Esai Kajian Struktural terhadap Puisi 'Jembatan' karya Sutardji Calzoum Bachri
“JEMBATAN”
Karya Sutardji Calzoum Bachri
ESAI
diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Kajian Puisi Indonesia
dosen
pengampu: Drs. H. Ma’mur Saadie, M.Pd
disusun
oleh
Anisa
Prasetia Novia NIM 1103944
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2012
ANALISIS PUISI “JEMBATAN” KARYA
SUTARDJI CALZOUM BACHRI DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN STRUKTURAL
Oleh
Anisa Prasetia Novia
NIM 1103944
Dik B 2011
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Puisi
sebagai sebuah karya sastra dapat dikaji dengan berbagai macam pendekatan,
salah satunya yaitu pendekatan struktural. Dalam ilmu sastra pengertian
strukturalisme sudah dipergunakan dengan berbagai cara. Yang dimaksud dengan
istilah struktur ialah kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok gejala
(Hartoko, 1986:37).
Sementara
itu, menurut Ratna (2008:91) bahwa strukturalisme berarti paham mengenai
unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan mekanisme antarhubungannya, di
satu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan unsur lainnya, di pihak yang
lain hubungan antara unsur dengan totalitasnya.
Struktural
dalam sajak atau karya sastra yang menganggap bahwa sebuah karya sastra adalah
sebuah struktur. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan
susunan unsur-unsur yang bersistem, yang di antara unsur-unsurnya terjadi
hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam
sastra bukan hanya berupa kumpulan-kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda
yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling berkaitan, saling
terikat dan saling bergantung (Pradopo, 2009:118).
Di
dalam pendekatan struktural objek kajiannya ialah sistem sastra. Analisis
struktur sastra ini dilakukan secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun
realitas sosialnya. Yang dimaksud dengan otonom yakni dapat dipahami sebagai
kesatuan yang bulat. Jadi, pendekatan struktural mengkaji struktur karya sastra
dimana strukturnya merupakan satu kesatuan yang bulat yang tak dapat
dipisah-pisahkan. Dengan kata lain bagian-bagian pembentuknya tidak dapat
berdiri sendiri di luar dari pada struktur itu.
Ciri
khas teori struktural adalah adanya anggapan bahwa dalam diri karya sastra
merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan
yang bulat. Secara definitif strukturalisme memberikan perhatian terhadap
analisis unsur-unsur. Berikut akan saya tunjukkan kajian terhadap puisi
“Jembatan” karya Sutardji Calzoum Bachri dengan menggunakan pendekatan pengkajian
struktural.
JEMBATAN
Sutardji Calzoem Bachri
Sedalam-dalam
sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Puisi di atas, dikaji mengenai struktur
bathin dan struktur lahirnya. Saya akan menjelaskannya satu persatu dengan
lebih terperinci. Pertama saya akan menjelaskan mengenai struktur bathin yang
ada di dalam puisi “Jembatan” karya Sutardji Calzoum Bachri ini. Struktur
bathin tersebut terdiri dari tema, perasaan (feeling), nada dan suasana, dan
amanat.
Tema merupakan pokok atau subject-matter
yang dikemukakan oleh penyair (Waluyo, 1987:106). Ungkapan tersebut
mengindikasikan bahwa tema merupakan sebuah atmosfer dari sebuah puisi, sebuah
puisi pasti memiliki sebuah tema (umumnya satu) yang melingkupi keseluruhan
puisi. Oleh sebab itu dalam menafsirkan tema dalam puisi, puisi tersebut harus
ditafsirkan secara utuh. Tema di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum
Bachri yaitu tema sosial, saya menafsirkan demikian karena puisi ini menceritakan
kehidupan sosial masyarakat yang sangat timpang antara si kaya dan si miskin.
Hal tersebut dapat dilihat dari judul puisinya yakni “Jembatan”. Menurut pendapat saya, yang dimaksud dengan
“Jembatan” di sana ialah jurang pemisah yang sangat jelas terlihat antara kaum
borjuis dengan rakyat jelata. Hal tersebut seiring dengan cara memahami puisi
yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Mursal Esten (1995:32) “Perhatikanlah judulnya.
Judul adalah sebuah lubang kunci untuk keseluruhan makna puisi”. Dalam puisi
tersebut, mengungkapkan bagaimana seorang tokoh melihat keadaan di sekitarnya
yang sangat memprihatinkan. Ia melihat bagaimana orang-orang miskin berusaha
mempertahankan hidup dengan susah payah, sedangkan kaum borjuis dengan mudah
membangun gedung-gedung, toko-toko, supermarket, jembatan, jalan, yang hanya
dapat dilihat oleh orang-orang miskin tanpa bisa merasakan.
Sedalam-dalam sajak takkan mampu
menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Keseluruhan isi puisi di atas, menunjukan berbagai
jenis ketimpangan sosial yang terjadi antara kaum borjuis dan rakyat jelata. Hal
ini di perkuat dengan kalimat “tapi siapakah yang akan mampu menjembatani
jurang di antara kita?” di sini jelas bahwa dengan jelas si tokoh melihat
jurang pemisah di antara si kaya dengan si miskin. Dengan demikian maka jelas
bahwa tema yang terkandung dalam puisi di atas adalah tema sosial.
Perasaan (feeling) adalah suasana perasaan penyair
yang ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1987:121).
Perasaan setiap penyair tentunya berbeda, hal inilah yang membedakan
sikap penyair yang satu dengan penyair yang lain walaupun terhadap sesuatu hal
yang sama. Saya berpendapat bahwa perasaan sosial penyair menjadi hal utama
yang melandasi terciptanya puisi tersebut. Perasaan sosial ini membuat penyair
ingin mengungkapkan apa yang mengganjal di dalam hatinya mengenai ketimpangan
sosial yang terjadi di dalam masyarakat, ia merasakan kesedihan melihat ketimpangan
tersebut.
Sedalam-dalam sajak takkan mampu
menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Menurut penulis isi keseluruhan puisi tersebut
menunjukkan bagaimana seorang tokoh melihat ketimpangan sosial yang terjadi di
masyarakat dan tokoh tersebut merasa sedih dan miris atas apa yang terjadi.
Keseluruhan isi puisi tersebut saling keterkaitan membentuk satu makna yakni
kesedihan seorang tokoh melihat ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin.
Dengan demikian maka penulis menyimpulkan bahwa perasaan yang dirasakan penyair
dalam puisinya adalah perasaan sedih dan miris melihat ketimpangan yang terjadi
di masyarakat antara si kaya dan si miskin.
Nada adalah sikap penyair dalam menyampaikan puisi
terhadap pembaca, beraneka ragam sikap yang sering digunakan oleh penyair, seperti
“…apakah dia ingin bersikap menggurui, menasihati, menyindir, atau bersikap
lugas…”(Waluyo, 1987:125). Suasana adalah keadaan jiwa pembaca setelah membaca
puisi itu, atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji
Calzoum Bachri ialah bahwa puisi tersebut bernada lugas, sebab penyair
begitu lugas dalam mengemukakan bagaimana ketimpangan sosial yang terjadi
antara si miskin dan si kaya. Puisi yang berjudul ‘Jembatan’ mencerminkan
bagaimana kelugasan penyair dalam mengemukakan pendapat dan pemikirannya, dan
tidak bersikap menggurui. Suasana di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji
Calzoum Bachri memberikan suasana pada pembaca, bahwa perasaan penyair sangat sensitif
ia sangat sedih memikirkan ketimpangan sosial yang terjadi di negerinya dimana
Indonesia adalah negara yang satu seperti semboyan “tanah air kita satu, bangsa
kita satu, bendera kita satu!” tetapi bangsanya tidak dapat bersatu. Terbukti
banyak sekali perbedaan yang mencolok mata antara kaum borjuis dengan rakyat
jelata. Hal ini saya rasakan setelah membaca puisi tersebut, memberikan
kesadaran bahwa di negara kita ini masih banyak ketimpangan-ketimpangan sosial
yang sangat memprihatinkan, misalnya di Jakarta terlihat jelas bahwa yang kaya
akan semakin kaya sedangkan yang miskin akan semakin miskin. Sangat jelas bahwa
Jakarta itu termasuk kota yang maju bahkan disebut sebagai kota metropolitan
tetapi ditengah-tengah kegemerlapannya tersimpan ratusan bahkan mungkin ribuan
perkampungan kumuh, ratusan anak-anak terlantas, ratusan pengamen, kuli
bangunan, yang hanya bisa melihat tanpa bisa merasakan keindahan hidup di dunia
akibat kemiskinan. Seharusnya baik pemerintah maupun masyarakat ikut terlibat
dalam mengatasi masalah tersebut agar tercipta negara yang adil, dan makmur
seperti yang tercantum dalam salah satu sila pancasila.
Setelah memahami tentang tema, nada,dan perasaan
yang terdapat dalam puisi tersebut, saya menyimpulkan bahwa pesan/amanat yang
ingin disampaikan pengarang dalam puisinya adalah tentang menyadarkan pembaca
bahwa di dalam negara kita tercinta masih banyak ketimpangan sosial yang terjadi
antara si kaya dan si miskin. Kita sebagai warga negara Indonesia seharusnya
ikut serta dalam menyelesaikan masalah tersebut agar tercipta negara yang adil
dan makmur sesuai dengan cita-cita bangsa yang tercantum dalam sila pancasila.
Setelah memahami struktur bathin puisi di atas, saya
akan mengajak anda untuk memahami struktur lahir (metode puisi) yang ada di
dalam puisi “Jembatan” karya Sutardji Calzoum Bachri ini. Struktur lahir
(metode puisi) tersebut terdiri dari diksi (pemilihan kata), pengimajian, kata
kongkret, bahasa figuratif/majas, rima dan ritma.
Diksi merujuk kepada pilihan kata (Gorys Keraf, 2002:22). Di
dalam diksi (pemilihan kata), penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata sebab kata-kata
yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima dan
irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata
dalam keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, disamping memilih kata yang tepat,
penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan atau daya magis dari
kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi
makna menurut kehendak penyair, karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi,
maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya. Dikarenakan
pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-kata
yang sudah dipilih oleh penyair untuk puisinya bersifat absolut dan tidak bisa
diganti dengan padan katanya, sekalipun maknanya tidak berbeda. Bahkan
sekalipun unsur bunyinya hampir mirip dan maknanya sama, kata yang sudah
dipilih itu tidak dapat diganti. Jika kata itu diganti akan mengganggu
komposisi dengan kata lainnya dalam konstruksi keseluruhan puisi itu. Di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji
Calzoum Bachri analisis ragam diksi atau pemilihan kata menggunakan kata-kata
yang mudah dimengerti oleh pembaca yang disusun seperti sebuah kalimat karena
selalu di akhiri dengan titik. Dapat diperhatikan keseluruhan isi dari puisi
tersebut:
Sedalam-dalam sajak takkan mampu
menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Sesuai
dengan penggalan puisi di atas, dapat di lihat bahwa penyair dalam menulis
puisinya menggunakan susunan kalimat seperti pada umumnya. Ia pun menggunakan
bahasa yang lugas seperti bahasa sehari-hari dan cenderung lebih komunikatif
sehingga lebih memudahkan pembaca dalam memahami dan menghayati isi dari puisi
tersebut. Mungkin penyair sengaja menggunakan kata-kata tersebut sebagai kata
yang memiliki unsur orisinalitas atau private
symbol sehingga menghasilkan poetic
power.
Ada
hubungan erat antara diksi, pengimajian, dan kata kongkret. Diksi yang dipilih
harus menghasilkan pengimajian oleh karena itu kata-kata menjadi lebih kongkret
seperti kita hayati melalui penglihatan, pendengaran, atau cita rasa.
Pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian: kata atau susunan kata-kata yang
dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Baris atau bait puisi itu seolah mengandung gema suara (imaji
auditif), benda yang nampak (imaji visual), atau sesuatu yang bisa kita rasakan,
raba, atau sentuh (imaji taktil). Pengimajian di dalam puisi ‘Jembatan’
karya Sutardji Calzoum Bachri yaitu sebagai berikut:
Ø
Sedalam-dalam
sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. (imaji visual)
bangsa. (imaji visual)
Ø
Kata-kata
telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. (imaji auditif)
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. (imaji auditif)
Ø
Maka
aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. (imaji visual)
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. (imaji visual)
Ø
Wajah
yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu! (imaji auditif)
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu! (imaji auditif)
Ø
Tapi
wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, (imaji visual)
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, (imaji visual)
Ø
tapi
siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita? (imaji taktil)
di antara kita? (imaji taktil)
Ø
Di
lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang (imaji
visual)
Ø
dan
otot linu mengerang (imaji taktil)
Ø
mereka
pancangkan koyak-miyak bendera hati (imaji visual)
Ø
dipijak
ketidakpedulian pada saudara. (imaji taktil)
Ø
Gerimis
tak mampu
mengucapkan kibarnya. (imaji visual-imaji auditif)
mengucapkan kibarnya. (imaji visual-imaji auditif)
Ø Lalu tanpa tangis mereka menyanyi
padamu negeri airmata kami. (imaji visual-imaji auditif)
Sesuai
dengan analisis di atas, dalam puisi tersebut pengimajian sangat di dominasi
oleh imaji visual dan imaji auditif. Memang terdapat imaji taktil, namun
frekuensinya lebih banyak imaji visual dan imaji auditif. Mungkin penyair
sengaja mendominasikan kedua imaji tersebut agar pembaca lebih memahami makna
dari puisinya.
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka
kata-kata harus diperkongkret, maksudnya ialah bahwa kata-kata itu dapat
menyaran kepada arti yang menyeluruh. Seperti halnya pengimajian, kata yang
diperkongkret ini juga erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang.
Jika penyair mahir memperkongkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat,
mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian
pembaca terlibat penuh secara bathin kedalam puisinya. Jika imaji pembaca
merupakan akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair, maka kata kongkret
ini merupakan syarat atau sebab terjadinya pengimajian itu. Dengan kata yang
diperkongkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan
yang dilukiskan oleh penyair. Di dalam puisi
‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri kata kongkret yang dipilih untuk: 1)
melukiskan betapa pedih dan mirisnya kehidupan bangsa kita penyair menggunakan
kata ‘Sedalam-dalam sajak
takkan mampu menampung airmata/bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam
basa-basi/dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.’;
2) kata-kata yang dipilih untuk melukiskan bahwa ada seorang tokoh entah
laki-laki atau perempuan yang memperhatikan masyakarat sekitarnya terutama
masyarakat kalangan menengah bawah dengan perasaan miris dan prihatin, ia
sangat sedih dengan fenomena yang terjadi di negerinya itu penyair menggunakan
kata-kata ‘Maka aku pun pergi menatap
pada wajah berjuta. Wajah orang/jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh
sesak bis kota/ Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam/ para
pemulung yang memungut remah-remah pembangunan./ Wajah yang hanya mampu menjadi
sekedar penonton etalase/ indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam
menjerit/
mengucap/ tanah air kita satu/ bangsa kita satu/ bahasa kita satu/ bendera kita satu!’; 3) kata-kata yang dipilih untuk melukiskan bahwa ia (si tokoh itu) sangat peduli akan ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat dimana orang yang kaya akan semakin kaya sementara orang yang miskin akan semakin miskin. Ia menginginkan agar ada upaya untuk memperbaiki ketimpangan sosial itu penyair menggunakan kata-kata ‘Tapi wahai saudara satu bendera/ kenapa sementara jalan jalan/ mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan/ tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah/ yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita?’; 4) kata-kata yang dipilih untuk melukiskan bahwa orang-orang yang terpinggirkan/orang-orang yang berasal dari kalangan menengah bawah sangat menderita dan sedih karena selalu tidak dihargai dan orang-orang kaya/kalangan menengah atas banyak yang tidak perduli sama sekali dengan keadaan mereka. Padahal, seharusnya sesama saudara satu bangsa, satu bendera kita harus saling bahu membahu dalam menegakan negara yang adil dan makmur. Penyair memilih kata kata ‘Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot/ linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati/ dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu/ mengucapkan kibarnya./ Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.’.
mengucap/ tanah air kita satu/ bangsa kita satu/ bahasa kita satu/ bendera kita satu!’; 3) kata-kata yang dipilih untuk melukiskan bahwa ia (si tokoh itu) sangat peduli akan ketidakadilan dalam kehidupan bermasyarakat dimana orang yang kaya akan semakin kaya sementara orang yang miskin akan semakin miskin. Ia menginginkan agar ada upaya untuk memperbaiki ketimpangan sosial itu penyair menggunakan kata-kata ‘Tapi wahai saudara satu bendera/ kenapa sementara jalan jalan/ mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan/ tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah/ yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang di antara kita?’; 4) kata-kata yang dipilih untuk melukiskan bahwa orang-orang yang terpinggirkan/orang-orang yang berasal dari kalangan menengah bawah sangat menderita dan sedih karena selalu tidak dihargai dan orang-orang kaya/kalangan menengah atas banyak yang tidak perduli sama sekali dengan keadaan mereka. Padahal, seharusnya sesama saudara satu bangsa, satu bendera kita harus saling bahu membahu dalam menegakan negara yang adil dan makmur. Penyair memilih kata kata ‘Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot/ linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati/ dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu/ mengucapkan kibarnya./ Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.’.
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau
berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi
menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa
figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan
cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata
atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang. Bahasa
figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair
karena: 1) bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, 2) bahasa
figuratif adalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga
yang abstrak menjadi kongkret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, 3)
bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas perasaan penyair untuk
puisinya dan menyampaikan sikap penyair, 4) bahasa figuratif adalah cara untuk
mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu
yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Perrine, 1974:616-617).
Di dalam
puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri menggunakan majas hiperbola
yakni kiasan yang berlebih-lebihan seperti dalam kata-kata ‘Sedalam-dalam
sajak takkan mampu menampung airmata/ bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap
dalam basa-basi/ dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna./’,
‘Di lembah-lembah kusam pada puncak
tilang kersang dan otot/ linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera
hati/ dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu/ mengucapkan
kibarnnya./ Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami./’.
Selain memiliki majas hiperbola, puisi ini juga memiliki majas metonimi. Majas
metonimi ialah pemindahan istilah atau nama suatu hal atau benda ke suatu hal atau
benda lainnya yang mempunyai kaitan rapat (Jabrohim dkk 2003:51). Menurut Alternbornd (dalam Baribin
1990:50) metonimia, ialah penggunaan sebuah atribut dari suatu objek atau
penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan
objek tersebut. Metonimi juga sering disebut dengan bahasa kiasan pengganti
nama. Majas ini diungkapkan dengan kata-kata ‘Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan/ mekar di
mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan/ tumbuh kokoh merentangi
semua sungai dan lembah/ yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani
jurang/ di antara kita?/’ di dalam penggalan kata-kata di atas, terdapat
kata saudara satu bendera maksudnya adalah
masyarakat penghuni negara tersebut. Kemudian terdapat kata menjembatani jurang di antara kita
maksudnya adalah menghancurkan pemisah diantara orang-orang kaya dan
orang-orang miskin.
Bunyi di dalam puisi menghasilkan rima dan ritma. Rima
adalah pengulangan bunyi di dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau
orkestrasi. Dengan pengulangan bunyi itu puisi menjadi merdu jika dibaca. Untuk
mengulang bunyi ini penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara
ini pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi. Rima di dalam
puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum Bachri adalah sebagai berikut:
Sedalam-dalam
sajak takkan mampu
menampung airmata
(pengulangan bunyi fonem /a/ dan /m/)
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap
dalam basa-basi (pengulangan
bunyi fonem /b/, /a/, /s/, /k/, /t/, dan /l/)
dalam
teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna. (pengulangan kata ‘dalam’ dan bunyi
fonem /a/, /e/, /d/, /u/, /k/, dan /h/)
Maka aku pun pergi menatap pada wajah
berjuta. Wajah orang (pengulangan
bunyi fonem /a/, /u/, /p/, /e/, /r/ dan kata ‘wajah’)
jalanan yang berdiri satu
kaki dalam penuh sesak
bis kota. (pengulangan bunyi
fonem /a/, /e/, /i/, /s/, dan /k/)
Wajah
orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
(pengulangan kata ‘wajah’ dan pengulangan bunyi fonem /a/, /ng/, dan /l/)
para pemulung yang
memungut remah-remah pembangunan. (pengulangan bunyi fonem /p/, /a/,
/e/, /m/, /u/, dan /ng/)
Wajah yang hanya mampu
menjadi sekedar
penonton etalase (pengulangan bunyi
fonem /a/, /e/, dan /n/)
indah di
berbagai plaza.
Wajah yang diam-diam
menjerit (pengulangan bunyi
fonem /i/, /d/, /a/, dan /e/)
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita
satu (pengulangan bunyi fonem /a/, /b/, /s/ dan
pengulangan kata
bahasa kita
satu ‘kita satu’)
bendera kita
satu!
Tapi wahai saudara
satu bendera kenapa sementara jalan
jalan (pengulangan bunyi fonem /a/, /s/, /e/, /n/ dan pengulangan kata
‘jalan’)
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan (pengulangan
bunyi fonem /m/, /e/, /a/, /n/, dan /t/)
tumbuh kokoh merentangi
semua sungai dan lembah (pengulangan bunyi fonem /u/, /m/,
/h/, /e/, dan /a/)
yang
ada,
tapi siapakah yang akan
mampu menjembatani
jurang (pengulangan konjungsi
penghubung antar subjek dan predikat ‘yang’ dan pengulangan bunyi fonem /a/,
/ng/, /m/)
di antara kita? (pengulangan
bunyi fonem /a/)
Di
lembah-lembah kusam pada
puncak tilang kersang dan
otot (pengulangan bunyi fonem /d/, /l/, /e/, /m/, /a/, dan /k/)
linu mengerang mereka pancangkan koyak-minyak
bendera hati (pengulangan bunyi
fonem /i/, /n/, /m/, /e/, /ng/, /a/, dan /k/)
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu (pengulangan
bunyi fonem /d/, /i/, /p/, /a/, /k/, /e/, dan /m/)
mengucapkan
kibarnya. (pengulangan bunyi fonem /a/)
Lalu tanpa tangis mereka
menyanyi padamu
negeri airmata kami. (pengulangan bunyi fonem /a/, /t/,
/i/, /e/, dan /m/)
Dalam ritma pemotongan-pemotongan baris menjadi frasa
yang berulang-ulang, merupakan unsur yang memperindah puisi itu.
Ritma sangat
berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata,
frasa, dan kalimat. Ritma dapat dikatakan sebagai irama namun berbeda dengan
metrum (matra). Dalam puisi karya-karya Sutardji Calzoum Bachri, irama sudah
diciptakan secara kreatif artinya tidak hanya berupa pemotongan baris-baris
puisi menjadi dua frasa, tetapi keseluruhan isi puisi tersebut terikat dan
saling berhubungan satu sama lain sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan.
Ritma di dalam puisi ‘Jembatan’ karya Sutardji Calzoum
Bachri adalah tanda baca yang ada di setiap larik yang merupakan pengikat
beberapa baris, sehingga baris-baris itu seolah bergelombang menimbulkan ritma.
Sedalam-dalam
sajak takkan mampu menampung airmata
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
bangsa. Kata-kata telah lama terperangkap dalam basa-basi
dalam teduh pekewuh dalam isyarat dan kisah tanpa makna.
Maka aku pun pergi menatap pada wajah berjuta. Wajah orang
jalanan yang berdiri satu kaki dalam penuh sesak bis kota.
Wajah orang tergusur. Wajah yang ditilang malang. Wajah legam
para pemulung yang memungut remah-remah pembangunan.
Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar penonton etalase
indah di berbagai plaza. Wajah yang diam-diam menjerit
mengucap
tanah air kita satu
bangsa kita satu
bahasa kita satu
bendera kita satu!
Tapi wahai saudara satu bendera kenapa sementara jalan jalan
mekar di mana-mana menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
tumbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah
yang ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani jurang
di antara kita?
Di lembah-lembah kusam pada puncak tilang kersang dan otot
linu mengerang mereka pancangkan koyak-miyak bendera hati
dipijak ketidakpedulian pada saudara. Gerimis tak mampu
mengucapkan kibarnya.
Lalu tanpa tangis mereka menyanyi padamu negeri airmata kami.
Saya boleh minta referensi buku apa saja yang di pakai dalam esai ini?
BalasHapusMohon maaf.. sudah tidak ada filenya, saya pun lupa referensinya apa saya.
Hapus