Kuliah atau Kuli Ah?


Oleh
Anisa Prasetia Novia


“Pendidikan” kata ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Namun, mengapa masalah pendidikan masih saja belum terselesaikan? Apa penyebabnya? Mengapa pendidikan masih terabaikan? Bukankah tercantum jelas dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa ‘tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan’ dan tercantum pula dalam pasal 31ayat 2 bahwa ‘setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’? Lantas kinerja pemerintah yang kurang atau justru masyarakat yang tidak peduli?
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang masalah pendidikan, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa itu pendidikan? Secara luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan usulan dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam arti sempit pendidikan sama halnya dengan pengajaran, walaupun demikian di dalam proses pendidikan akan tercakup pula pengajaran sebagai salah satu bentuk kegiatan pendidikan (Soegarda Poerbakawatja, 1982:257).
Jika ditinjau dari landasan sosiologis dan antropologis pendidikan: antara individu, masyarakat, dan kebudayaannya tak dapat dipisahkan. Masyarakat dan kebudayaan mempengaruhi individu, sebaliknya masyarakat dan kebudayaan dipengaruhi pula oleh individu-individu yang membangunnya. Pengaruhnya sangat besar terhadap pendidikan karena individu dan masyarakat terbentuk dalam suatu kebudayaan. Apabila kebudayaan di dalam masyarakat mengabaikan pendidikan, maka secara otomatis setiap orang tua akan mengabaikan pendidikan karena beranggapan bahwa pendidikan itu tidak penting.
Faktor lain yang menyebabkan pendidikan terabaikan dari segi finansial masyarakat, masyarakat Indonesia khususnya kalangan menengah bawah merasa terbebani dengan biaya pendidikan yang harus mereka tanggung untuk pendidikan anak-anaknya. Meskipun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan dengan wajib belajar sembilan tahun, dengan biaya sekolah gratis sampai jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama). Namun, kebijakan tersebut masih belum dapat dilaksanakan secara tepat dan menyeluruh. Mengapa terjadi demikian? Karena kebijakan tersebut hanya untuk biaya sekolah saja, sedangkan kebutuhan seorang siswa sangat banyak, misalnya: kebutuhan seragam sekolah, buku, tas, sepatu, berbagai buku penunjang pendidikan dengan jumlah yang banyak, dan lain-lain. Sehingga orang tua si anak didik merasa terbebani, jangankan untuk memenuhi kebutuhan sekolah anaknya untuk biaya sehari-haripun sulit bagi mereka. Selain itu, di pelosok-pelosok desa, jarak sekolah dengan rumah warga sangat jauh bahkan bisa mencapai berkilo-kilo meter, itu pun salah satu faktor yang menyebabkan banyak anak-anak yang putus sekolah atau bahkan tidak pernah sekolah sama sekali. Karena kemungkinan besar apabila jarak jauh, siswa memerlukan kendaraan untuk dapat sampai ke sekolah dan otomatis memerlukan biaya tambahan yakni biaya transportasi yang semakin membebani orang tua.
Kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan pun masih sangat kurang, sehingga mereka beranggapan asal anak-anak mereka bisa baca, tulis, dan menghitung saja sudah cukup, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Apa bedanya Kuliah dengan Kuli Ah? Toh akhirnya akan mencari kerja juga. Kuliah pun tidak menjamin bahwa seorang sarjana akan sukses. Terbukti banyak sarjana lulusan Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta akhirnya nganggur juga. Jadi, daripada sekolah tinggi-tinggi hanya menghamburkan uang dengan percuma, lebih baik bekerja membantu orang tua untuk membiayai kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Tak jarang pemikiran-pemikiran seperti ini muncul dalam pemikiran orang tua peserta didik. Apakah paradigma sebagian besar masyarakat ini akan terus kita biarkan?
Padahal, dalam kenyataannya pendidikan sangat penting baik bagi individu itu sendiri maupun untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dikancah Internasional. Bagaimana Indonesia dapat menjadi negara maju? kalau dalam realisasinya masyarakat masih belum menyadari akan pentingnya pendidikan?
Di dalam landasan yuridis pendidikan tercantum bahwa cita-cita pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat), di dalam pasal 5 ayat 1 UU RI No.20 Tahun 2003 tercantum bahwa ‘setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’, dan di dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945 tercantum bahwa kewajiban negara ‘negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional’. Maka dari itu, pemerintah harus lebih aktif dalam menyelenggarakan sosialisasi pentingnya pendidikan dan program wajib belajar sembilan tahun agar masyarakat melaksanakan kewajiban dan mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan peraturan pemerintah yang tercantum dalam Undang-Undang dan sesuai dengan falsafah bangsa yaitu pancasila.

Selain itu, masyarakat juga harus menepis segala pemikiran buruknya tentang pendidikan. Bukankah salah satu amal yang pahalanya tidak akan pernah terputus adalah ilmu yang bermanfaat? Pilihan kuliah atau kuli ah? Seharusnya jatuh pada pilihan kuliah. Toh, pemerintah pun memberikan kemudahan dengan berbagai program beasiswa bagi peserta didik yang berprestasi. Peran pemerintah dan masyarakat saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Sebagus apapun program pemerintah dalam upaya memperbaiki pendidikan tidak akan terwujud jika tidak ada respon positif dari masyarakat sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis Puisi 'Kesabaran' Karya Chairil Anwar

Esai Kajian Struktural terhadap Puisi 'Jembatan' karya Sutardji Calzoum Bachri

Analisis Film 'Negeri 5 Menara'