Analisis Novel "Midah Simanis Bergigi Emas" Karya Pramoedya Ananta Toer


BAB I
PENDAHULUAN

Pramoedya Ananta Toer merupakan salah seorang Sastrawan Angkatan ’45, salah satu karya Novelnya adalah “MIDAH SIMANIS BERGIGI EMAS”. Di dalam cover belakang Novel tersebut terdapat tulisan ‘Sumbangan Indonesia untuk Dunia’ yang mungkin berarti Novel tersebut merupakan salah satu karya Pramoedya Ananta Toer yang diakui oleh Dunia. Novel tersebut pernah diterbitkan oleh beberapa media yaitu:
1.        NV Nusantara, 1954 (Midah Simanis Bergigi Emas), edisi Indonesia
2.        De Geus, 1992 (Midah, het Liefje met de Gouden Tand) edisi Breda, Belanda
3.        Manus Amici, 1992 (Midah, het Liefje met de Gouden Tand) edisi Amsterdam
4.        Lentera Dipantara, Juli 2003, Maret 2005, Juni 2006, Maret 2009, Februari 2010 (Midah Simanis Bergigi Emas) edisi Indonesia
Pramoedya Ananta Toer lahir pada tahun 1925 di Blora, Jawa tengah. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara. Dari tangannya telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan Pramoedya Ananta Toer dianugerahi berbagai penghargaan Internasional. Sampai kini, Pramoedya Ananta Toer adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.
Alasan penulis memilih Novel tersebut, pertama dilihat dari segi pengarang yang mengarang novel tersebut adalah Pramoedya Ananta Toer. Kedua, penulis tertarik dengan cover Novel yang mempunyai ciri khas tersendiri. Ketiga, penulis tertarik dengan judul Novel tersebut yang membuat penulis penasaran akan isi Novel tersebut. Keempat, dari cover belakang yang berisi sinopsis membuat penulis semakin tertarik akan isi dari Novel tersebut. Kelima, dari segi ketebalan novel ini tidak terlalu tebal sehingga memungkinkan penulis mudah untuk membaca dan menganalisis.
Dari segi manfaat, novel ini sangat bermanfaat karena memperlihatkan ketegangan antara jiwa seorang humanis dan moralis. Disatu sisi Pramoedya Ananta Toer ingin menegaskan kekuatan seorang perempuan berjiwa dan berpribadi kuat melawan ganasnya kehidupan. Seorang perempuan yang tak mudah ditaklukan oleh apapun. Tapi disisi lain ingin memperlihatkan kebusukan kaum moralis lewat tokoh Haji Terbus juga Haji Abdul yang hanya rajin dzikir tapi miskin citarasa kemanusiaan dan juga serakah.
Dari segi peruntukan, penulis berharap dengan dibahasnya Novel tersebut pembaca dapat mengetahui isi Novel tersebut dan dapat mengambil pelajaran dari Novel tersebut.



















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Alur
Di dalam Novel “Midah Simanis Bergigi Emas” terdapat beberapa Alur yaitu Alur Pedih (The Pathetic Plot) Pelaku utama (cantik, ganteng), tapi lemah, mendapat musibah berangkai. Tidak pantas mendapat kemalangan. Cerita berakhir dengan kepedihan menimbulkan rasa kasihan pembaca. Dan Alur kekecewaan (disillusionment plot) Kebalikan alur pendidikan. Sang tokoh kehilangan idamannya, dan jatuh ke jurang keputusasaan. Pada akhir cerita, pembaca hanya sebentar saja bersimpati kepadanya, selanjutnya diliputi kekecewaan.
(Ducrot &Todorov, 1981:298; Tarigan, 1982:185)
Alurnya yaitu berkisah tentang Midah seorang gadis yang dilahirkan dari keluarga yang taat beragama. Haji Abdul nama bapaknya. Fanatik terhadap musik-musik berbau Arab. Umi Kalsum yang menjadi penyanyi favoritnya. Sampai usia sembilan tahun kehidupan Midah sangat enak. Ia dimanja dan dipangku-pangku. Karena ia anak tunggal. Situasi berubah ketika Midah mempunyai adik yang mulai membanyak. Di rumah ia mulai disepelekan. Perhatian bapaknya sudah sepenuhnya kepada adik-adiknya. Midah seperti terkucil dirumahnya. Adik-adiknya telah merampas semuanya.
Karena tidak betah Midah sering keluar rumah dan biasanya pulang sore atau bahkan malam hari. Begitu seterusnya. Tapi bapaknya cuek saja. Apalagi ibunya. Situasi tidak berubah sama sekali. Ini makin membetahkan Midah untuk bermain-main di jalanan. Di jalan itulah Midah terpikat dengan pengamen yang menyanyikan lagu-lagu keroncong. Dibelinya beberapa piringan hitam keroncong. Begitu singkat, Midah sudah hafal semua isinya. Ketika Midah asyik memainkan lagu keroncong, bapaknya tiba-tiba pulang dari toko. Mendengar lagu haram dirumahnya, jauh-jauh ia sudah berteriak-teriak: Haram! Haram! Lalu ia langsung menampar pipi Midah. Midah terjatuh, ia dihajar habis-habisan. Diantara rasa takut berkecamuk di hati, Midah menyimpan benci kepada bapaknya.
Pada suatu hari yang mendung, Midah dikawinkan dengan Haji Terbus dari Cibatok, lelaki pilihan ayahnya dengan syarat: laki-laki itu berasal dari Cibatok desa Ayahnya, berharta, dan taat beragama. Haji Terbus berperawakan gagah, tegap, berkumis lebat, bermata tajam dan perutnya menonjol ke depan. Haji Terbus bukan bujang dan bukan muda. Istrinya tersebar banyak di seluruh Cibatok. Ini diketahui Midah ketika ia mengandung tiga bulan. Ia tak sanggup lagi dan diam-diam kembali ke Jakarta. Tak berani langsung ke rumah orangtuanya, yang dituju adalah rumah Riah, babu yang pernah memberinya perlindungan dari pukulan bapaknya. Riah memintanya pulang tetapi Midah menolak. Setelah menyediakan kopi Riah pergi ke rumah orangtua Midah. Kedatangan Riah tidak disambut dengan baik, malah ia dicaci dan dimaki. Dituduh sebagai biang keladi kaburnya Midah dari Suaminya. Riah pulang dan menasihati Midah agar sebaiknya pulang. Midah menolak.
Keesokan harinya, sejak pagi Midah pamit dari rumah Riah. Mula-mula ia jalan kaki. Bila capek ia mengasoh atau naik trem. Hanya satu keinginannya: hendaknya ia hari ini dapat bertemu dengan rombongan keroncong atau rombongan lain yang sejiwa dengan itu. Glodok, Pasar Baru, Jatinegara, Senen, Sawah Besar, Tanah Abang, Priok. Berjam-jam ia mondar-mandir. Tetapi tak ditemui juga rombongan itu. Ketika malam tiba, ia masuk kedalam hotel kecil dan tidur disana. Pagi hari, di Senen ia temui rombongan kroncong yang agak besar. Ia mulai mengikuti. Tambah siang, rombongan itu menhindari tempat-tempat ramai. Mereka menghitung penghasilan mereka dan dibagi rata. Mereka makan ditempat yang ditunjuk oleh perempuan setengah tua bergigi emas. Mimin salah satu anggota rombongan itu menatap Midah, Midah mencoba tersenyum. Semua anggota rombongan mengolok-ngolok Mimin dan Midah dengan kroncong sisindiran. Midah menjawab pantun itu dengan fasih. Sehingga membuat semua heran. Kepala rombongan menghampiri Midah dan mengajaknya bergabung. Perempuan tua bergigi emas sangat marah. Ia memaki-maki. Dan akhirnya pergi dengan amarah. Mual-mula terjadi perdebatan antara rombongan keroncong karena takut dikira melarikan anak orang tetapi Midah meyakinkan bahwa ia ingin ikut. Ia dikenalkan pada Mak Pecak, Mimin Kurus, Dul Gendang, dan ia sendiri dipanggil dengan sebutan ‘Si Manis’. Dan ia juga mengenal Rois, kepala rombongan. Mereka berangkat, mulai menyanyi dari restoran ke restoran. Tak jarang ketika Midah bernyanyi, ia mendapat usapan mesra pada pipinya, bahkan ditarik oleh seorang untuk duduk sebentar menemaninya makan.
Ketika malam tiba timbul pertanyaan dari Mimin, dimana Midah akan tidur. Mimin mengajak Midah tidur didalam rombongan di penginapan Jatinegara. Untuk pertama kalinya Midah tidur disamping laki-laki yang tidka diikat oleh peraturan agama. Ia tertidur. Tiba-tiba Mimin memeluk Midah, suara tawa anggota rombongan terdengar seraya mengolok-ngolok Mimin sehingga membuat Mimin panas. Midah mulai merasa takut. Mimin yang kalap dan mencoba menjamahi Midah. Midah berbisik bahwa ia sedang mengandung. Tetapi Mimin tidak memperdulikannya. Kembali Midah berbicara bahwa ia sedang mengandung. Akhirnya kepala rombongan menyalakan lampu dan menolong Midah. Ia mengajak Midah tidur disampingnya, ia berjanji tidak akan berbuat apapun terhadap Midah. Midah hanya mengangguk, malam kembali aman. Midah terus menerus memohon kepada Tuhannya agar selalu selamat. Dalam tidurnya ia merasa aman dalam rangkulan lelaki yang asing baginya itu. Pikiran-pikiran tentang dosa hilang dipikirannya. Pagi-pagi ketika ia bangun, ia bersyukur. Kepala rombongan itu memang dapat dipercaya.
Pada suatu kali Nini kembali kerombongan, Midah sangat bersyukur, karena setidak-tidaknya ada wanita yang menyalurkan hawa nafsu rombongan itu. Kandungan Midah Kian lama kian besar juga. Tambah lama kekuatannya makin habis. Ia tak sanggup lagi menggetarkan pita suaranya selama delapan jam sehari. Ia meminta izin tidak bekerja sampai ia melahirkan. Kepala rombongan mengizinkan dengan konsekuensi Midah tidak mendapat penghasilan. Akhirnya Midah melahirkan di rumah sakit. Meskipun ia sempat diusir karena rumah sakit tersebut penuh. Namun akhirnya ia tetap melahirkan di rumah sakit itu. Anaknya sempat tertukar dengan anak orang tionghoa. tapi hanya sebentar karena anaknya kembali kepangkuannya. Setelah beberapa hari dirawat Midah diperintahkan untuk pulang karena rumah sakit tersebut kekurangan tempat.
Midah tak tahu kemana ia harus pergi, ia tahu rombongan keroncong itu akan bersikap lain setelah ia memelihara seorang bayi yang tidak berguna apa-apa bagi mereka. akhirnya Midah meminta diantar ke penginapannya yang dahulu. Sampai disana ia disambut dengan pintu terkunci. Malam hari ketika rombongan pulang baru ia dapat masuk. Ia disambut dengan bibir yang diberengutkan. Serbuan hinaan dan cacian diterima Midah dan anaknya dari rombongan itu. Lalu kepala rombongan menengahi dengan mengajak Midah kawin, tetapi Midah menolaknya. Anaknya menjerit, dan itu membuat Nini semakin heboh mencaci dan memaki Anak Midah. Kepala rombongan menampar mulut Nini, Nini menangis. Karena teriakan yang meledak-ledak hampir semua tamu datang ke depan pintu. Dan memaki-maki karena merasa terganggu dan akhirnya datang seorang polisi lalulintas menengahi. Ia meminta supaya tidak membuat keributan. Dengans susah payah polisi lalulintas itu mengusir mereka. Dan meminta penjelasan. Kepala rombongan yang menjelaskan. Polisi itu mengusulkan supaya Midah tetap ikut menyanyi meskipun seraya menggendong anaknya. Polisi itu juga menjelaskan bahwa ia juga pemusik. Rombongan itu meminta agar polisi tersebut mau membawa mereka bernyanyi di radio. Polisi tersebut berjanji akan datang untuk melihat permainan keroncong mereka. kemudian ia pergi.
Campur tangan polisi itu membuat Midah mendapat tempat lagi dalam rombongan itu. Sejak itu ia ikut menyanyi lagi. Tempatnya dirombongan lebih banyak merupakan bisul dalam tubuh. Kepala rombongan sekali dua kali mengulang lamarannya. Tetapi Midah tetap menolak. Kegagalan perkawinannya merupakan sebab utama mengapa ia menjijiki jenis lelaki. Sebaliknya sikap yang keluar dari alasan-alasan itu menjengkelkan kepala rombongan. Dan dari jengkel akhirnya berubah menjadi benci. Tiap kali rombongan itu makan disebuah warung kecil, Midah tidak mendapat teguran. Ia makan seorang diri ditempat yang seolah-olah telah diasingkan baginya. Dan diwaktu-waktu kerja dikala anaknya menangis, ia berhenti sebentar untuk menyusui, sedang rombongan itu berjalan terus seakan-akan tak ada terjadi apa-apa. Kelemahan hati kadang-kadang mengajaknya kembali kepada orangtuanya atau kerumah Riah. Tetapi keberanian untuk itu tidak ada padanya.
Pada suatu hari ia tertinggal dari rombongannya, dan sedang menyusui anaknya di sebuah gang kecil. Dengan mendadak tiba-tiba Riah ada dihadapannya. Ia sempat berbincang-bincang dengan Riah. Tapi hanya sekejap, karena Midah menghindar, dan memutuskan untuk pergi. Diam-diam Riah mengikuti kemana Midah pergi. Midah tak mengetahui bahwa Riah mengikutinya, sekalipun dalam menyanyi matanya jalang mencari-cari kalau-kalau Riah mengikutinya. Setelah yakin Riah tidak ada, ia kembali tenang. Meskipun ia yakin Riah akan menceritakan pertemuannya kepada orang tuanya. Sejak pertemuan itu, Jakarta mulai terasa tidak aman baginya. Kini ia sering tidak ikut bekerja untuk menghindar dari Riah, Orangtuanya, dan dari semua orang yang disuruh orangtuanya untuk mencarinya.
Suatu kali untuk mengimbangi kekuasaan Nini, Midah memasang sebuah gigi emas pada gigi taringnya. Dan kejadian itu disambut dengan ejekan yang lebih hebat oleh Nini. Midah mengharapkan kedatangan polisi lalu lintas dahulu. Tetapi ia tak lagi muncul. Pengetahuan Nini bahwa kepala rombongan tidak lagi melindungi Midah menyebabkan Nini dengan leluasa melampiaskan amarahnya. Sampai-sampai ia menampar Midah. Semua anggota mendesak agar Midah dikeluarkan dari rombongan. Akhirnya kepala rombongan angkat bicara dan iapun mengeluarkan Midah dari rombongan. Sambil membawa anak dan buntalan po serta pakaiannya ia pergi dari penginapan itu. Ia sendiri tak tahu harus pergi kemana. Tetapi ia tetap pergi.
Berita tentang Midah menggoncangkan keluarga Haji Abdul. Sedikit-sedikit anak-anaknya kena bentak Bapaknya dan diperintah untuk mencari Kakaknya. Haji Abdul mencari-cari Midah, ia berjalan karena ia tak semampu dahulu. Perusahaannya ditelantarkan. Tiap hari kerjanya hanya mencari Midah. Orang yang dahulu merasa puas akan dirinya, akan kejayaan dan kebenaran dirinya kini mengalami ketumbangan iman, perusahaan, hari depan, dan kebesaran yang hendak dipamerkannya dikampung asalnya. Setiap hari ia mencari Midah, segala orang ditanyainya, dimintai keterangan. Dan suatu kali ia mendapat keterangan sedikit dari pemilik restoran. Ia mengatakan bahwa Midah memiliki seorang bayi. Haji Abdul shock karena tahu anaknya menyanyi dan diusir dari restoran satu kerestoran lain. Ia terjatuh dimeja dan tidak bergerak. Ketika ia terbangun ia sudah berada di ranjang rumah sakit. Ia tetap bersikeras ingin mencari Midah tetapi perawat tidak mengizinkannya. Perawat menyatakan bahwa Haji Abdul memiliki penyakit jantung. Nyonya Abdul yang dari dulu hanya terdiam, kini bangkit dan mulai mencari Midah. Ia melapor ke polisi.
Setelah tujuh hari Haji Abdul diperbolehkan duduk, waktu istrinya datang menengok ia hanya minta diambilkan tasbih. Sejak itu ia menutup matanya, dengan bibir terus berkecumik dan tangan menghitung buah tasbih. Berhari-hari dalam mistik itu membuat ia tak mendengar apapun yang dikatakan orang kepadanya. Suatu kali ia berhenti berdoa dan berbisik bahwa Midah akan selamat. Istrinya bergirang hati mendengar ucapannya mendapat sambutan. Sebulan kemudian Haji Abdul boleh meninggalkan rumah sakit. Anggapan bahwa dirinyalah orang yang paling suci di dunia ini dan paling dikasihi Tuhan, paling baik serta paling beribadah kini hilang sama sekali. Pandangan hidup dan dunianya berubah hingga 180 derajat. Perusahaannya semakin hancur, hanya tinggal satu orang buruh yang bekerja disana. Sampai akhirnya ia tak dapat lagi membayar buruhnya. Untuk memperbaiki keuangan rumah tangganya Nyonya Abdul tampa sepengatahuan suaminya mencari pekerjaan jahit menjahit diluar rumah. Tak bosan-bosan Nyonya Abdul datang ke Kantor Polisi untuk menanyakan hasil pencarian Midah. Riah pun membantu mencari Midah. Tetapi usahanya nihil.
Daerah Midah bukanlah di jantung kota dimana banyak terdapat restoran. Ia memilih Jatinegara yang aman untuk keselamatannya. Ia menyanyi di depot-depot. Ia pergunakan senyum pemikat sebaik-baiknya. Walaupun ia lebih banyak diusir daripada menerima rezeki. Dan pada suatu hari ia sedang menyanyi di depot orang tionghoa seseorang memberinya tepuk tangan. Ia sangat malu. Dari depot muncul polisi lalu lintas yang telah dikenalnya. Ia ditawari makan bersama dengan polisi itu. Perut yang lapar menyebabkan ia menerima tawaran itu. Ia berbincang-bincang dengan polisi itu, polisi itu memuji suara Midah dan mengajak Midah untuk bernyanyi di Radio. Ia berkata sore hari ia akan kembali dan membawa Midah untuk berlatih terlebih dahulu. Ia juga menawarkan menyedekahi anak Midah di rumahnya, karena sampai saat ini ternyata Midah belum juga memberi nama pada anaknya. Selain itu ia juga menawarkan mencarikan tempat tinggal untuk Midah.
Sore hari, polisi itu kembali dengan pakaian preman, hampir-hampir Midah tak mengenalinya. Dengan becak ia di bawa kesekitar daerah Matraman, dimana sebuah kamar telah disediakan untuknya. Polisi itu bernama Ahmad. Mereka duduk di kursi yang telah disediakan. Berbincang-bincang dan saling bertatapan. Kini masanya datang bagi Midah untuk jatuh cinta. Nyonya rumah masuk dan membawa minuman. Nyonya rumah berkata bahwa ia berharap Midah akan senang tinggal dirumahnya. Tanpa disangka-sangka Ahmad mengatakan bahwa Midah calon istrinya. Hal itu membuat Midah memandang Ahmad. Midah menangis. Midah sangat bahagia. Tetapi setelah ia bertanya kepada Ahmad apakah yang diucapkannya benar dan dengan riang dan tanpa beban Ahmad menjawab tidak. Kalimat itu menggugurkan perasaan Midah yang mulai bersemi di dalam dada. Ia menangis, bukan bahagia. Tetapi sangat terpukul. Air matanya membasahi wajah anaknya. Dan dengan demikian mulailah Midah berkenalan dengan perasaan cinta. Perasaan sakit dan pahit. Ketika Ahmad berpamit akan pulang. Midah masih saja menangis. Ahmad mulai tersentuh ia mengatakan bahwa mereka tak mungkin bersama. Dan ia mulai mengintrogasi Midah. Setelah semua terjawab, giranglah sudah hati Ahmad. Ahmad menawarkan diri untuk mengantar Midah dia ceritakan bahwa orang tua Midah meminta bantuan polisi untuk mencarinya. Tapi dengan sikap dingin Midah, Ahmad dapat mengetahui bahwa Midah menolak. Tidak secara langsung Midah mengusir Ahmad dengan memintanya pulang. Ahmad memperbaiki letak pakaiannya, mencubit pipi anak Midah dengan hati-hati kemudian pergi. Segera Midah mengunci pintu dari dalam kamar. Merubuhkan diri di ambin dan meneruskan tangisnya.
Hampir setiap hari Ahmad datang untuk mengajar menyanyi dan Midah merasa aman didekat pemuda itu. Kadang-kadang ia berharap sekalipun harapan kosong, suatu hari ia bisa menjadi istri Ahmad. Kemarin, anaknya diselamatkan dan dinamai Rodjali. Anak itu dipanggil Djali, dan tidak ada seorangpun diantara tamunya membantah pemberian panggilan itu. Hanya Ahmad yang tidak terdengar pendapatnya. Kini ia jadi pendiam. Ia kaku seperti bangun sakit, matanya cekung. Waktu tamu telah pulang, Ahmad tinggal dikamar tamu bersama Midah.  Ahmad mengakui perasaannya, iapun merasakan sakit seperti yang Midah rasakan. Midah mulai mengalihkan pembicaraan. Keduanya tidak berbicara apa-apa lagi. Masing-masing merasakan sakit di dalam dada. Kemudian Midah dan Ahmad bernyanyi. Nyonya rumah datang menemani, melihat mendung diwajah keduanya Nyonya rumah pergi meninggalkan mereka berdua.
Mereka masih terpuruk dalam kesedihan, Midah kembali mengalihkan pembicaraan. Ia minta berlatih menyanyi lagi. Mereka bernyanyi hingga larut malam. Nyonya rumah telah tidur, Djali pun tidur. Ahmad menyarankan agar Djali ditidurkan di kamar. Midah masuk kamar, Ahmad mengikuti. Midah meminta Ahmad keluar, tetapi Ahmad telah menghampirinya. Ia rangkul Midah dan diciuminya. Midah menolak, ia tahu Ahmad yang ada dihadapannya bukanlah Ahmad seperti biasanya. Ahmad yang kini ada dihadapannya adalah Ahmad yang penuh nafsu. Berulang kali Midah memintanya agar tidak menodai kehormatannya. Sebuah ciuman mesra menghalangi ucapannya. Kemudian Midah berkata kembali agar Ahmad tak menodainya. Tapi Ahmad tak dapat menahan hawa nafsunya lagi. Midah menangis. Ia tidak rela. Biar bagaimanapun ia mencintai Ahmad ia tetap tidak rela. Ahmad terus saja menjamahi Midah. Kemudian tak terdengar apa-apa lagi. Beberapa jam. Kemudian Djali menangis. Ketiga-tiganya bangun. Mulai pula berangsang nafsu mengamuk dalam dada Ahmad. Ia kembali menjamahi Midah. Djali terus menangis, menjerit, kaki dan tangannya menghentak-hentak. Barang kali tangisan itu berarti tangisan anak yang tak rela ibunya dinodai karena cintanya. Ayam berkeruyuk, sudah pagi. Setelah mengenakan pakaiannya Ahmad pulang. Midah kembali menyusui anaknya. Air mata meleleh-leleh melalui pipi jatuh ke bantal. Hingga ayam berhenti berkeruyuk ia tak memejamkan mata lagi. Pikirannya mengembara kemana-mana. Dengan perbuatannya semalam, segala-galanya yang pahit dan sakit tetapi membahagiakan itu telah punah. Waktu pintu diketuk Nyonya rumah, ia baru bangkit. Kemudian menangis lagi. Dan setelah menyeka mata, ia pun pergi kekamar mandi. Dan benarlah dugaannya. Sejak itu, Ahmad bukan saja melatihnya bernyanyi, tetapi juga bertindak sebagai tamu yang terus menerus menagih.
Dari kiri dan kanan Nyonya Abdul memperoleh kabar bahwa sekarang anaknya menyanyi di Radio. Ia mencoba menutup kupingnya dari berita itu. Tapi keterangan Riah bahwa Midah menyanyi di depan restoran-restoran, mau tak mau membuat ia jadi bimbang. Sekali waktu tetangganya berlari dan memintanya mendengar Radio, tetangganya yakin bahwa suara orang yang bernyanyi di radio itu adalah suara Midah. Nyonya abdul mendengarkan, dan terbayang dimatanya perawan manis dan cantik yang beberapa tahun lalu masih bergaun pendek dan berkerudung putih. Nyonya Abdul pulang kembali ke rumahnya, tiba-tiba timbul keinginan  untuk membuktikan sendiri. Buru-buru ia berpakaian. Dan dengan beca ia menuju radio. Malam itu ia tak berani masuk studio, ia hanya menunggu di gapura, menunggu dan menunggu. Tapi tak dijumpainya Midah. Akhirnya ia pulang ke rumah dan bersamaan dengan itu hilang pula harapannya untuk dapat bertemu dengan Midah.
Pada suatu hari tetangganya datang pula untuk mengajaknya mendengarkan suara Simanis Bergigi Emas. Lambat laun ia yakin akan kebenaran tetangganya. Nyonya Abdul ditemani Anak tetangganya kembali mencoba mencari Midah ke studio. Di pertengahan jalan ia baru ingat bahwa jam enam suaminya pulang. Suaminya pasti akan marah. Seperempat jam kemudian sampailah mereka di gedung studio. Nyonya Abdul gemetar. Anak itu memapahnya menaiki jenjang menuju ke kantor. Ternyata rombongan Irama bakti baru saja pulang naik pikap. Kemudian mereka meminta alamat Midah. Merekapun pergi. Setelah sampai di Matraman, mereka berputar-putar mencari alamat. Akhirnya sampai juga. Yang dicari tak ditemui, ia hanya bertemu dengan cucunya Djali. Tanpa fikir panjang, Nyonya Abdul langsung membawa Djali ke rumahnya. Nyonya rumah melarang, tapi Nyonya Abdul telah membawa keluar cucunya. Djali menjerit-jerit. Dengan tiada menawar ditumpanginya beca yang mula-mula didapatinya. Sesampainya di rumah ia langsung berteriak. Seisi rumah langsung merubung. Ia menemui suaminya. Haji Abdul langsung bangun dari dzikirnya. Hampir-hampir ia melompat. Lambat-lambat ia bangkit dan menghampiri Djali. Djali menjerit ketakutan. Haji Abdul bertanya pada Nyonya Abdul dimana Midah, tetapi yang ditanya tidak menjawab. Ia bertanya kembali dan Nyonya Abdul menjawab bahwa ia belum bertemu dengan Midah. Haji Abdul menarik nafas keluh. Ia punggungi istri dan cucunya. Kemudian pergi. Nyonya Abdul sibuk mengurus Djali.
Di Taman Chairil Anwar, sudah gelap. Midah berbicara dengan Ahmad, ia mengatakan bahwa ia hamil, dan ia meminta Ahmad untuk mengakui anak yang ada di dalam kandungannya. Tetapi Ahmad menolak dan menuduh ia menjebaknya. Ia juga menuduh Midah telah bercampur dengan laki-laki lain. Dada Midah sesak, kembali air matanya bercucuran. Midah bangkit dan berjalan meninggalkan Ahmad. Sesampainya di rumah ia disambut Nyonya Rumah dengan gopah-gapah, Midah tak sempat mendengar ucapan itu, ia terlampau sibuk dengan dirinya sendiri, ia memasuki kamarnya. Ia terhenyak, anaknya tidak ada. Ia bertanya kepada Nyonya Rumah dimana Djali, Nyonya Rumah bercerita bahwa Djali dibawa oleh Ibu Midah. Nyonya Rumah menggali informasi apa yang membuat Midah bertengkar dengan kedua orangtuanya, Midah menceritakan semuanya. Termasuk tentang perbuatannya dengan Ahmad, juga tentang kehamilannya. Nyonya Rumah yang pertama lembut kemudian berangsur-angsur menjadi marah, suaranya meledak-ledak. Tambah lama suaranya semakin meningkat. Dan ia meminta Midah untuk keluar dari rumahnya. Dengan tiada menjawab Midah langsung keluar. Ia menumpangi becak menuju rumah orangtuanya.
Sesampainya di depan rumah, lama Midah diam. Menatap rumah itu. Sebelum ia mengetuk pintu banyak masa lalu yang dikenangnya. Pergulatan hatinya bercampur aduk, antara masuk atau tidak. Tetapi ketika ia mendengar Djali menjerit dengan tanpa ragu ia langsung mencekam kenop pintu, dan membukanya. Haji Abdul terkejut, Midah menghampirinya dan memohon maaf kepada Bapaknya. Lalu menemui ibunya, Nyonya Abdul merangkulnya. Lalu memberikan Djali pada Midah. Seketika Djali diam. Lama suasana menjadi kaku. Di kepala Midah terbayang-bayang wajah Ahmad. Pikiran-pikiran dalam kepalanya beranak-anak, bercucu, dan berpiut. Akhirnya Midah memberanikan diri untuk mengatakan kepada kedua orangtuanya bahwa ia sedang hamil. Kedua orangtuanya menerima semua itu dengan penuh kekecewaan, karena Midah tidak mau mengatakan siapa orang yang menghamilinya.
Sejak Midah kembali kerumah orangtuanya, telah begitu sering pendiriannya miring. Ia tak sanggup berhadapan dengan para tetangganya yang datang menengok. Berbulan-bulan ia menyembunyikan dirinya di dalam kamar. Setelah dianggapnya semua reda, baru ia memperlihatkan dirinya. Itupun tidak lama, perutnya yang bertambah besar memaksa dirinya mengurung dalam kamar kembali. Haji Abdul kehilangan kekuatan untuk menginjakkan kaki di atas dunia. Apabila ia dengar sindiran atas kelakuan anak sulungnya dibandingkan dengan kesalehannya ia segera berkata ‘Ah sudara, manusia ini kenal satu sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri.’ Lambat laun Haji Abdul dianggap keramat. Sekali dua kali datang orang meminta berkah. Akhirnya namanya populer dan di depan gelar Hajinya orang tambahi dengan Kiai Dukun.
Hormat orang-orang terhadap bapaknya, membuat Midah semakin merasa bersalah mengingat kandungannya yang akan merusak segala-galanya. Ia memutuskan untuk pergi dari rumahnya. Tapi sebelum ia pergi, ia di tahan oleh Nyonya Abdul. Namun akhirnya ia tetap pergi tanpa membawa Djali. Ia percaya Djali akan lebih selamat di tangan nenek dan kakeknya, seperti yang diucapkan oleh Nyonya Abdul.
Bertambah jauh Midah melalui jalan hidupnya, terasa olehnya bertambah tidak berarti kepahitan-kepahitan yang berulang-ulang menimpa dirinya. Dengan anak kedua ditangan kanan ia mencoba dan terus mencoba untuk bagi dirinya, bagi anaknya yang kedua dan bagi Rodjali. Dan bagi semua orang yang sudi, dan bagi semua orang yang mendengarnya. Hanya diwaktu dia menyanyi itu ia merasa dirinya berjasa. Setelah beberapa bulan lamanya Simanis Bergigi Emas tak pernah terdengar di peralatan-peralatan atau radio. Kini nama itu menggelumbang dari penjuru ke penjuru.
Midah dengan sepotong kehidupannya yang sekarang, telah banyak bertemu lelaki, pertemuan antara segala-galanya. Ia tidak mempersoalkan cinta atau tidak, karena cintanya pada Ahmad mengikutinya barang kemana ia pergi. Dan merupakan satu-satunya harta benda yang mengisi kekosongan jiwanya. Bertemu dengan begitu banyak lelaki, hatinya tawar. Sekali ia hidup untuk beberapa bulan di Villa peristirahatan dengan Hartawan Indonesia, Tionghoa, Arab, dan bangsa apalagi yang tidak.
Kesusilaan dan ketertiban peradaban antara baik dan buruk yang dibawanya dari rumahnya, kini tidak membangkitkan pikiran lagi padanya. Dan tambah hebat rasa kangennya pada Djali, tambah sering pula ia coba untuk bertemu dengan lelaki yang sonder cinta, dan mendesirkan darahnya. Kepopuleran namanya berkuda dengan kepopulerannya dalam pergaulan dengan lelaki.
Setelah studio radio menjadi gelanggangnya yang biasa. Ia merambahi jalan baru ke gelanggang film. Kemanisannya membangkitkan kekaguman ratusan ribu orang. Dan namanya dibisikan sebagai ucapan cita dari banyak pemuda dan pemudi.
Tetapi............
Selain bapak dan ibu dan dirinya, tak ada seorangpun di dunia pernah mencoba mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi dan telah terjadi dalam jiwanya. Sejarah Midah Simanis Bergigi Emas mulailah dari sini sebagai penyanyi. Sejarah Midah Simanis Bergigi Emas telah lenyap sebagai wanita.

B.     Tokoh
1.      Tokoh dan Penokohan
a.       Midah
Secara Fisiologis        : Perempuan berusia sekitar 18 tahun, bertubuh montok, berkulit kuning, wajahnya agak bulat, cantik parasnya, manis, berambut hitam ikal, bersuara merdu, bergigi emas digigi taringnya.
Secara Sosiologis       : berasal dari keluarga yang taat beragama, berpendidikan, keluarganya terpandang, kalangan menengah atas, tinggal di Jakarta, tetapi akhirnya ia menjadi penyanyi sekaligus pelacur.
Secara Psikologis       : keras kepala, baik hati, tegar, kuat hatinya, tidak pantang menyerah, mudah tersinggung, teguh pada pendirian, tidak cekatan, beragama islam.

“ Nama tokoh utama itu Midah, pendek sekali namanya. Hanya Midah. Kulitnya kuning. Wajahnya agak bulat. Kalau tersenyum ih manisnya. Cantik parasnya, lentik suaranya, kuat hatinya.”
“ Midah begitu manis dan montok.”
“ Anakku yang paling manis! Anakku yang keras hati! Sampai begitu engkau.”
“ Anak yang begitu cantik, begitu manis, begitu berbudi.”
“ Kepopuleran namanya berkuda dengan kepopulerannya dalam pergaulan dengan lelaki...... sejarah Midah Simanis Bergigi Emas mulailah dari sini sebagai penyanyi.”

b.      Haji Abdul
Secara Fisiologis        : Laki-laki berusia sekitar 43 tahun, bertubuh gemuk, berambut hitam.
Secara Sosiologis       : Taat beragama, Ayah Midah, pengusaha yang mempunyai toko kulit, seorang Haji, keluarga terpandang, kalangan menengah atas, berasal dari Cibatok tetapi sekarang tinggal di Jakarta, berpendidikan.
Secara Psikologis       : Lemah lembut tetapi tempramental, sombong, serakah, merasa diri paling shaleh, paling dikasihi Tuhan, paling benar, merasa diri lebih baik dari orang lain, tetapi akhirnya sadar dan memperbaiki dirinya diakhir cerita, beragama islam.

“ Tiap hari ia bawa tubuhnya yang mulai menggemuk itu pergi ke toko kulitnya.”
“ Dan Haji Abdul tidaklah merugi tiap hari mengucapkan syukur kepada Tuhannya.......”
“ Dan karena keimanannya juga ia tak pernah mencurigai siapapun.”
“ Ia berpuasa. Ia bersedekah...... berkali-kali sembahyangnya.”
“ Jauh-jauh Bapak sudah berteriak dengan suara kejam: haram! Haram! Siapa memutar lagu itu di rumah?..... Ia tampar gadis itu pada pipinya..... siapa mengajari engkau menyanyi lagu haram ini? Tangannnya telah melayang untuk sekali lagi mendarat di kepala Midah.”
“ Siapa yang mengajar? Jawab! Kalau tidak, aku banting kau di lantai...... dan karena amarahnya tidak dapat ditahannya lagi, semua orang yang bekerja di dapur diusirnya hari itu juga.”
“ Bahwa sedekah itu pun di maksudkan untuk mengucapkan syukur bukan saja karena kehendaknya terkabul tetapi karena Tuhan telah mengampuni kemungkirannya.”
“Abdul merasa bersalah karena gila pujian.”
“ Ah, sudara manusia ini kenal satu sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri...... ”

c.       Nyonya Abdul
Secara Fisiologis        : Perempuan berusia sekitar 38 tahun
Secara Sosiologis       : Taat beragama, Ibu Midah, istri dari Haji Abdul, keluarga terpandang, kalangan menengah atas, berpendidikan, tinggal di Jakarta.
Secara Psikologis       : Acuh tak acuh, terlalu takut pada suami, beragama islam.
“ Ibunya juga tak bisa berbuat apa-apa. Dihadapan Bapaknya, ibunya tak memiliki kekuatan.”
“ Emak tidak melindungi Midah, hanya memandangi dua orang itu dengan mata kosong dari segala kesan.”
“ Aku bersalah karena tidak pernah memperdulikannya. Tapi sekarang semuanya bisa diperbaiki.”
“ Ia terlampau bersemangat dengan maksud-maksudnya hendak menebus segala dosa-dosanya kepada anaknya.”

d.      Hadji Terbus
Secara Fisiologis        : Laki-laki berusia sekitar 45 tahun, berperawakan gagah, tegap, berkumis lebat, bermata tajam, perutnya menonjol keluar, gemuk.
Secara Sosiologis       : Taat beragama, Suami Midah yang dipilih oleh Haji Abdul, mempunyai sawah banyak, kerbau berpuluh-puluh, seorang Haji, keluarga terpandang, kalangan menengah atas, berasal dari Cibatok, berpendidikan, memiliki istri banyak tersebar di seluruh Cibatok.
Secara Psikologis       : Serakah, sombong, beragama Islam.
“ Ia punya sawah banyak, kerbau berpuluh-puluh, ibadatnya kuat.”
“ Hadji Terbus dari Cibatok-seorang yang berpeawakan gagah, tegap, berkumis lebat, dan bermata tajam. Perutnya yang menonjol ke depan dan langkahnya yang tidak pernah berisi kebimbangan, menandakan ia seorang lelaki yang mahir dalam memerintah dan biasa hidup dalam kekayaan.”
“ Hadji Terbus bukan bujang dan bukan muda. Bininya telah tersebar banyak di seluruh Cibatok.”

e.       Riah
Secara Fisiologis        : Perempuan berusia sekitar 40 tahun
Secara Sosiologis       : Bekas babu di rumah Haji Abdul, kalangan menengah bawah, bertahun-tahun menjadi babu dirumah Haji Abdul.
Secara Psikologis       : Penyayang, baik hati, dewasa, keibuan, jujur, beragama islam.
“ Riah bekas babunya itu.”
“ Bertahun-tahun aku membujang pada Bapakmu.”
“ Orang sebagai Riah yang tak ada lain modalnya daripada kejujurannya sendiri, selalu mencoba berbuat baik untuk orang lain”
“ Juga ia ingat pada Riah. Sekilas ingin ia mengunjungi perempuan miskin yang baik hati itu.”

f.       Mimin
Secara Fisiologis        : Laki-laki berusia sekitar 17 tahun, bertubuh kurus.
Secara Sosiologis       : Anggota rombongan pengamen kroncong, kalangan menengah bawah, tidak berpendidikan.
Secara Psikologis       : Cemburuan, Mudah tersinggung, suka menyimpan dendam, memiliki nafsu tinggi.
“ dan waktu rombongan berangkat lagi kearah yang dituding oleh perempuan itu, Min masih tinggal berdiri di tempatnya sambil memandangi Midah.”
“ Min yang juga kurus seperti tubuhnya itu, tak lepas-lepas memandanginya.”
“ Nampak seri cemburu memancar di wajah Min dan perempuan bergigi emas.”
“ Min mencoba-coba mematahkan cemburu hatinya.”
“ Mengapa takut padaku? Suara lelaki disampingnya. Aku sudah dewasa seperti yang lain-lain..... Mimin kurus menjadi panas oleh suara-suara itu dan tubuhnya diterkamnya mentah-mentah...... tetapi Mimin tidak peduli. Tubuhnya telah terguncang-guncangan oleh terkaman itu...... Mimin kurus tak berani memperlihatkan tampang dan terengah-engah di tempatnya.”
“ Mimin kurus yang dihembalang oleh kekecewaannnya dahulu lambat laun menyimpan dendam dalam hati.”

g.      Perempuan tua bergigi emas (Nini/Gobang Bolong)
Secara Fisiologis        : Perempuan berusia sekitar 45 tahun, kurus, tua, suaranya tidak lebih bagus dari suara Midah, bergigi emas.
Secara Sosiologis       : Penyanyi dalam rombongan pengamen keroncong, kalangan menengah bawah, tidak berpendidikan.
Secara Psikologis       : Cemburuan, iri, dengki, tempramental, mudah tersinggung, suka menyimpan dendam.
“ Dia sudah tua, tidak menarik pendengar lagi. Suaranya pun tak sebagus engkau.”
“ Sabar, Nini. Kalau engkau begitu cemburuan, aku takut engkau jatuh jadi pengemis di Pasar Senen.”
“ Juga Nini, yang memandang Simanis sebagai saingannya, berpihak kepadanya.”
“ Kalau hanya datang untuk dia, tuan tidak perlu datang, teriak Nini.”
“ Dan kejadian itu disambut dengan ejekan yang lebih hebat oleh Nini..... Dia ikut-ikut bergigi emas! Teriak Nini dengan sengitnya...... sebuah tempelang melayang pada pipi Midah. Ia terjatuh di samping anaknya. Tiru-tiru pakai gigi emas. Tidak laku gigimu itu! Teriak Nini.”


h.      Rois
Secara Fisiologis        : Laki-laki berusia sekitar 38 tahun, kurus
Secara Sosiologis       : Kepala rombongan pengamen keroncong, kalangan menengah bawah, tidak berpendidikan.
Secara Psikologis       : Dewasa, dapat dipercaya, baik terhadap Midah, tetapi memiliki maksud tersendiri karena ingin menikahi Midah, namun akhirnya kebaikan itu berubah menjadi benci.

“ Tiba-tiba Rois kepala rombongan, memperhatikannya lagi.”
“ Karena itu aku datang menolongmu. Kepala rombongan itu duduk di dekatnya, jangan takut. Aku juga punya anak. Dan tiap lelaki yang tidak menghormati makhluk yang masih di kandungkan tidak patut lebih lama hidup di atas dunia ini.”
“ Engkau memang dapat dipercaya, ia menyinarkan pandangan pada kepala rombongan. Lelaki itu hanya mengangguk.”
“ Aku mengerti juga, Manis. Tetapi engkau harus pula ingat, tiada bekerja engkau pun tiada menerima nafkah...... Tapi toh aku usahakan agar engkau tetap menerima nafkah sekalipun tidak mungkin sebanyak yang biasa engkau terima.”
“ Biarlah kita kawin saja, Manis. Engkau tinggal di rumah merawat anak ini, dan bila aku pulang, makan sudah sedia....... Mengapa tidak mungkin, Manis? Nama sebutan Midah diucapkan kepala rombongan itu dengan perasaan kasih dan berahi sekaligus.”
“ Kepala rombongan sekali-dua kali mengulangi lamarannnya. Tetapi Simanis tetap menolak...... Sikap-sikap yang keluar dari alasan-alasan itu menjengkelkan kepala rombongan-dan dari jengkel akhirnya berubah menjadi benci.”
“ Manis, kata kepala rombongan itu akhirnya. Dengan gigi emasmu itu engkau bertambah manis. Sayang tak mau jadi bini ku. Jadi........ ”


i.        Mak Pecak
Secara Fisiologis        : Laki-laki berusia sekitar 30 tahun, bermata satu.
Secara Sosiologis       : Anggota rombongan pengamen keroncong pemain gitar, kalangan menengah bawah, tidak berpendidikan.
Secara Psikologis       : Bernafsu tinggi, munafik.
“ Ah. Mengapa malu menyebut nama? Seorang tukang gitar yang bermata satu mencoba menolong kebingungan Midah. Lihatlah aku sebagai contoh. Mataku Cuma sebelah, dan di rombongan ini aku disebut Mak Pecak.”
“ Dua orang lagi, yang juga mengalami kegagalan dalam percobaannya untuk mempergunakan jenis Midah, berpihak belaka pada Nini dan Mimin.”

j.        Dul Gendang
Secara Fisiologis        : Laki-laki berusia sekitar 30 tahun
Secara Sosilogis         : Pemain gendang dalam rombongan pengamen keroncong, kalangan menengah bawah, tidak berpendidikan.
Secara Psikologis       : Bernafsu tinggi, munafik.
“ Situkang gendang yang ada di sampingmu itu Dul Gendang.”
“ Dua orang lagi, yang juga mengalami kegagalan dalam percobaannya untuk mempergunakan jenis Midah, berpihak belaka pada Nini dan Mimin.”

k.      Bidan
Secara Fisiologis        : Perempuan berusia sekitar 28 tahun.
Secara Sosiologis       : Bidan rumah sakit tempat Midah melahirkan anaknya, berpendidikan.
Secara Psikologis       : mudah tersinggung, sombong, sinis.
“ Kami tidak terima orang. Semua tempat sudah dipesan...... pulang saja. Kan ada dukun kampung di sana?........ Pulang buruan!”
“ Seorang bidan berdiri di dekatnya. Ia memandanginya lama-lama..... Aku disin kerja bukan main-main.”
“ O, mengertilah aku. Mengerti benar..... Memang manis. Patut tak tau lakinya.”
“ Kenapa anakmu? Sambut seorang bidan sambil tersenyum mengejek.”
“ Jadi harus anak empok dianggap anak haram?........ bidan itu pun pergi dengan paras muram.”

l.        Ahmad           
Secara Fisiologis        : Laki-laki berusia sekitar 24 tahun.
Secara Sosiologis       : Seorang polisi lalulintas, pemusik, berasal dari kalangan menengah atas, berpendidikan.
Secara Psikologis       : Ramah, baik hati pada awalnya, misterius, periang, tanpa beban, sikapnya lurus, tingkah lakunya bebas, tetapi diakhir cerita ia bejad, ia merusak Midah, pengecut, tidak memiliki rasa tanggung jawab, egois.
“ Ah, saudara, aku sendiri tukang musik juga.”
“ Keramahannya itu melenyapkan kemalu-maluan Midah terhadapnya. ”
“ Biarlah dia ikut menyanyi sambil menggendong anaknya, katanya...... baiklah. Baiklah harap dia jangan bayak diganggu. Dia baru melahirkan dan sebaiknya mendapat perawatan yang baik. Tetapi sebagian dari kalian memusuhinya. Itu aku tidak setuju.”
“ Kalau saja engkau lelaki, engkau akan ku bawa pulang dan tidur bersama-sama dengan aku. Tapi kalau engkau suka, mau juga aku carikan kamar untukmu. Mau?....... setidak-tidaknya anakmu tidak selamanya kena angin.”
“ Ahmad memperbaiki letak pakaiannya. Mencubit pipi anak itu dengan hati-hati, menganggung pada Midah, kemudian lenyap dari kamar.”
“ Ahmad dengan sikapnya yang lurus dan tingkah lakunya yang bebas.”
“Ia anak muda yang riang gembira dan tidak pernah tersenggol oleh masalah yang mendalam.”
“ Aku tidak keberatan apabila engkau tak mau mengakui anakmu sendiri. Aku pun tidak keberatan kau tuduh bercampur dengan lelaki lain. Baiklah semua ini aku ambil untuk diriku sendiri. Dan engkau Kak, engkau boleh terpandang sebagai orang baik-baik untuk selama-lamanya. Biarlah segala yang kotor aku ambil sebagai tanggung jawabku sendiri. (Ahmadpun terdiam oleh ucapan itu) setidak-tidaknya aku mengerti, bukan engkau tidak mau mengakui anakmu sendiri. Bukannya engkau membimbangkan cintaku padamu. Tapi kini aku mengetahui. Seorang yang kucintai itu adalah pengecut yang tidak punya keberanian  sedikitpun juga! Itupun aku tak menyesal. Karena tak ada gunanya lagi. Biarlah semua itu. Hanya satu yang tidak akan terlupa olehmu. Anak ini adalah anakmu.”

m.    Nyonya Rumah
Secara Fisiologis        : Perempuan berusia sekitar 40 tahun,
Secara Sosiologis       : Pemilik kontrakan tempat Midah tinggal, kalangan menengah atas, berpendidikan.
Secara Psikologis       : Penyayang,tempramental, tegas, beragama islam.
“ Nyonya rumah masuk dan membawakan minuman. Aku harap nyonya senang tinggal di sini.”
“ Ah, Manis anakku. Dengarkan dulu ibumu ini. Anakmu diambil oleh ibumu.”
“ Tambah lama suara Nyonya Rumah tambah meningkat...... Kalau engkau tak kawini Ahmad, seru Nyonya Rumah sekali lagi, sekarang juga engkau harus angkat pantat dari sini.”

n.      Rodjali
Secara Fisiologis        : Bayi berusia sekitar 6 bulan, bertubuh kurus, tidak terurus.
Secara Sosiologis       : Anak Midah dengan Hadji Terbus.
Secara Psikologis       : Bayi yang masih belum mengerti apa-apa.
“ Nyonya Rumah mengeluarkan seorang anak kecil yang kurus dan nampak tak terpelihara.”
“ Masya Allah! Inikah cucuku? Alangkah kurus.”

2.      Cara Tokoh ditampilkan
a.       Midah
Di tampilkan dengan metode penokohan dramatik, kontekstual dan diskursif.
Dramatik         : “ Anakku yang paling manis! Anakku yang keras hati! Sampai begitu engkau.”
Kontekstual     : “ Kepopuleran namanya berkuda dengan kepopulerannya dalam pergaulan dengan lelaki...... sejarah Midah Simanis Bergigi Emas mulailah dari sini sebagai penyanyi.”
Diskursif          : “ Nama tokoh utama itu Midah, pendek sekali namanya. Hanya Midah. Kulitnya kuning. Wajahnya agak bulat. Kalau tersenyum ih manisnya. Cantik parasnya, lentik suaranya, kuat hatinya.”
“ Midah begitu manis dan montok.”
“ Anak yang begitu cantik, begitu manis, begitu berbudi.”

b.      Hadji Abdul
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik, Kontekstual, dan Diskursif.
Dramatik         : “ Jauh-jauh Bapak sudah berteriak dengan suara kejam: haram! Haram! Siapa memutar lagu itu di rumah?..... Ia tampar gadis itu pada pipinya..... siapa mengajari engkau menyanyi lagu haram ini? Tangannnya telah melayang untuk sekali lagi mendarat di kepala Midah.”
“ Siapa yang mengajar? Jawab! Kalau tidak, aku banting kau di lantai...... dan karena amarahnya tidak dapat ditahannya lagi, semua orang yang bekerja di dapur diusirnya hari itu juga.”
Kontekstual     : “ Lambat laun Hadji Abdul dianggap keramat oleh kelilingnya. Sekali dua kali datang orang meminta berkah......... Akhirnya namanya demikian populer dan di depan gelar Hadjinya orang tambahi dengan Kiai Dukun.”
Diskursif          : “ Tiap hari ia bawa tubuhnya yang mulai menggemuk itu pergi ke toko kulitnya.”
“ Dan Haji Abdul tidaklah merugi tiap hari mengucapkan syukur kepada Tuhannya.......”
“ Dan karena keimanannya juga ia tak pernah mencurigai siapapun.”
“ Ia berpuasa. Ia bersedekah...... berkali-kali sembahyangnya.”
“ Bahwa sedekah itu pun di maksudkan untuk mengucapkan syukur bukan saja karena kehendaknya terkabul tetapi karena Tuhan telah mengampuni kemungkirannya.”
“Abdul merasa bersalah karena gila pujian.”
“ Ah, sudara manusia ini kenal satu sama lain, tapi tidak dengan dirinya sendiri...... ”


c.       Nyonya Abdul
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik.
Dramatik         : “ Ibunya juga tak bisa berbuat apa-apa. Dihadapan Bapaknya, ibunya tak memiliki kekuatan.”
 “ Aku bersalah karena tidak pernah memperdulikannya. Tapi sekarang semuanya bisa diperbaiki.”

d.      Hadji Terbus
Ditampilkan dengan metode penokohan Kontekstual dan Diskursif.
Kontekstual     : “ Ia punya sawah banyak, kerbau berpuluh-puluh, ibadatnya kuat.”
“ Hadji Terbus bukan bujang dan bukan muda. Bininya telah tersebar banyak di seluruh Cibatok.”
Diskursif          : “ Hadji Terbus dari Cibatok-seorang yang berpeawakan gagah, tegap, berkumis lebat, dan bermata tajam. Perutnya yang menonjol ke depan dan langkahnya yang tidak pernah berisi kebimbangan, menandakan ia seorang lelaki yang mahir dalam memerintah dan biasa hidup dalam kekayaan.”

e.       Riah
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik dan Kontekstual.
Dramatik         : “ Bertahun-tahun aku membujang pada Bapakmu.”
Kontekstual      : “ Orang sebagai Riah yang tak ada lain modalnya daripada kejujurannya sendiri, selalu mencoba berbuat baik untuk orang lain”
“ Juga ia ingat pada Riah. Sekilas ingin ia mengunjungi perempuan miskin yang baik hati itu.”

f.       Mimin
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik, Kontekstual dan Diskursif.
Dramatik         : “ Mengapa takut padaku? Suara lelaki disampingnya. Aku sudah dewasa seperti yang lain-lain..... Mimin kurus menjadi panas oleh suara-suara itu dan tubuhnya diterkamnya mentah-mentah...... tetapi Mimin tidak peduli. Tubuhnya telah terguncang-guncangan oleh terkaman itu...... Mimin kurus tak berani memperlihatkan tampang dan terengah-engah di tempatnya.”
Kontekstual      : “ dan waktu rombongan berangkat lagi kearah yang dituding oleh perempuan itu, Min masih tinggal berdiri di tempatnya sambil memandangi Midah.”
Diskursif          : “ Min yang juga kurus seperti tubuhnya itu, tak lepas-lepas memandanginya.”

g.      Perempuan tua bergigi emas (Nini/Gobang Bolong)
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik.
Dramatik         : “ Dia sudah tua, tidak menarik pendengar lagi. Suaranya pun tak sebagus engkau.”
“ Sabar, Nini. Kalau engkau begitu cemburuan, aku takut engkau jatuh jadi pengemis di Pasar Senen.”
 “ Kalau hanya datang untuk dia, tuan tidak perlu datang, teriak Nini.”
“ Dan kejadian itu disambut dengan ejekan yang lebih hebat oleh Nini..... Dia ikut-ikut bergigi emas! Teriak Nini dengan sengitnya...... sebuah tempelang melayang pada pipi Midah. Ia terjatuh di samping anaknya. Tiru-tiru pakai gigi emas. Tidak laku gigimu itu! Teriak Nini.”

h.      Rois
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik.
Dramatik         : “ Karena itu aku datang menolongmu. Kepala rombongan itu duduk di dekatnya, jangan takut. Aku juga punya anak. Dan tiap lelaki yang tidak menghormati makhluk yang masih di kandungkan tidak patut lebih lama hidup di atas dunia ini.”
 “ Aku mengerti juga, Manis. Tetapi engkau harus pula ingat, tiada bekerja engkau pun tiada menerima nafkah...... Tapi toh aku usahakan agar engkau tetap menerima nafkah sekalipun tidak mungkin sebanyak yang biasa engkau terima.”
“ Biarlah kita kawin saja, Manis. Engkau tinggal di rumah merawat anak ini, dan bila aku pulang, makan sudah sedia....... Mengapa tidak mungkin, Manis? Nama sebutan Midah diucapkan kepala rombongan itu dengan perasaan kasih dan berahi sekaligus.”
 “ Manis, kata kepala rombongan itu akhirnya. Dengan gigi emasmu itu engkau bertambah manis. Sayang tak mau jadi bini ku. Jadi........ ”
i.        Mak Pecak
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik.
Dramatik         : “ Ah. Mengapa malu menyebut nama? Seorang tukang gitar yang bermata satu mencoba menolong kebingungan Midah. Lihatlah aku sebagai contoh. Mataku Cuma sebelah, dan di rombongan ini aku disebut Mak Pecak.”

j.        Dul Gendang
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik.
Dramatik         : “ Situkang gendang yang ada di sampingmu itu Dul Gendang.”

k.      Bidan
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik.
Dramatik         : “ Kami tidak terima orang. Semua tempat sudah dipesan...... pulang saja. Kan ada dukun kampung di sana?........ Pulang buruan!”
“ O, mengertilah aku. Mengerti benar..... Memang manis. Patut tak tau lakinya.”
“ Kenapa anakmu? Sambut seorang bidan sambil tersenyum mengejek.”
“ Jadi harus anak empok dianggap anak haram?........ bidan itu pun pergi dengan paras muram.”

l.        Ahmad
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik dan Kontekstual.
Dramatik         : “ Ah, saudara, aku sendiri tukang musik juga.”
 “ Biarlah dia ikut menyanyi sambil menggendong anaknya, katanya...... baiklah. Baiklah harap dia jangan bayak diganggu. Dia baru melahirkan dan sebaiknya mendapat perawatan yang baik. Tetapi sebagian dari kalian memusuhinya. Itu aku tidak setuju.”
“ Kalau saja engkau lelaki, engkau akan ku bawa pulang dan tidur bersama-sama dengan aku. Tapi kalau engkau suka, mau juga aku carikan kamar untukmu. Mau?....... setidak-tidaknya anakmu tidak selamanya kena angin.”
Kontekstual     : “ Ahmad dengan sikapnya yang lurus dan tingkah lakunya yang bebas.”
“Ia anak muda yang riang gembira dan tidak pernah tersenggol oleh masalah yang mendalam.”

m.    Nyonya Rumah
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik.
Dramatik         : “ Nyonya rumah masuk dan membawakan minuman. Aku harap nyonya senang tinggal di sini.”
“ Ah, Manis anakku. Dengarkan dulu ibumu ini. Anakmu diambil oleh ibumu.”
“ Tambah lama suara Nyonya Rumah tambah meningkat...... Kalau engkau tak kawini Ahmad, seru Nyonya Rumah sekali lagi, sekarang juga engkau harus angkat pantat dari sini.”

n.      Rodjali
Ditampilkan dengan metode penokohan Dramatik dan Kontekstual.
Dramatik         : “ Masya Allah! Inikah cucuku? Alangkah kurus.”
Kontekstual     : “ Nyonya Rumah mengeluarkan seorang anak kecil yang kurus dan nampak tak terpelihara.”

3.      Jenis Tokoh
a.       Midah, tokoh utama, tokoh bulat/kompleks, tokoh real, dan tokoh individual.
b.      Hadji Abdul, tokoh utama, tokoh bulat/kompleks, tokoh real, dan tokoh individual.
c.       Nyonya Abdul, tokoh utama, tokoh bulat/kompleks, tokoh real, dan tokoh individual.
d.      Hadji Terbus, tokoh tambahan, tokoh pipih/sederhana, tokoh simbolik.
e.       Riah, tokoh tambahan, tokoh pipih/sederhana, tokoh real, dan tokoh individual.
f.       Mimin, tokoh tambahan, tokoh bulat/kompleks, tokoh real, dan tokoh individual.
g.      Perempuan tua bergigi emas (Nini/Gobang Bolong), tokoh tambahan, tokoh pipih/sederhana, tokoh real, dan tokoh individual.
h.      Rois, tokoh tambahan, tokoh bulat/kompleks, tokoh real, dan tokoh individual.
i.        Mak Pecak, tokoh tambahan, tokoh pipih/sederhana, tokoh real, dan tokoh individual.
j.        Dul Gendang, tokoh tambahan, tokoh pipih/sederhana, tokoh real, dan tokoh individual.
k.      Bidan, tokoh tambahan, tokoh pipih/sederhana, tokoh real, dan tokoh individual.
l.        Ahmad, tokoh utama, tokoh bulat/kompleks, tokoh real, dan tokoh individual.
m.    Nyonya Rumah, tokoh tambahan, tokoh bulat/kompleks, tokoh real, dan tokoh individual
n.      Rodjali, tokoh tambahan, tokoh pipih/sederhana, tokoh real, dan tokoh individual.

C.    Latar
1.      Waktu
a.       Sore Hari, “ Sore hari ia pulang kembali ke rumah di antara anaknya si Midah dan Bininya.”
b.      Di hari yang mendung, “ demikian pada suatu hari yang mendung, Midah dikaweinkan dengan haji Terbus dari Cibatok”.
c.       Malam Hari, “ waktu malam tiba, ia mulai ragu......”
d.      Siang Hari, “ Tetapi tambah siang, tambah jauh rombongan itu menghindari tempat-tempat ramai ”
e.       Pagi Hari, “ waktu pagi-pagi bangun ia merasa sangat lelah ”
f.       Suatu Hari, “ suatu hari seorang bidan berkata kepadanya”
g.      Kemarin, “ Kemarin anaknya diselamatkan dan dinamai Rodjali.”
h.      Jam Enam, “ bahwa jam enam suaminya nanti datang ”
i.        Seperempat Jam, “ seperempat jam kemudian sampailah mereka di gedung studio ”
j.        Jam sebelas malam, “sayup-sayup ia dengar jam sebelas yang dipukul bersambut-sambutan ”
k.      Berbulan-bulan kemudian, “ berbulan-bulan kemudian setelah dianggapnya semuanya telah menjadi reda, baru ia memperlihatkan dirinya ”

2.      Ruang dan Tempat
a.           Dirumah Hadji Abdul, “Pasti akan datang berjejal di rumah dan mengagumi mereka........”
b.          Di toko kulit Hadji Abdul, “Tiap hari ia bawa tubuhnya yang mulai menggemuk itu, pergi ke toko kulitnya.”
c.           Jakarta, “........ semua kawan-kawannya yang dahulu begitu penakut tak berani merantau ke Jakarta.”
d.          Cibatok, “ Kalau mereka kelak pulang ke Cibatok..........”
e.           Di jalan, “ dan di sepanjang jalan ia pandangi lalu lintas yang begitu gelisah,.......”
f.           Di sekitar kampung duri, “ dalam pengembaraannya-dimana ia tinggal sejak dilahirkan.........”
g.          Glodok dan Pasar Baru, “ ia terus mengikuti dari kampung duri hingga glodok, dan dari Glodok ke Pasar Baru........”
h.          Di Bale, “ Midah, tidur-tiduranlah engkau di Bale”
i.            Di Rumah Riah, “ Riah segera pulang. Didapatinya Midah sedang menyapu”
j.            Pasar Baru, Jati Negara, Sawah Besar, Tanah Abang, Priok, “ Glodok, Pasar Baru, Jati Negara, Senen, Sawah Besar, Tanah Abang, Priok. Berjam-jam ia mondar-mandir”
k.          Di Hotel, “ akhirnya ia memberanikan diri masuk ke dalam hotel kecil ”
l.            Di Senen, “ di Senen ia temui rombongan keroncong yang agak besar ”
m.        Di Warung, “ di Warung tempat mereka makan ia segera masuk dan memesan makanan ”
n.          Di Restoran, “dengan peci mimin kurus ia masuki restoran-restoran, melemparkan senyum ke kiri dan ke kanan ”
o.          Di Jati Negara, “ kami sudah punya penginapan sendiri di Jati Negara ”
p.          Di Kamar, “ waktu kamar telah digelapkan, dan hanya ia sendiri tinggal jagadi samping rombongan......”
q.          Di penginapan rombongan, “ .......malam datang pula dan rombongan itu pulang ke penginapan ”
r.            Di Rumah Sakit, “ waktu sakit pertama menyerang perutnya, buru-buru ia pergi ke rumah  sakit ”
s.           Di atas ranjang, “ waktu ia bangun kembali ternyata ia telah terbujur di atas ranjang ”
t.            Kamar Bayi, “ dengan kaki gemetar Midah mengikuti bidan itu pergi ke kamar bayi ”
u.          Kantor, “ ia diantarkan ke kantor, dan paras-paras masam menerimanya dengan dingin ”
v.          Becak, “ dipanggilnya sebuah becak ”
w.        Warung Kecil, “......makan di sebuah warung kecil, Midah tidaklah mendapat teguran ”
x.          Gang Kecil, “.......sedang menyusui anaknya di sebuah gang kecil”
y.          Tempat tukang gigi, “.........pergilah ia ke tukang gigi dan memasangkan sebuah gigi emas pada gigi taringnya”
z.           Di Meja, “ ia terjatuh di meja dan tidak bergerak-gerak ”
aa.       Kantor Polisi, “ tak bosan-bosannya ia datang ke kantorpolisi untuk menyakan bagaimana hasil mereka dalam mencari anaknnya ”
bb.      Depot-depot, “ ia menyanyi di depot-depot ”
cc.       Depot orang Tionghoa, “ dan pada suatu hari waktu ia sedang menyanyidi depot orang Tionghoa, seorang memberinya tepuk tangan ”
dd.     Stasiun Jati Negara, “ tunggulah aku nanti jam lima di depan stasiun Jati Negara ”
ee.       Tempat dokter kanak-kanak, “..... ia pergi ke tempat dokter kanak-kanak.”
ff.        Apotek, “..... dan kemudian membeli obat di Apotek.”
gg.      Matraman, “ Dengan beca ia dibawa kesekitar daerah Matraman.”
hh.      Sebuah kamar, “ Dimana sebuah kamar telah disediakan untuknya.”
ii.          Ambin kayu yang dialasi tikar, “ Ia letakkan anaknya di ambin kayu yang dialasi tikar.”
jj.          Kursi, “ Kemudian berdua mereka duduk di kursi yang telah tersedia.”
kk.      Pintu, “ Ia terdiam berdiri di pintu.”
ll.          Kamar Tamu, “...... Ahmad tinggal di kamar tamu bersama Midah.”
mm.  Di Radio, “ .... bahwa sekarang anaknya menyanyi di radio.”
nn.      Studio, “ Dan dengan becak, ia menuju ke studio.”
oo.      Gapura, “ Ia hanya menunggu di gapura, menunggu, dan menunggu.”
pp.      Pertengahan Jalan, “ di pertengahan jalan baru ia ingat.......”
qq.      Tanah Lapang Gambir, “ tanah lapang Gambir telah diselubungi rembang dan lampu jalanan telah menyala.......”
rr.         Tiang Pintu, “ ia hanya berpegangan di tiang pintu ”
ss.        Rumah Tionghoa Kawin, “ hari ini nyanyi di rumah Tionghoa kawin ”
tt.         Khalwat, “ akhirnya dengan tiada meminta izin terlebih dahulu ia pun sampai masuk ke dalam khalwat ”
uu.      Permadani, “ di letakkan tasbihnya diatas permadani ”
vv.      Taman Chairil Anwar, “ taman Chairil Anwar itu sudah gelap ”
ww.  Jalan Besar, “ ia bangkit dan lambat-lambat berjalan ke arah jalan besar ”
xx.      Di depan rumah, “ lama ia berhenti di depan rumah.........”
yy.      Ruang Depan, “......masuk ke dalam ruang depan yang rembang-rembang ”
zz.       Lantai, “ Bawaannya diletakkan di lantai.”
aaa.    Gapura Pagar, “ Kakinya dengan bimbang melangkah ke gapura pagar......”
bbb.  Teritis rumah, “ Sampai di teritis rumah, ia menengok ke belakang.....”
ccc.    Villa Peristirahatan, “ Sekali ia hidup untuk beberapa bulan di Villa peristirahatan......”

D.    Tema
Tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh pengarang atau penulis melalui karangannya (Gorys Keraf, 1994). Di dalam Novel “Midah Simanis Bergigi Emas” temanya yaitu kehidupan sosial kota Jakarta pada era 1950-an yang mengangkat kisah seorang perempuan muda yang begitu kuatnya untuk mempertahankan hidup. Perempuan itu dituturkan sebagai orang yang tak mudah menyerah dengan nasib hidup. Walaupun ia hanya menjadi penyanyi dengan panggilan ‘Simanis Bergigi Emas’ dalam kelompok pengamen keliling dari satu restoran ke restoran lainnya. Bahkan dari pintu ke pintu rumah warga. Hawa kehidupan jalanan yang liar dan ganas harus diarungi. Dan ia kalah secara moral dalam pertarungan hidup itu. Ia menjadi penyanyi sekaligus pelacur. Novel tersebut juga memperlihatkan ketegangan antara jiwa seorang humanis dan moralis.

E.     Tipe
Di dalam Novel “Midah simanis bergigi emas” tipe novelnya yaitu tipe sosial, moral.


F.     Nilai 
Nilai yang terkandung dalam novel ini adalah nilai sastra, nilai spiritual, nilai kemanusiaan, nilai sosial, nilai kekeluargaan.

G.    Fungsi
Di dalam novel ini terkandung beberapa fungsi yaitu fungsi eksperensial, fungsi informatif, fungsi penyadaran, dan fungsi rekreatif.
Fungsi Eksperensial    : Pengalaman hidup Midah yang sangat berharga, bagaimana seorang perempuan yang begitu kuatnya untuk bertahan hidup.
Fungsi Informatif        : Memberikan pengetahuan kepada pembaca bahwa pada tahun 1950-an tepatnya di Jakarta hawa kehidupan jalanannya sangat liar dan ganas.
Fungsi Penyadaran      : Memberikan penyadaran kepada pembaca bahwa sebagai manusia kita tidak boleh sombong dan serakah.
Fungsi Rekreatif         : Setiap karya sastra pasti berfungsi menghibur.

H.    Pengalaman
            Pengalaman yang bisa didapat dari novel ini yaitu pengalaman humanistis dan pengalaman etis-moral.









DAFTAR PUSTAKA

Ducrot, Osawald dan Tzvetan Todorov. 1981. Encyclopedic Dictionary of the Sciences of Language. Oxford: Blackwell Reference.
Friedman, N. 1975. From and Meaning in Fiction. Athens: Ca.
Santosa, Eko dkk. 2008. Seni Teater Jilid 1 untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Toer, Pramoedya Ananta. 2010. Midah Simanis Bergigi Emas. Jakarta: Lentera Dipantara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Puisi 'Kesabaran' Karya Chairil Anwar

Esai Kajian Struktural terhadap Puisi 'Jembatan' karya Sutardji Calzoum Bachri

contoh laporan buku