Acuh = Tidak Peduli?
Oleh
Anisa Prasetia Novia
“Kau acuhkan aku, kau diamkan aku, kau tinggalkan aku...” begitulah isi
salah satu lirik lagu pop di Indonesia yang ngehits baru-baru ini. Dalam lirik
tersebut, terdapat kosakata acuh. Selain
dalam lirik lagu tersebut, kosa kata acuh
ini pun ada dalam beberapa lirik lagu seperti: “kau boleh acuhkan diriku dan anggapku tak ada...”, atau “kau membuat ku tak
berdaya, kau menolakku, acuhkan
diriku.”
Fenomena kata acuh memang sering disisipkan dalam
lirik lagu-lagu di Indonesia. Mulai dari lagu zaman dulu, sampai lagu-lagu yang
ngehits sekarang ini. Kira-kira ada yang sadar tidak ya kalau saat ini kata acuh mengalami pergeseran makna? Mengapa
demikian? Karena dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata acuh merupakan jenis kata kerja (verba) yang berarti peduli; mengindahkan. Namun, dalam
beberapa lirik lagu di Indonesia kata acuh
ini bergeser maknanya menjadi tidak
peduli.
Coba saja teliti lebih dalam
beberapa lirik lagu di atas. Tentu lirik di atas tidak akan memiliki makna
relevan, jika kita mengartikan kata acuh
dengan makna yang sebenarnya. Tidak mungkin seseorang peduli tetapi lebih
banyak diam dan meninggalkan orang tersebut, tidak mungkin seseorang peduli
tetapi tidak menganggap seseorang itu ada, atau tidak mungkin seseorang membuat
orang lain tidak berdaya, menolaknya, tetapi memedulikannya. Kalimat-kalimat
dalam lirik di atas tidak akan sampai maknanya kepada pendengar, jika pendengar
memahami makna kata acuh yang
sebenarnya.
Kesalahan pemahaman ini bersumber
dari banyaknya orang Indonesia yang awam terhadap bahasanya sendiri. Bisa saja
kesalahan ini akibat dari adanya kosakata acuh
tak acuh yang berarti peduli tak
peduli, sehingga penutur bahasa Indonesia melakukan pemendekan kata menjadi
acuh yang diartikan sama dengan
kosakata acuh tak acuh.
Minimnya pemahaman ini akan
berdampak pada kebingungan penutur mengenai makna kosakata yang ia gunakan.
Haruskah ia mengikuti kamus? Atau mengikuti perkembangan makna kosakata itu
sendiri dalam penggunaannya sehari-hari di masyarakat? Karena pengertian kata acuh ini tentu saja sangat bertolak
belakang dan menimbulkan makna yang tidak relevan. Jujur saja, saya sendiri
baru mengetahui pengertian kata acuh
adalah tidak peduli setelah mengenyam
pendidikan di Perguruan Tinggi. Sebelumnya, saya memahami kata acuh sebagai arti dari tidak peduli karena begitu seringnya
kosakata ini digunakan dalam lirik lagu yang memberikan pemahaman kepada
pendengar bahwa acuh itu artinya tidak peduli. Selain itu, dalam
penggunaannya di masyarakat pun lebih sering diartikan sebagai tidak peduli.
Lantas bagaimana seharusnya?
Apakah masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan kamus atau justru kamus
yang menyesuaikan dengan masyarakat sebagai penutur asli bahasa Indonesia? Bukankah
sebelum kamus dikodifikasikan terlebih dahulu dilakukan penelitian terhadap
penggunaan bahasa itu sendiri? Mengapa masih terjadi ketidaksesuaian antara
kamus yang telah dikodifikasikan dengan masyarakat sebagai penuturnya?
Melihat fenomena ini tentu
membuat kita riskan, jangan sampai pusat bahasa menutup mata dengan fakta yang
terjadi di lapangan, karena tentu saja ini akan berimbas pada ketidaksesuaian
antara kamus dan pemahaman masyarakat sebagai penutur. Jika acuh tetap diartikan sebagai peduli, maka seharusnya ada upaya
perbaikan dari pusat bahasa agar kekeliruan ini tidak semakin menjadi-jadi.
Bayangkan masyarakatnya saja tidak paham dengan bahasanya sendiri, apalagi
orang lain?
Tahukah anda mengenai ciri bahasa
menurut Ferdinan De Saussure yang beberapa diantaranya adalah dinamis (sesuai dengan perkembangan zaman),
arbiter (manasuka), dan universal
(bersifat menyeluruh)? Dengan ciri tersebut, tidak menutup kemungkinan
bahwa beberapa tahun ke depan kamus sebagai produk kodifikasi akan menyesuaikan
dengan penuturnya. Bisa saja kata acuh
akan mengalami pergeseran makna menjadi tidak
peduli dan akan dibakukan dalam KBBI, mengingat begitu banyaknya kosakata
itu digunakan dalam artian yang keliru oleh masyarakat Indonesia. Wallohualam.
Komentar
Posting Komentar