Komunikasi Jendela Utama
Oleh
Anisa Prasetia Novia
Riskan rasanya
melihat Display Picture seorang teman
di kontak BBM yang memberikan kesan
sangat terpuruknya dunia pendidikan di Indonesia. Tertera dengan jelas di dalam
DP tersebut sebuah status FB yang
berbunyi seperti ini “Anak TK disodomi, anak SD dipukuli, anak SMP bikin video porno, anak SMA pelecehan
seksual, mahasiswa diospek sampai mati. Asyik kan belajar di INDONESIA?”.
Mengapa
pendidikan di negeri ini semakin terpuruk dari masa ke masa? Apa yang salah?
Mengapa karakter pendidik maupun peserta didik jauh dari ciri khas masyarakat
Indonesia yang ketimuran?
Dahulu
masyarakat Indonesia dikenal dengan pribadi yang santun, ramah, dan senantiasa
membantu orang lain dalam hal apapun. Namun, di masa sekarang karakter itu
mulai luntur terkikis waktu. Bukan hal baru jika kita melihat pemberitaan
miring bagi dunia pendidikan di Indonesia. Mulai dari pelecehan seksual pada
anak TK di Jakarta yang marak jadi pemberitaan di media massa baru-baru ini
sampai pelaksanaan Masa Orientasi Kampus yang berujung kematian. Sebegitu
parahkah moral pendidikan Indonesia?
Belum lagi,
kasus-kasus terdahulu yang banyak terkuak ke muara, seperti kasus guru yang
melecehkan siswanya, atau sejumlah tawuran antar siswa yang mengakibatkan
kematian. Selain itu, beberapa tindakan kriminal yang dilakukan pelajar seperti
mencuri, memperkosa, menodong, atau melakukan tindakan bullying terhadap teman sekolahnya. Lebih parah lagi, seks bebas
pun menjadi rutinitas yang lazim bagi pelajar karena dengan adanya pendidikan
seks malah membuat pelajar merasa didukung untuk melakukan hal tersebut. Belum
lagi, penyalahgunaan narkotika, obat-obatan terlarang, dan minuman beralkohol
semakin sering kita temui.
Kasus-kasus
seperti contoh di atas, memang marak menghiasi kehidupan remaja kita.
Sebenarnya hal mendasar apa yang membuat karakter masyarakat jauh dari harapan?
Lihatlah banyak sekali tayangan maupun gambar dalam media massa seperti
televisi, radio, internet, majalah, ataupun koran yang memberikan contoh pola
kehidupan yang hedonis. Masyarakat seolah diajak untuk berpikiran pendek hanya
untuk mengejar kesenangan semata, sehingga ketika seseorang merasa tersinggung
akan melakukan tindakan kekerasaan hanya karena masalah sepele. Karakter ini
dapat membuat perilaku anak bangsa semakin tak terkendali.
Disadari atau
tidak, perilaku ini bisa saja merupakan dampak dari pola komunikasi yang salah
mengingat begitu banyaknya kasus-kasus yang melanggar norma dalam masyarakat.
Sebagai contoh, jika seorang pelajar tawuran biasanya berawal dari masalah
sepele yang melibatkan lisannya. Ini berarti ada tata cara komunikasi yang salah
sehingga menimbulkan konflik dalam kehidupan pelajar. Ya, memang tak dapat
dimungkiri bahasa merupakan hal mendasar dalam komunikasi yang bisa memberikan
dampak positif maupun negatif. Apabila bahasa digunakan secara baik dan benar
maka akan memberikan dampak positif yang mempererat persatuan dan kesatuan
bangsa. Namun, jika seseorang tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi
dengan bahasa yang baik dan benar maka hal ini justru akan menimbulkan masalah
yang bisa mengakibatkan perpecahan.
Contoh lain, seorang
pelaku sodomi terhadap siswa TK di Jakarta mungkin saja terganggu kesehatan
psikologisnya akibat dari masa lalunya yang pernah disodomi juga. Hal ini tidak
akan terjadi jika si pelaku bisa berkomunikasi dengan orang lain termasuk orang
tuanya mengenai masalah yang telah ia alami. Pola asuh orang tua yang tidak
banyak melakukan interaksi dengan anaknya pun bisa membuat kesenjangan dalam
perilaku seseorang. Pendapat ini juga berlaku bagi kasus-kasus lain seperti
yang telah dipaparkan di atas.
Selain karena
pola asuh orang tua yang salah, perilaku menyimpang ini bisa akibat dari
pengajaran ilmu komunikasi di sekolah yang kurang maksimal. Pendidikan di
sekolah lebih banyak menitikberatkan pada aspek kognitif dibandingkan segi
afektifnya. Akibatnya siswa pintar dan berakhlak baik sekali pun bisa saja
berperilaku menyimpang ketika ia tidak bisa mengontrol dirinya. Mengapa
demikian? Karena seperti yang kita ketahui, keadaan psikologis anak maupun
remaja masih sangat labil. Mereka masih memiliki sifat egosentrisme yang tinggi, mudah stress, mudah tersinggung, dan
sangat mudah mencari pelampiasan ketika
merasa terbebani masalah yang berlebihan, sehingga pelajar sangat mudah
terpengaruhi oleh hal-hal negatif di sekitar lingkungannya.
Lantas bagaimana
cara mengatasi hal ini? Salah satu upaya yang bisa kita lakukan dengan
memberikan pendidikan ilmu komunikasi sejak dini. Sekolah dapat memberikan
pendidikan ini lewat pendidikan karakter yang sekarang digalakkan dalam
kurikulum 2013. Seperti yang kita ketahui, dalam kurikulum 2013 banyak sekali
pendidikan karakter yang harus diberikan oleh guru kepada siswanya. Jika
pendidikan ini dilakukan secara maksimal, maka akan berdampak baik bagi dunia
pendidikan kita.
Selain itu,
pencegahan terhadap perilaku menyimpang pelajar ini pun dapat efektif dilakukan
apabila ada kerjasama dari pihak sekolah, orang tua, maupun guru BK. Kerjasama
ini dapat dilakukan dengan banyak melakukan interaksi-komunikasi dengan
pelajar. Tujuannya agar pelajar tidak mudah stress, karena dengan berkomunikasi
maka beban yang ditanggung oleh pelajar akan terasa lebih ringan. Jangan sampai
ketika ada masalah, justru pihak sekolah, guru BK maupun orang tua malah
semakin menyudutkan pelajar tersebut. Bukannya berubah menjadi pelajar yang
baik, justru hal itu akan semakin membuat pelajar terpuruk. Ia akan merasa
tertekan dengan berbagai tuntutan yang diberlakukan di sekolah dan tuntutan
orang tuanya.
Mengapa saya
berpikir seperti itu? karena faktanya banyak sekali pendidik yang seolah tidak
terdidik. Ketika pendidik apalagi guru BK memberikan wejangan banyak yang salah
kaprah. Mereka bukannya menasihati tetapi malah memarahi, mencaci, dan memaki. Akibatnya
pelajar lebih stress dan kembali berperilaku menyimpang bahkan bisa lebih parah
dari sebelumnya. Hal ini tentu berakibat fatal bagi kesehatan psikologis dan
masa depan pelajar.
Sebagai seorang
pendidik, guru seharusnya bisa merangkul pelajar dengan pola komunikasi yang
baik. Bukankah sebelum menjadi pendidik seseorang mempelajari perkembangan
peserta didik dan bimbingan konseling? Mengapa tidak bisa
mengaplikasikannya? Mendidik bukan berarti memarahi, menasihati bukan berarti
memaki. Pola komunikasi, tata bahasa, pemilihan bahasa, dan sikap yang baik
tentu akan memberikan hasil yang terbaik.
Ingatlah tentang
slogan ‘mulutmu harimaumu’. Memang benar lidah itu ibarat pisau yang tajam,
salah dalam menggunakannya maka akan menghasilkan luka yang dalam bagi orang
lain termasuk pelajar. Oleh karena itu, perlu diberlakukan pendidikan ilmu
komunikasi secara dini baik itu bagi pelajar, pendidik, maupun orang tua
sebagai jembatan untuk menciptakan komunikasi yang beradab sehingga memperkuat
rasa solidaritas antarsesama manusia.
Komentar
Posting Komentar