira lebih dewasa dan dapat membedakan realitas dan khayalan. Ia pun dapat mengendalikan dirinya untuk tidak terus menerus mengingat Pandu dan kembali hidup dengan normal.

d.      Mimpi
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Mimpi dalam tokoh Chaira digambarkan dalam penggalan teks berikut:
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari.
‘Tuhan, kau kilaukan cahayamu dulu, kini kau redupkan kembali cahaya itu. Aku terus menerjang hantaman ombak yang melangsa. Aku peri kesepian, yang menanti datangnya seorang malaikat disisi. Oh tuhan, mengapa aku begini? Aku terlalu lemah untuk ditinggalkan, kini aku bagaikan mawar hitam bertangkai duka. Aku kehilangan, warasku hampir hilang. Kau rebut cinta dari genggamanku, yang ku lakukan hanya membiarkannya terlepas dariku. Aku tahu KAU maha kuasa atas segala kehidupanku. Aku mengerti betapa kau sayangi ia lebih dari aku menyayanginya. Tapi berikan aku cinta yang seperti cintanya, agar luka yang kau beri mampu menjadi setitik cinta dihati..’
Sepenggal kata yang Chaira ciptakan dibuku hariannya, yang sedikit bisa membantu mengurangi rasa lelahnya tiap senja berganti malam. (Candrasari, 2012:4)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, mimpi dalam tokoh Chaira yakni ingin mendapatkan cinta seperti cinta Pandu. Agar ia dapat melupakan kepergian Pandu dan mulai hidup kembali dengan normal. Mimpi itu ia ungkapkan dalam buku hariannya, dan dengan harapan itu Chaira dapat sedikit mengobati luka hatinya setiap hari berganti malam.
Esoknya matahari menerikkan semangat ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya, dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. Handphone-nya berdering dengan nyaring, mendobrak pendengaran telinga dan penglihatannya. Permata yang tersembunyi dari matanya menyilaukan pagi. Ia melihat nomer yang muncul dari benda kecilnya, belum ada nama. Dengan perlahan ia membuka pembicaraan.
“Halo.” Sejenak terhening, tak ada balasan suara dari seberang sana. Sekali lagi Chaira mengucapkan satu kata tadi. Hanya terdengar suara desahan nafas dan suara gemetar yang membuat jantung Chaira jadi berdegup cepat.
“Chaira..” Suara lembut yang terdengar samar-samar.
Chaira terperangkap suara itu, matanya terbelalak. Dan seketika itu handphone-nya kembali normal kembali. Chaira masih menggenggam handphone-nya erat-erat dan ia merasa tidak asing mendengar suara itu.
“Ga mungkin dia kembali, dia udah pergi selamanya. Ga munggkkkkiiiiiiiiiinnnn!!!”
Chaira shock, dia menutup mukanya dengan tangan lembutnya yang seketika mendingin, dan membanjiri tangannya dengan linangan airmata. Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
Setelah setengah jam ia duduk melihat kumpulan air yang menggenang luas didepannya, sesekali hanya melempar kerikil kecil ke genangan itu. Seketika ia merasakan sesuatu yang tak seperti biasanya, rambutnya melayang karna hembusan angin dingin yang menghenyapkan.
Terdengar sayup-sayup suara lembut dan terdengar sebuah lantunan dawai gitar yang mengalun telinga Chaira, Chaira teringat ucapan Pandu setahun silam. Dengan perlahan Chaira menutup matanya, dan memanggil nama Pandu.
“Saat dunia tak mampu bertahan, cintaku akan selalu bersamamu. Teruskanlah hidupmu Chaira, karna aku disisimu, hingga kau mendapatkan cinta yang sebenarnya cinta. Dan jika kau rindu aku pejamkan matamu dan panggil namaku, I’ll be there for you my angle.” Bisikan lembut yang mengiris seluruh kesedihannya, dan satu kecupan yang indah. Chaira membuka matanya perlahan dengan seluruh genangan airmata.
“Pandu..” satu nama yang ia panggil yang keluar dari bibir merah Chaira diiringi setetes embun yang terjun dari keindahan permata Chaira.. (Candrasari, 2012:6-7)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Chaira selalu di hantui mimpi tentang ketakutan melihat masa depannya karena ia masih dibayangi sosok Pandu kekasih yang telah meninggalkannya secara tragis di malam pesta ulang tahunnya setahun yang lalu. Ia masih belum dapat melupakan kejadian itu dan belum dapat menghapus nama Pandu di hatinya. Ketika ia mulai mendapatkan keberanian untuk kembali jatuh cinta, tiba-tiba saja ada seseorang yang menelponnya dan terdengar jelas di telinganya bahwa itu suara Pandu. Chaira histeris dan kembali mengingat masa lalunya dengan Pandu. Ia pun memutuskan untuk pergi mengunjungi taman kota tempat favoritnya bersama Pandu dulu, disana ia kembali mengenang Pandu. Ia pun mulai menangis. Disini sangat jelas bahwa ketakutan akan kehilangan Pandu masih melekat di hati Chaira, meskipun sebenarnya ia sudah kehilangan Pandu sejak setahun yang lalu. Bayangan akan masa lalunya masih menghantui hati dan perasaannya.

4.3  Aspek Bawah Sadar Tokoh Rio
a.       Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Id dalam tokoh Rio di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Chairaa..” sapa laki-laki yang mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan, perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.” Ungkapan hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio menghampiri dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak.
Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan. (Candrasari, 2012:4-5)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, Id dalam tokoh Rio menunjukan bahwa Rio tidak dapat membedakan mana realitas dan khayalan. Ia terpaku akan sosok Chaira yang menggetarkan hatinya, sehingga ia seolah-olah berbicara dengan Tuhan. Padahal secara logika, mana mungkin manusia biasa dapat berbicara dengan Tuhan kecuali Nabi yang memang mendapat mukjizat dari Tuhan. Selain itu Rio hanya mementingkan kesenangannya sendiri karena ia terus menerus terpaku oleh Chaira yang memikat hatinya tanpa perduli Alvin memanggilnya karena ia melamun. Namun akhirnya Rio tersadar dari lamunannya. Sayang ia kembali tidak dapat membedakan mana realitas dan khayalan karena ia menganggap Chaira seorang bidadari. Saking terpana melihat kecantikan Chaira.

b.      Ego (insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari tokoh Rio tidak ditemukan aspek Ego yang digambarkan.

c.       Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam tokoh Rio di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
Tak disangka, ternyata sang elang mengawasi permata itu dari sisinya, dan mengulurkan sehelai kain kehadapannya. Chaira terkejut.
“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang diterima Rio, ia paham akan Chaira.
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira mengalihkan pandangannya, kembali ke depan. Rio menghela nafas, tanggannya mengepal menahan perasaannya dan melanjutkan pembicaraan.
“Aku tau kamu disini dari Raisha, setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini tempat favorit kamu dulu sama....” Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang dan alis yang seperti kepakan sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio terdiam dan kembali menatap mata permata itu, pertahanan Chaira hampir runtuh semua.
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan permata yang hilang dari kehidupan kamu, dan aku ingin mengembalikan permata yang hilang itu dan memilikinya dengan semua keindahan yang kamu punya.” Chaira tak dapat menahan butiran-butiran air kecil, dan membiarkan terjatuh dari kelopak mawar mata Chaira dadanya seakan terhimpit oleh perasaan kehilangan, nafasnya mulai terengah, dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal.
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang tangan sang bidadari, Chaira lemah tak memberikan perlawanan apapun, dirinya sudah berada dititik lemahnya kini.
Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku ngebalikin permata itu kembali bersinar dimata kamu, mata kamu udah terlalu lelah untuk menangis..”
Cengkraman tangan sang pemangsa, meruntuhkan segala pertahanan sang bidadari, Raja elang membuka sayapnya lebar-lebar untuk sang bidadari yang telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan pernah melepaskan bidadari hatinya.. (Candrasari, 2012:7-8)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Rio memiliki superego dimana ia sangat mencintai dan menyayangi Chaira. Ia ingin Chaira untuk bangkit dan tidak terlarut dalam kesedihan. Ia dengan hati yang tulus berusaha menjadi laki-laki yang terbaik untuk Chaira. Ia berusaha membuka mata Chaira untuk kembali menata hidupnya, dan berusaha agar air mata Chaira tidak kembali mengalir. Disini Rio dapat mengendalikan dirinya dan bersikap dewasa.

d.      Mimpi
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Mimpi dalam tokoh Rio digambarkan dalam penggalan teks berikut:
Malam ini, mata Rio enggan untuk terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
Hatinya telah tergoda kepada sosok Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.
“Tuhan, aku mulai jatuh cinta.” Kalimat yang mewakili dari seluruh perasaan senangnya bersentuh tangan dengan si gunung es yang membekukan dirinya dibawah teriknya matahari tadi.
Chaira Chaira, permata yang kehilangan kilauannya.. Sosok gadis yang mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba meraih setiap asa yang pernah pupus, dan sosok yang menjadi bisu. (Candrasari, 2012:5)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, Mimpi dalam tokoh Rio ialah ingin memiliki Chaira. Ia berharap Chaira akan membalas cintanya. Setiap malam ia berangan-angan tentang Chaira, ia telah tergoda dengan sikap Chaira yang acuh dan dingin terhadap lawan jenis. Sebenarnya Rio telah menyukai Chaira sejak lama, tetapi perasaannya begitu berbeda ketika ia mengembalikan liontin milik Chaira. Sejak saat itu Rio selalu mengintai Chaira dari kejauhan, memperhatikan setiap gerak gerik yang Chaira lakukan. Berharap suatu saat ia dapat memiliki Chaira.

4.4  Aspek Bawah Sadar Tokoh Raisha
a.       Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Raisha tidak ditemukan aspek Id yang digambarkan.

b.      Ego (insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Raisha tidak ditemukan aspek Ego yang di gambarkan.

c.       Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam tokoh Raisha di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Ra, mau sampai kapan lo tutup kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh ombak laut menerjang dirinya kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur menjadi pecahan-pecahan permata yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan bahunya dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.” (Candrasari, 2012:2)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Raisha di dalam cerpen ini memiliki superego dimana ia sangat menyayangi sahabatnya Chaira. Ia berusaha menyadarkan Chaira untuk kembali hidup dengan normal. Ia tak pernah berhenti berusaha membujuk Chaira, tetapi tidak dengan cara memaksa. Terbukti dari penggalan teks di atas, ia menyadari ia tidak dapat memaksa Chaira, dan ia pun tahu bagaimana perasaan Chaira sehingga akhirnya iapun meminta maaf kepada Chaira.
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari sosok yang membuat temannya itu terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.” Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui, semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:6)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Raisha dalam cerpen ini memiliki superego dimana ia sangat perhatian dan perduli terhadap sahabatnya Chaira. Ia sangat bahagia ketika mengetahui Chaira mulai jatuh cinta, dan akhirnya tahu siapa yang membuat Chaira jatuh cinta yakni Rio.



d.      Mimpi
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Raisha tidak ditemukan aspek mimpi yang di gambarkan.

4.5  Aspek Bawah Sadar Tokoh Sabrina
a.       Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Sabrina tidak ditemukan aspek Id yang di gambarkan.

b.      Ego (insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Sabrina tidak ditemukan aspek Ego yang di gambarkan.

c.       Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam tokoh Sabrina di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat kembali dari sorot mata indah Chaira.
“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira. (Candrasari, 2012:3)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Sabrina memiliki superego dimana ia sangat menyayangi sahabatnya Chaira. Ia selalu berusaha mengajak Chaira untuk kembali mengenal dunia nyata, tetapi sayang ia masih belum bisa membuat Chaira sadar. Meskipun ia berusaha keras untuk membuat Chaira kembali hidup normal namun ia masih menghargai Chaira terbukti ia tidak memaksakan kehendaknya. Ketika Chaira lebih memilih untuk pergi ke tempat yang sepi yakni makam Pandu, Sabrina dengan senang hati mengantarnya. Meskipun pada akhirnya ia menarik Chaira untuk pulang karena cuaca seperti akan hujan.
“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali bersandar pada masanya bersama Pandu.
“Iya, gue tau kok Bi, tapi ..” Chaira tak punya banyak kekuatan untuk meneruskan kata demi katanya, ia hanya sanggup untuk melepaskan lelahnya dengan memejamkan mata dan susah payah menelan ludahnya dan dihinggapi perasaan yang sesak.
Ketika ia membuka mata, permatanya langsung terperangkap oleh incaran sang elang dari kejauhan sana.
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari sosok yang membuat temannya itu terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.” Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui, semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya. (Candrasari, 2012:5-6)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, tokoh Sabrina memiliki superego dimana ia sangat peduli dan menyayangi sahabatnya Chaira. Ia sangat perhatian dengan selalu mengingatkan Chaira untuk sadar dan jangan terlarut dalam kesedihan. Sabrina sangat senang dengan perubahan Chaira ketika Chaira mengungkapkan bahwa jantungnya kembali berdebar karena secara tidak langsung Chaira mulai jatuh cinta. Sabrina pun kembali sangat senang ketika tahu siapa yang membuat sahabatnya kembali jatuh cinta yakni Rio.

d.      Mimpi
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Sabrina tidak ditemukan aspek mimpi yang di gambarkan.


4.6  Aspek Bawah Sadar Tokoh Pandu
a.       Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Pandu tidak ditemukan aspek Id yang di gambarkan karena Pandu merupakan tokoh simbolis yang tidak diceritakan secara hidup di dalam cerpen tersebut.

b.      Ego (insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Pandu tidak ditemukan aspek Ego yang di gambarkan karena Pandu merupakan tokoh simbolis yang tidak diceritakan secara hidup di dalam cerpen tersebut.

c.       Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Pandu tidak ditemukan aspek Superego yang di gambarkan karena Pandu merupakan tokoh simbolis yang tidak diceritakan secara hidup di dalam cerpen tersebut.

d.      Mimpi
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Pandu tidak ditemukan aspek mimpi yang di gambarkan karena Pandu merupakan tokoh simbolis yang tidak diceritakan secara hidup di dalam cerpen tersebut.

4.7  Aspek Bawah Sadar Tokoh Alvin
a.       Id
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Alvin tidak ditemukan aspek Id yang di gambarkan.

b.      Ego (insting/intuitif)
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Alvin tidak ditemukan aspek Id yang di gambarkan.

c.       Superego
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari Superego dalam tokoh Alvin di gambarkan dalam penggalan teks berikut:
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan. (Candrasari, 2012:4-5)

Sesuai dengan penggalan teks di atas, Superego dalam tokoh Alvin membuat Alvin menjadi sosok yang baik, perhatian dan peduli terhadap temannya Rio, terbukti ia menyadarkan Rio dalam lamunannya dan bertanya mengapa Rio sampai melamun. Setelah itu ia pun mengingatkan Rio yang lupa bahwa Rio ada mata kuliah dan akan diadakan kuis.

d.      Mimpi
Di dalam cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dalam tokoh Alvin tidak ditemukan aspek mimpi yang di gambarkan.

5.      Simpulan
Cerpen “Elegi Sang Permata” karya Dinda Candrasari dikaji menggunakan pendekatan psikoanalisis. Tokoh di dalam cerpen ini berjumlah enam tokoh yakni dengan tokoh utama Chaira dan Rio, selebihnya merupakan tokoh tambahan yakni Raisha, Sabrina, Alvin dan Pandu. Tetapi disini, tokoh Pandu merupakan tokoh simbolis karena ia tidak benar-benar hadir di dalam teks dan ia hanya diceritakan. Namun, kehadiran tokoh Pandu sangat berpengaruh bagi tokoh utama yakni Chaira karena akibat kematian Pandu lah Chaira berubah menjadi sosok gadi yang acuh dan dingin terhadap hidupnya.
Ada beberapa aspek yang dikaji melalui pendekatan psikoanalisis ini yaitu Id, ego, superego, dan mimpi. Tokoh Chaira di dalam cerpen ini mempunyai seluruh aspek bawah sadar yakni id, ego, superego, dan mimpi. Tokoh Rio di dalam cerpen ini mempunyai aspek bawah sadar yaitu id, superego, dan mimpi. Tokoh-tokoh lainnya dalam cerpen ini hanya memiliki aspek bawah sadar superego kecuali tokoh Pandu yang tidak memiliki aspek apapun di dalam aspek bawah sadar ini karena Pandu hanya sebagai tokoh simbolis.

DAFTAR PUSTAKA
Wellek, Rene dan Austin Warren.1995. Teori Kesusastraan. Terj. Melani Budianta. Jakarta : Gramedia.
Hardjana, Andre. 1981. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta : Gramedia.
Candrasari, Dinda. 2012. Elegi Sang Permata. http://www.lokerseni.web.id/2012/04/cerpen-romantis-terbaru-elegi-sang.html#ixzz26unTZUiK (19 September 2012)
http://rodobodo.blogspot.com/2007/08/psikoanalisis-sastra.html
http://wem.blogspot.com/2005/04/analisis-psikoanalisa-thd-tokoh-saaman.html


Lampiran
ELEGI SANG PERMATA
Cerpen Dinda Candrasari
Tak ia sangka malam yang ia kira akan menjadi yang terindah ternyata menjadi kelabu hidupnya.. Kekasih yang ia cintai memberi kejutan yang teramat tak terlupakan, bukan dengan senyuman melainkan darah segar. Suara-suara anjing-anjing itu masih saja mengganggu haru birunya Chaira, menambah suasana mencekam di dalam kamarnya.
Suara diseberang sana mampu menghilangkan setengah kewarasannya dan mengganti rasa deg-degkan berharapnya itu dengan deg-degkan tak karuan nafasnya seakan berhenti sejenak.
Kamar dimana ia berdiri dan menggenggam handphone-nya menjadi seketika terasing buat Chaira, Chaira tumpahkan airmata dan bertekuk lutut.
“Tuhan, jangan Kau lakukan ini.” Chaira terus saja mencari naungan, menepi dari perasaan yang merobek lebar-lebar hatinya. Pikirannya terampas oleh kekasihnya kini.
Malam itu terlalu pekat untuk Chaira lalui, dia melaju dengan mobilnya.
Di perjalanan, perhatiannya hanya teruju pada sang kekasih yang ia cintai matanya kosong menatap jalan panjang yang ia lalui, hanya sederet kisah bersama kekasihnya yang membuat airmatanya terus membasahi pipi mulus Chaira..
“Bagaimana aku nanti, Tuhan? Adakah cinta sepertinya lagi ku temui?” Seribu pertanyaan hatinya yang tak terjawab. Entah secepat apa ia menginjak gasnya hingga cepat ia sandarkan tubuh mungilnya diatas raga kekasih yang telah membeku. Chaira tak temukan titik kesadarannya, yang ia tahu hanya yang dilihat.. Hampa bagi Chaira, setengah jiwanya ikut melayang.
“Siapa yang bisa menggantikannya, Tuhan ?” Sahut suara hati Chaira yang semakin membuat dia lelah bertanya dan ia takkan menemukan jawabannya sekarang.. Tuhan membiarkan ia menangis..
Setahun, setelah ia sadar dirinya tak mungkin lagi berada di masa lalu.. Chaira melanjutkan waktunya dengan seluruh emosi yang tertahan.
“Aku sanggup, sayang. Kamu adalah aku .” Hanya menuntut ilmu yang ia bisa jadikan kesibukannya kini, hingga ia bisa melupakan sejenak tragedi yang terjadi di ulang tahunnya yang menjadi kelabu kemarin. Waktu masih memberikan peluang untuk kehidupan Chaira, senyuman demi senyuman dengan susah payah Chaira ciptakan bersama kedua sahabatnya.
Chaira mencoba menjadikan senyuman kecilnya menjadi senyuman yang besar menuju kebahagiannya nanti.
“Chairaa..” Salah satu teman laki-laki se-fakultasnya memanggil, laki-laki itu berpostur tinggi kuning langsat, mata-matanya seperti elang yang sedang membidik mangsanya, alis-alisnya seperti kepakan sayap malaikat, otaknya yang seperti emas dalam kebisuan.
Tapi balasan Chaira ke laki-laki bermata elang itu begitu acuh, Chaira tak pernah mau menatap setiap mata lawan jenisnya dengan jelas. Chaira tidak bisa mengerti tentang hidupnya. Kini, ia hanya seonggok permata yang tak terjamah.
Kini langkah hidup Chaira tak seindah kemarin sebelum nyawa ia terangkat setengah bersama orang yang ia cintai. Begitulah setiap orang memandang Chaira dari sudut mata mereka.
“Ra, mau sampai kapan lo tutup kehidupan lo buat orang lain bisa masuk kekehidupan lo?”
Raisha tak pernah bosan menanyakan hal itu ke Chaira, namun permata itu tidak mampu memancarkan sinarnya, tatapannya kosong melonglong jauh melana kembali ke masa kelamnya.
“Gue ga tau,Sha.” Jawaban yang sudah pasti ditebak oleh Raisha sahabatnya dari SMA.
“Setelah malam itu, gue ga pernah lagi ngeliat lo bener-bener senyum dari hati lo, Ra.”
“Terus gue harus gimana? Gue udah melanjutkan hidup gue kok! Apa itu kurang hah!??”
Chaira tersungkur bagai terhempas oleh ombak laut menerjang dirinya kuat-kuat, nyawanya seakan hilang semua melebur menjadi pecahan-pecahan permata yang terjun dari mata sayunya. Raisha mensejajarkan bahunya dengan Chaira.
“Maafin gua Ra.”
Tertumpuk sudahlah perasaan yang menghanyutkan Chaira, permata itu membiarkan dirinya tak terlihat dari mata-mata yang mengincarnya. Ia tak lebih dari sayap kupu-kupu yang rapuh, ia menjadikan dirinya tak berarti. Kabar itu mampu mengubah seluruh alam kehidupan Chaira.
Dikampus, Chaira hanya melihat layar yang putih bersama huruf-huruf yang ia tekan-tekan, bermain dengan kata-kata dan imajinasinya.
“Ra, ikut gue ke mall yuk nyari tongkrongan yang asik.” Sabrina yang selalu berusaha mengajaknya mengenal dunia nyata lagi ternyata masih belum sanggup membuat permata itu mengkilat.
“Ke tempat yang sepi aja.”
“Kemana Ra?”
“Ketempat cowo gue, udah setahun gue ga kesana.”
“Oke sekarang yuk, lo lagi ga ada kelas kan?”
Sinar permata itu hampir saja terlihat kembali dari sorot mata indah Chaira.

***

“Lo masih mau disini Ra?”
“Iya”
“Udah mau ujan, udah yah cukup ketemunya. Kalo begini lo ga akan bangkit.” Tarikan Sabrina memberikan satu kekuatan yang mampu melemahkan tubuh Chaira.
Chaira terus saja mengelus liontinnya, karna hanya itu yang tersisa dari masa lalunya.
Pandu laki-laki itu yang memberikan liontin terindah yang pernah ia dapatkan, mungkin tak pernah hadiah itu terlintas dari pikirannya. Liontin itu terukir namanya dan Pandu. Pandu mengerti betapa liontin itu seindah kekasihnya Chaira.
Pandu meninggalkan Chaira secara tragis di malam Chaira menunggu kehadirannya, ia melaju dengan motor yang sangat cepat hingga akhirnya kecelakaan itu tak mampu Pandu hindarkan, Pandu merenggang nyawanya membawa bingkisan berwarna merah berbentuk hati hadiah ulang tahun Chaira.
Malam ini, Chaira menyandarkan seluruh amarah, kesedihan, dan pikirannya dipinggir tempat tidurnya sekali lagi ia bermain dengan kata-katanya ditengah keheningan malam yang hanya terdengar suara jangkrik dan di bawah sinar rembulan yang menerangi bidadari.
‘Tuhan, kau kilaukan cahayamu dulu, kini kau redupkan kembali cahaya itu. Aku terus menerjang hantaman ombak yang melangsa. Aku peri kesepian, yang menanti datangnya seorang malaikat disisi. Oh tuhan, mengapa aku begini? Aku terlalu lemah untuk ditinggalkan, kini aku bagaikan mawar hitam bertangkai duka. Aku kehilangan, warasku hampir hilang. Kau rebut cinta dari genggamanku, yang ku lakukan hanya membiarkannya terlepas dariku. Aku tahu KAU maha kuasa atas segala kehidupanku. Aku mengerti betapa kau sayangi ia lebih dari aku menyayanginya. Tapi berikan aku cinta yang seperti cintanya, agar luka yang kau beri mampu menjadi setitik cinta dihati..’
Sepenggal kata yang Chaira ciptakan dibuku hariannya, yang sedikit bisa membantu mengurangi rasa lelahnya tiap senja berganti malam.
“Chairaa..” sapa laki-laki yang mengagguminya, tiba-tiba hati Chaira tergerak setelah melihat sorotan tajam dari mata elang laki-laki itu, ia tersenyum. Laki-laki itu berdebar tak karuan, perasaannya mulai membuat panas mukanya serta kaku dilidahnya. Dan membiarkan Chaira berlalu dari hadapannya.
“Oh Tuhan, rasa ini sungguh beda.” Ungkapan hati si mata elang itu.
“Chaira!” rambut Chaira yang tergerai indah menyilaukan elang itu ketika Chaira berbalik badan.
“Liontin kamu jatuh ni.” Rio mengahmpiri dengan langkah yang stay cool.
Dengan sigap Chaira memindahkan liontin itu dengan menyentuh telapak tangan sang elang, dan memasang wajah lega.
“Penting ya Ra?” tanya Rio. Chaira mengangguk tertunduk gelisah dan berbalik badan menciptakan langkah kecil yang membuat jantung Rio berhenti berdetak sejenak.
Sekali lagi “Tuhan, tak pernah aku merasa seperti ini.” Pernyataan yang ia tahu Chaira tidak akan mendengarnya.
“Rio!” panggilan dari temannya pun tak mampu melemahkan syaraf-syarafnya, dengan langkah terengah-engah Alvin pun menghampiri temannya yang mematung.
“Riioooo!!”
Teriakan dan lambaian tangan dimuka Rio akhirnya sanggup menjatuhkan Rio dari langit ke tujuh.
“Lo kenapa, io?”
“Bidadari, Vin.”
“Mana?”
“Tadi melintas di hadapan gue, ga pernah gue rasain seindah ini.” Rio baru menatap mata temannya yang sedari tadi hanya melongo tak mengerti apa yang ia ucapkan, dan malah sibuk mencari sosok bidadari yang baru disebutkan Rio tadi.
“Udah jam berapa ni, lo ga masuk kelas? Kan ada kuis io.”
“Oh god, lupa gue. Yo cabut ah!” Akhirnya drama singkat itu berakhir seiring bidadari itu terbang kembali ke khayangan.
Malam ini, mata Rio enggan untuk terpejam. Pikirannya jauh melintasi langit, angannya diam-diam menyusup ke tiap sel-sel otaknya mencari sosok yang menggetarkan jiwanya.
Entah apa yang merasuki pikiran Rio seketika itu, pikirannya hanya Chaira sang bidadari baginya.
Hatinya telah tergoda kepada sosok Chaira yang sederhana tapi begitu dingin.
“Tuhan, aku mulai jatuh cinta.” Kalimat yang mewakili dari seluruh perasaan senangnya bersentuh tangan dengan si gunung es yang membekukan dirinya dibawah teriknya matahari tadi.
Chaira Chaira, permata yang kehilangan kilauannya.. Sosok gadis yang mencoba menguak kehidupannya sendiri, mencoba meraih setiap asa yang pernah pupus, dan sosok yang menjadi bisu.
“Ra, jangan bengong aja dong. Kejadian itu seharusnya menjadi motivasi buat lo sekarang, Tuhan lebih sayang dia dari pada lo.”
Kata-kata yang keluar dari mulut ceriwis Sabrina yang penuh dengan makanan dikantin itu membawa Chaira kembali bersandar pada masanya bersama Pandu.
“Iya, gue tau kok Bi, tapi ..” Chaira tak punya banyak kekuatan untuk meneruskan kata demi katanya, ia hanya sanggup untuk melepaskan lelahnya dengan memejamkan mata dan susah payah menelan ludahnya dan dihinggapi perasaan yang sesak.
Ketika ia membuka mata, permatanya langsung terperangkap oleh incaran sang elang dari kejauhan sana.
“Ra, lo ngeliatin apa?” Raisha mencari sosok yang membuat temannya itu terpaku.
“Sha, jantung gue berdebar lagi.” Terlihat senyum kemenangan yang baru tampak lagi dilihat oleh teman-temannya.
Raisha dan Sabrina saling pandang, tak mengerti apa yang sedang terjadi oleh temannya. Ternyata malaikat cinta sedang melepaskan anak panahnya melalui tatapan mata sang elang yang mengincar sebuah permata yang tersembunyi di mata sayu Chaira. Hari-hari yang Chaira lalui, semakin membuat bingung Raisha dan Sabrina.
Mereka melihat setitik kilau yang memancar dari keindahan mata Chaira, dan mereka tahu siapa yang memberikan aliran keindahan untuk kehidupan Chaira.. Waktu ini beda, tidak lagi merenggut pikiran sehat Chaira yang selama ini menyita waktunya.
“Tuhan, aku berbicara denganMu lagi, aku merasakan beda. Apa aku?” Chaira berbicara dengan dirinya di depan cermin, dengan sesekali merapikan rambutnya yang terurai dengan jari-jari laksana bidadari dari langit ke-tujuh, pikirnya terbang kebayangan sang elang membuat jantungnya berdetak tak karuan.
Esoknya matahari menerikkan semangat ke dalam ruangan dimana Chaira terbaring bermain dengan alam bawah sadarnya, dan kembali menghirup sejuknya embun pagi. Handphone-nya berdering dengan nyaring, mendobrak pendengaran telinga dan penglihatannya. Permata yang tersembunyi dari matanya menyilaukan pagi. Ia melihat nomer yang muncul dari benda kecilnya, belum ada nama. Dengan perlahan ia membuka pembicaraan.
“Halo.” Sejenak terhening, tak ada balasan suara dari seberang sana. Sekali lagi Chaira mengucapkan satu kata tadi. Hanya terdengar suara desahan nafas dan suara gemetar yang membuat jantung Chaira jadi berdegup cepat.
“Chaira..” Suara lembut yang terdengar samar-samar.
Chaira terperangkap suara itu, matanya terbelalak. Dan seketika itu handphone-nya kembali normal kembali. Chaira masih menggenggam handphone-nya erat-erat dan ia merasa tidak asing mendengar suara itu.
“Ga mungkin dia kembali, dia udah pergi selamanya. Ga munggkkkkiiiiiiiiiinnnn!!!”
Chaira shock, dia menutup mukanya dengan tangan lembutnya yang seketika mendingin, dan membanjiri tangannya dengan linangan airmata. Untuk menghilangkan rasa cemas yang menghantui dirinya sejak pagi itu, Chaira sengaja mengunjungi taman kota untuk menjernihkan seluruh pikirannya, tempat kesukaan dirinya dan Pandu.
Setelah setengah jam ia duduk melihat kumpulan air yang menggenang luas didepannya, sesekali hanya melempar kerikil kecil ke genangan itu. Seketika ia merasakan sesuatu yang tak seperti biasanya, rambutnya melayang karna hembusan angin dingin yang menghenyapkan.
Terdengar sayup-sayup suara lembut dan terdengar sebuah lantunan dawai gitar yang mengalun telinga Chaira, Chaira teringat ucapan Pandu setahun silam. Dengan perlahan Chaira menutup matanya, dan memanggil nama Pandu.
“Saat dunia tak mampu bertahan, cintaku akan selalu bersamamu. Teruskanlah hidupmu Chaira, karna aku disisimu, hingga kau mendapatkan cinta yang sebenarnya cinta. Dan jika kau rindu aku pejamkan matamu dan panggil namaku, I’ll be there for you my angle.” Bisikan lembut yang mengiris seluruh kesedihannya, dan satu kecupan yang indah. Chaira membuka matanya perlahan dengan seluruh genangan airmata.
“Pandu..” satu nama yang ia panggil yang keluar dari bibir merah Chaira diiringi setetes embun yang terjun dari keindahan permata Chaira..
Tak disangka, ternyata sang elang mengawasi permata itu dari sisinya, dan mengulurkan sehelai kain kehadapannya. Chaira terkejut.
“Lo?” Chaira gugup dengan menghapus sisa-sisa kepedihannya.
“Iya aku, kaget yah kenapa aku bisa tau kamu disini.” Hanya kebisuan yang diterima Rio, ia paham akan Chaira.
“Boleh, aku duduk disini?” Chaira mengalihkan pandangannya, kembali ke depan. Rio menghela nafas, tanggannya mengepal menahan perasaannya dan melanjutkan pembicaraan.
“Aku tau kamu disini dari Raisha, setiap Sabtu kamu pasti kesini, karna ini tempat favorit kamu dulu sama....” Chaira langsung menatap dalam-dalam mata elang dan alis yang seperti kepakan sayap malaikat yang dimiliki Rio. Rio terdiam dan kembali menatap mata permata itu, pertahanan Chaira hampir runtuh semua.
“Kenapa lo kaya gini sama gue?”
“Karna aku tau Ra, ada keindahan permata yang hilang dari kehidupan kamu, dan aku ingin mengembalikan permata yang hilang itu dan memilikinya dengan semua keindahan yang kamu punya.” Chaira tak dapat menahan butiran-butiran air kecil, dan membiarkan terjatuh dari kelopak mawar mata Chaira dadanya seakan terhimpit oleh perasaan kehilangan, nafasnya mulai terengah, dan tenggorokannya seperti ada yang mengganjal.
“Gue ga seindah itu.”
“Tapi keindahan kamu membuat aku luluh.” Chaira menjadi tak mengerti ucapan Rio.
“Ra..” Rio memberanikan memegang tangan sang bidadari, Chaira lemah tak memberikan perlawanan apapun, dirinya sudah berada dititik lemahnya kini.
Rio menghela nafas, “Ra, ijinin aku ngebalikin permata itu kembali bersinar dimata kamu, mata kamu udah terlalu lelah untuk menangis..”
Cengkraman tangan sang pemangsa, meruntuhkan segala pertahanan sang bidadari, Raja elang membuka sayapnya lebar-lebar untuk sang bidadari yang telah jatuh didadanya, dan ia tidak akan pernah melepaskan bidadari hatinya..
“Chaira.. wanita sempurna yang pernah aku miliki..” Ucap Pandu.


Komentar

  1. Hai :) pas lagi ngesearch cerpen aku tiba2 ada ini hehe wah ternyata bisa jadi makalah juga yah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hai juga dinda.. :)
      iya maaf ya ga minta izin dulu mengkaji cerpen punya kmu, hehe
      dinda orang mana?

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Puisi 'Kesabaran' Karya Chairil Anwar

Esai Kajian Struktural terhadap Puisi 'Jembatan' karya Sutardji Calzoum Bachri

contoh laporan buku